TABLOID KABAR FILM edisi ke-37
beredar 17 September 2012...
Tersedia di agen-agen koran dan majalah Jaringan Hermes Media, Toko Buku Gunung Agung Se-Jabodetabek, Bandung dan Surabaya.
PADA edisi ini kami turunkan artikel utama tentang dunia akting dan film dokumenter. Fenomena dunia seni peran saat ini, kalangan aktor dan aktris tidak lagi memiliki 'daya tahan' dibandingkan masa-masa tahun 70-an yang melahirkan aktor dan aktris legendaris seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan sejumlah bintang lainnya. Apakah para bintang itu layak disebut aktor, atau aktor itu layak mendapat predikat bintang? Mengapa sejak 2004, kehadiran aktor dan aktris film Indonesia selalu berganti, tidak satupun yang mampu bertahan lama? Ikuti artikel FILM KITA KEHABISAN BINTANG
Kami juga hadirkan soal dinamika film dokumenter di Indonesia dimana sejumlah narasumber aktivis film dokumenter kami wawancarai dalam artikel FILM DOKUMENTER MAU KEMANA?
Beberapa kegiatan perfilman nasional kami sajikan seperti film-film terbaru PREVIEW, album gala premiere ON THE SPOT, dan persiapan beberapa rumah produksi menggarap film dan program televisi. Secara khusus kami wawancara Ram Soraya produser PT Soraya Intercine Film dalam rubdik DIA. Nikmati sajian kami lainnya yang selalu berpihak pada perfilman nasional.
EDITORIAL
FFI milik siapa?
DIAM-DIAM Festival Film Indonesia (FFI) akan digelar lagi.
Aromanya sudah terendus sejak dua bulan silam. Sebagai agenda rutin pemerintah,
ajang pemberian penghargaan kepada insan perfilman ini, sepertinya tidak lebih
baik dari sebelumnya. Indikasinya adalah
tidak terlibatnya satupun generasi muda perfilman, yang sempat mengolah FFI
sejak 2009-2011. Perang dingin rupanya belum selesai.
Sudah bukan rahasia, terjadi situasi tidak nyaman dalam
manajemen FFI beberapa tahun terakhir.
Patut dicermati, pelaksanaan FFI yang dimulai lagi tahun
2004, setelah vakum sejak 1991, ajang bergengsi ini berubah secara signifikan,
seperti yang dijadikan kredo tagline dalam
setiap ajang ini digelar.
Perubahan FFI jelas wujudnya; dulu FFI sangat
ditunggu-tunggu kehadirannya, sekarang tidak terlalu dipedulikan. Mau diadakan syukur,
tidak ada juga tidak masalah. Toh, selama ini FFI tidak mampu mengubah
persepsi sebagai event
‘Yang Terbaik’, jika dibandingkan dengan kegiatan penghargaan sejenis,
yang diadakan sebuah stasiun televisi swasta.
Kita melihat kecenderungan semangat pelaksanaan FFI
mengalami penurunan dan rapuh. Sejatinya, FFI adalah hajat masyarakat film, termasuk
di dalamnya adalah para penonton film agar menjadi pembelajaran bersama. Tidak
perlulah dijelaskan di forum ini, karena penjabaran tentang manfaat dan tata
cara pelaksanaan FFI jelas tertulis di UU Perfilman dan Buku Pedoman FFI.
“FFI bisa diibaratkan besi panas, siapapun yang
memegangnya akan terbakar” begitu amsal Adisoerya Abdi, saat menjadi Ketua
Pelaksana FFI 2004. Dan bara panas itu kini beralih ke tangan kelompok yang
bukan orang baru, yakni para senior. Sudah pasti mereka jagoan di perfilman
yang mampu menahan bara panas tadi.
Mungkin saja kelompok anak muda mundur, karena mereka khawatir
bentrok kepentingan dengan para senior.
Padahal, penyelamatan FFI bisa dilakukan bersama-sama antargenerasi. Masalah FFI hanyalah sebagian kecil dari gudang
masalah perfilman yang kronis seperti penerbitan PP UU Perfilman, termasuk
rencana pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang konon bakal diresmikan
tahun ini juga.
Mengingat tidak solidnya para elit perfilman, maka
kegiatan FFI yang biayanya diambil dari kas Negara ini menjadi kegiatan ‘asal
ada’, sekadar untuk menghabiskan anggaran. FFI yang kelahirannya dilandasi
semangat bersatu masyarakat perfilman termasuk didukung organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan
Kebudayaan ketika itu, kini menjadi ‘bulan-bulanan’ para pencari proyek. **