FILM Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2011 2011 Samg Penari ikut berkompetisi di tingkat internasional. Film garapan sutradara Ifa Isfansyah tersebut dikabarkan terpilih untuk mewakili Indonesia di ajang Academy Awards yang ke-85. Sang Penari berkompetisi dalam kategori Best Foreign Language. Meski belum pernah menembus lima nominator terbaik di ajang internasional tersebut, Indonesia aktif mengirim karya terbaik anak bangsa ke ajang Academy Awards sejak tahun 1987.
Kendati kurang mendapat apresiasi penonton di bioskop film yang dibintangi oleh Oka Antara dan Prisia Nasution memborong 4 penghargaan bergengsi pada FFI 2011.
Selain itu seperti dilansir The Vote, Senin (24/09) lima nominasi terbaik dalam kategori Best Foreign Language bakal diumumkan pada tanggal 10 Januari 2013. Pesta akbar Academy Awards sendiri bakal dihelat tanggal 24 Februari tahun depan.
Film Sang Penari diadaptasi dari novel karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Tahun 1983 difilmkan lewat judul Darah dan Mahkota Ronggeng oleh sutradara Yazman Yazid. Dari novel yang sama di tahun 2011 ini, Ifa Isfansyah membangun cerita lewat judul Sang Penari. Di film sebelumnya, Enie Beatrice memerankan tokoh utama Srintil sebagai ronggeng (penari), kini artis Prisia Nasution memerankan karakter yang sama. Sang Penari hadir membawa pesan baru bagi perfilman nasional karena padat gizi dengan ramuan drama percintaan haru-biru, sedikit gejolak politik, dan terutama karakter bahasa daerah Banyumas, Jawa Tengah yang 'ngapak-ngapak'..
Selama hampir empat tahun, film yang menghabiskan biaya Rp 10 Miliar ini 'diruwat' oleh trio penulis Shanty Harmayn, Salman Aristo, dan Ifa Isfansyah. Namun setelah semuanya beres siap putar, sekitar 100 meter gulungan pita seluloid film harus digunting-sambung oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Konon, di area '100 meter' itu terdapat adegan vulgar. (kf1)
Rabu, 26 September 2012
Selasa, 25 September 2012
75% Pajak Film Nasional Dikembalikan ke Produser
Arif Susilo SH MSi (foto: dudut suhendra putra) |
“Peraturan
gubernur ini dikhususkan bagi film nasional,” kata Kepala Bidang Peraturan dan
Penyuluhan Pajak Daerah, Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta, Arif Susilo SH MSi ditemui Kabar FILM di ruang kerjanya, Selasa
(25/9/2012).
Menurut Arif,
Pergub DKI Jakarta No 115 Tahun 2012 baru diterbitkan pertanggal 12 September 2012, namun efektifitas
pelaksanaannya berlaku sejak 17 Agustus 2012. Hal tersebut dimaksudkan
sebagai ‘starting point’ bahwa perfilman
nasional sudah layak dicintai masyarakat Indonesia dengan semangat proklamasi.
Berdasarkan
Pergub ini nantinya, kalangan produser akan mendapatkan pengembalian pajak
sebesar 75% dari setiap karcis yang dibeli penonton. “Namun, mekanismenya diserahkan kepada pengusaha bioskop dan
produser film untuk berembug,” ujar Arif menambahkan.
Alasan Pemda DKI
menerbitkan Pergub tersebut, antaranya karena selama ini pajak film nasional
sama dengan pajak film impor.
“Diharapkan,
melalui Pergub ini, film nasioal menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena
film nasional belum mampu secara maksimal memenuhi standar produksi, yang
banyak diisi film-film impor. Sehingga plus-minusnya akan mempengaruhi dalam
pola etika budaya, dan sebagainya. Oleh karena itu Pemda DKI Jakarta memberikan daya dukung (supporting)
untuk meningkatkan produksi film nasional melalui pembebasan sebagian pajak
tontonan film, khusus produksi film nasional,” jelasnya. Pergub ini juga
dalam rangka mengupayakan film nasional bisa dicintai masyarakat. Karena selain
kesulitan biaya produksi, film nasional terkendala pajak yang dikenakan. Selama
ini, dari sisi pembiayaan produksi film nasional jauh lebih kecil dari biaya
produksi film impor, tapi pajaknya sama. Mungkin film impor menghabiskan
ratusan miliar, tapi film nasional berapa ratus juta atau miliar tapi pajaknya
sama.
“Kami memberikan
semacam insentif berupa pengurangan atau pengambalian pajak sebesar 75% dari
tarif pajak yang berlaku. Sehingga pengenaannya adalah 25%. Bagaimana dengan yang 75%? Inilah yang akan
dikembalikan ke produser,” jelasnya.
Menurut Arif
mekanisme kerjasama pengusaha bioskop dengan produser film selama ini,
pemasukan Pemda DKI misalnya 10%. Untuk produser film mendapat 45% sedangkan
pengusaha bioskop 55%. Dengan adanya Pergub DKI Jakarta No 115 Tahun 2012, maka
kemungkinan minimal 50-50.
“Tapi hal
tersebut tergantung pada mereka bagaimana meramunya. Kami akan membuat atau
meminta penjelasan seperti apa, agar betul-betul insentif ini diterima oleh
produser film. Jadi insentif ini diberikan pada produser film, bukan kepada
pengusaha bioskop,” tegas Arif.
Tentang pola
pembagian dari Pergub ini, Arif mengandaikan persatu HTM (harga tanda masuk).
Misalnya per HTM Rp15.000, maka bayar pajak ke Pemda hanya 2,5% dari 15.000.
Yang 75% mereka (bioskop dan produser) berbagi.
“Inilah upaya
Pemda DKI agar produser film dikembalikan uangnya sesuai dengan
jumlah pertiketnya. Semakin film bagus, semakin banyak penonton, maka akan
semakin tercovery modalnya. Dengan insentif
tadi diharapkan akan kembali modal. Ini niat pembinaan perfilman kita terhadap
perfilman nasional,” ujarnya lagi.
Dikatakannya, seluruh produser film baik yang tergabung di dalam asosiasi
produser, maupun bukan anggota asosiasi mendapatkan hak yang sama.
Kebijakan pemda DKI tersebut menurut Arif
merupakan tembusan surat yang disampaikan kalangan produser film ke Gubernur
DKI Jakarta 2-3 tahun terakhir. “Karena kita pertama, disibukkan dengan perda
baru berdasarkan UU 28 2009 yang harus berlaku 1 Januari 2012. Lalu kita harus
terbitkan Perda no 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan di situ mengatur tentang
tarif-tarif pajak, termasuk pajak tontonan bioskop. Selanjutnya, barulah kita
menindaklanjuti surat dari kalangan produser dan stakeholder perfilman tadi,"
katanya.
Secara hukum
Perda ini memang tidak memberi sanksi apapun. “Kalau nanti ada pelanggaran atau
tidak berjalan, ya kita akan cabut. Tapi sanksi secara hukum tidak ada. Artinya
begini, kalau saya perhatikan soal film nasional ini berbeda penerapannya. Kalau
film nasional ada semacam bagi hasil. Nah, kalau nanti insentif pajaknya tidak
sampai kepada produser yang menjadi tujuan dari Pergub tadi, ya kita akan
evaluasi. Mungkin kita akan perbaiki mekanismenya. Kalau misalnya, setahun kita
beri lagi dan tidak berjalan lagi, kan percuma. Ya sudah tidak dijalankan
lagi,” lanjut Arif seraya mengatakan Pergub ini mendapat respons positif dari
pihak pengelola bioskop.
Apakah akan diterapkan Pemda lain?
Kemungkinan iya, karena Pemda DKI sebagai barometer, dan
pengusaha bioskop hanya dua, dan asosiasi produser hanya satu. Mungkin akan
sama nantinya. Tapi karena diskresi ini masing-masing gubernur, maka mengikuti atau tidak, tergantung mereka. (tis)
Langganan:
Postingan (Atom)