Selasa, 25 Oktober 2011

FFI 2011 tambal sulam, kian terpuruk

Oleh Teguh Imam Suryadi *)
FESTIVAL Film Indonesia (FFI) sebenarnya sudah kembali diselenggarakan oleh pemerintah cq Direktorat Perfilman, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hanya saja sampai hari ini tidak terdengar gaungnya, minimal bisikannya. Padahal biaya agenda tahunan insan perfilman nasional ini diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar tak kurang dari Rp3 Miliar. Jumlah ini meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya sejalan dengan kenaikan anggaran di Direktorat terkait.
  Perubahan sejatinya tidak ada sejak FFI dimulai lagi tahun 2004 silam. Kecuali penambahan kuota anggaran, dan unsur panitia pelaksananya, seluruh mekanisme dan hal-hal terkait tata-tertib sudah ada di dalam Buku Pedoman FFI. Maka tak heran jika kredo yang muncul di setiap rezim pelaksanaan FFI terasa sebagai kamuflase.   
   Yang agak berubah pada FFI 2011 adalah masuknya generasi muda perfilman, yang konon memegang jam terbang dan idealisme mumpuni di bidang penyelenggaraan festival film tingkat internasional.  ‘Jagoan’-lah begitu kira-kira. Sehingga, Menteri Jero Wacik sebagai  pemilik gawe FFI – yang baru di-reshuffle digantikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari’e Pangestu – memberi restu pada tim ini untuk berdiri di barisan terdepan FFI. Meskipun sebenarnya perlu dicatat,  pada Januari 2007 sebagian dari tim ini berhasil mempermalukan dunia perfilman nasional dengan aksi koboi mereka, mengembalikan Piala Citra FFI tahun 2006 kepada pemerintah. Ini adalah kutukan bagi perfilman nasional!
   Melalui pembentukan secara emosional institusi bernama Masyarakat Film Indonesia (MFI) ketika itu rombongan ini  mengembalikan 30 Piala Citra. Atas nama solidaritas, hampir seluruh pemenang FFI 2006 ‘menolak’ apresiasi dari pihak panitia yang mewakili masyarakat tersebut. Penolakan massal  itu menjadi catatan buram sepanjang masa penyelenggaraan FFI, namun menjadi tonggak kemenangan bagi MFI yang kini sudah bubar itu.
   Tinggallah kini, piala-piala yang mereka kembalikan itu seperti tak bertuan  teronggok di salah satu sudut ruang sepi Sinematek Indonesia di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Namun, kabarnya ada beberapa sineas yang diam-diam sudah mengambil lagi piala mereka. Piala-piala  itu sesungguhnya tetap hidup dan menjadi saksi ‘kekejaman’ yang ditorehkan para sineas yang tergabung di MFI.
   Gelagat tidak nyaman bagi aktivitas penyelenggaraan FFI ini tak berhenti hanya dengan aksi MFI ‘menolak apresiasi masyarakat’  namun yang sangat getir adalah munculnya wacana untuk menghentikan FFI. Padahal, menurut seorang sineas senior;  “FFI adalah lebaran-nya orang film. Tempat orang film bersilaturahim, saling berinteraksi bergembira bersama-sama. Gile aje kalau dibubarin..”
   Penyerahan kepanitiaan FFI kepada anak muda oleh pemerintah ini pun memunculkan pertanyaan besar, terutama di kalangan wartawan.  Dari berbagai analisa baik yang asal maupun serius, dugaan mengerucut yakni ada dua kemungkinan mengapa Menteri Jero Wacik memberi SK kepada M Abduh dan kawan-kawannya; yaitu pertama memberi kesempatan agar mereka juga merasakan ‘kursi panas’ panitia; atau kedua yaitu membiarkan FFI bernasib tak lebih baik dari pelaksanaan sebelumnya.
   Kedua kemungkinan ini bisa saja salah, tapi bisa juga benar adanya. Namun, Menteri dalam sambutannya ketika launching FFI 2011 berpesan kepada panitia pelaksana untuk dapat memperbaiki FFI.

Semakin merosot
Berangkat dari persoalan yang selalu muncul di FFI mulai 2005-2010, tentu pemerintah sangat berharap anak-anak muda dapat menyelesaikan persoalan itu. Namun, yang tampak sekarang panpel FFI 2011 tidak bisa berbuat banyak ketika berhadapan dengan birokrasi, yang pernah membuat mereka alergi. Panpel yang dianggap professional dan dianggap bisa bekerja lebih baik itu, bahkan tidak menghadirkan harapan tersebut.  Sebab, tanpa performa panitia seperti ini pun, bisa dijamin FFI akan berlangsung dengan ritme yang sama. Sangat tidak bisa dimengerti, ketika sebagian panitia yang terbukti gagal melaksanakan amanat panpel di tahun 2010, kini mereka kembali duduk di tempat yang sama. Ini semakin mempertegas bahwa FFI 2011 hanya membuang-buang waktu, tenaga dan dana karena semuanya dimulai dari nol lagi setelah melalui sejarahnya yang panjang.
   Dari segi kepesertaan, film FFI 2011 (berdasarkan data yang dilansir dari panitia ada 38 judul) menurun dibandingkan 2010 yang mencapai  41 judul.  Penurunan jumlah film peserta ini tak lepas dari ketidakoptimalan kinerja panpel. Apalagi sejak di-launching FFI panitia tidak segera membangun partisipasi berbagai pihak, dan mengabaikan keterbukaan dan kemudahan informasi. Mungkinkah ada silent operation? Secara teknis, pola kerja panpel FFI 2011 seperti meminjam pola kerja panitia JIFfest yang cenderung ekslusif.  
   Bukan kebetulan jika sejumlah produser film mengurungkan niatnya untuk menyertakan film mereka ke ajang FFI tahun ini. Beberapa produser film bergenre horror ‘minder’ menghadapi film-film bergenre lain yang lebih ‘berkualitas’. Padahal, secara kuantitas film horor lebih banyak -- beberapa diantaranya layak dinilai -- dibandingkan drama, dan action, dan lainnya.
   Kehadiran M Abduh sebagai panitia pelaksana FFI juga tidak membangkitkan semangat sutradara muda Riri Riza dan Mira Lesmana – yang selama ini tidak berselera dengan FFI untuk menyertakan film mereka Sang Pemimpi. Padahal, pesan Menteri Jero Wacik sangat jelas kepada panitia; ‘harus membuat perubahan’. Apa yang berubah kalau ternyata Riri Riza tetap menolak filmnya disertakan di FFI?

Sekilas FFI
Tahun 1970-1971 sampai 1974-1975 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) melalui PWI Jaya seksi Film dan Budaya menyelenggarakan ajang penghargaan di bidang Perfilman Nasional dengan nama Pemilihan Best Actor/Actress. Sepanjang tahun 1972, 1973, dan 1974, kegiatan ini terus berlangsung ketika di Indonesia juga diselenggarakan Festival Film Indonesia (FFI) yang dikelola Yayasan Nasional Festival Film Indonesia (YFI) dengan dukungan resmi dari Pemerintah melalui Departemen Penerangan.
  Dari ajang ini lahir simbol-simbol prestasi  perfilman nasional di bidang seni peran. Tercatat nama-nama Rachmat Hidayat, Rima Melati, WD Mochtar, Lenny Marlina, Koesno Soedjarwadi, Soekarno M Noor, Sophan Sophiaan,  Widyawati, dan Tanty Yosepha sebagai Aktor dan Aktris Terbaik Pilihan PWI.
  Ketika itu ajang Penghargaan Best Actor and Actress PWI bersifat independen, merupakan representasi dari penghargaan masyarakat Indonesia kepada Perfilman Nasional, melalui unsur-unsur wartawan sebagai pekerja pers yang tergabung dalam organisasi PWI.
  Dengan semangat integrasi, serta adanya imbauan Pemerintah agar perhatian masyarakat lebih terkonsentrasi, tahun 1979 Pemilihan Best Actor/Actress PWI Jaya dilebur ke dalam FFI, yang dikelola oleh Dewan Film Nasional. Sejak saat itu, PWI Jaya seksi Film menjadi bagian dari penyelenggaraan FFI, dari waktu ke waktu hingga FFI dikelola oleh Panitia Tetap (1988-1992) yang bernaung di bawah Departemen Penerangan.**

*) Penulis adalah Ketua Forum Penonton Film, Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Budaya, Pemimpin Redaksi Tabloid Kabar FILM

Senin, 24 Oktober 2011

Aa Gatot turun bobot 30 kg untuk proyek film Rp20 Miliar

KETUA Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Aa Gatot Brajamusti membuat gebrakan baru bagi organisasi tersebut dengan memproduksi film kolosal berbiaya Rp20 Miliar berjudul Azraq. Film yang syutingnya akan dimulai 11 November 2011 itu, sejumlah anggota Parfi senior akan dilibatkan seperti Deddy Mizwar, Christine Hakim, Slamet Rahardjo dan lain-lain.
   "Film Azraq bertema action, tak hanya pemain senior tapi juga melibatkan pemain-pemain junior," kata Aa Gatot Brajamusti, ditemui Kabar FILM usai pengajian rutin Parfi di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Selasa (18/10) malam.
   “Sekilas film ini berisi kegiatan dokumenter tentang kasus perdagangan manusia, tapi pesan moralnya banyak sekali. Di situ saya menjadi produser karena saya melihat skripnya lumayan bagus untuk dijadikan film layar lebar,” lanjut Aa Gatot, yang baru saja ikut berperan di film Ummi Aminah garapan sutradarai Aditya Gumay.
   Ada beberapa alasan tentang dibuatnya film Azraq, antara lain keprihatinan Aa Gatot terhadap maraknya film-film bergenre horor. Ia menilai, seharusnya produser bisa memberikan pesan moral melalui filmnya kepada para penonton. Selain itu, produksi film yang melibatkan anggota Parfi merupakan bagian dari agenda kerja organisasi yang diketuainya sejak Mei 2011.
   Menurut dia, film tema perdagangan manusia ke luar negeri dapat menginsiprasi para pembuat kebijakan di negeri ini, juga masyarakat lebih luas. “Kasus perdagangan manusia Indonesia ke luar negeri dan beberapa TKW yang ditipu sudah sangat banyak, tapi seperti tidak ada yang mampu menghentikan. Kenapa bisa begitu? Nah, film ini semoga akan menggugah masyarakat dan pemerintah untuk menjawabnya," ujar Aa Gatot.
   Untuk menggarap film ini, Aa Gatot mengaku mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pasalnya, film tersebut akan mengambil lokasi syuting di sejumlah negara. “Bisa lebih dari Rp20 miliar. Saya ambil beberapa negara sebagai tempat syuting, seperti Hong Kong, Malaysia, Macau dan Australia dengan artis dan peralatan film yang nggak murah,” ungkapnya.
   Dalam film tersebut, Aa Gatot juga hadir sebagai pemain. Secara khusus, ia berlatih fisik dan teknik beberapa bulan. "Berat badan saya sempat turun 30 kg untuk menyesusaikan karakter peran di film ini," ujar Aa Gatot. (kf1)