Jumat, 25 November 2011

Menggalang Solidaritas ASEAN via Gambar Hidup

(Catatan Bobby Batara dari Kuta, Bali)
HARI Selasa, 15 November 2011. Penerbangan siang hari dengan maskapai Lion Air membawa rombongan 12 orang jurnalis ke pulau dewata. Di sana konon akan berlangsung perhelatan gambar hidup negara-negara di kawasan Asia Tenggara, ASEAN Film Festival. Sebuah hajat perdana yang akan digelar antara 16-17 November 2011.
   Festival ini sendiri memang nyaris tak terdengar. Info yang saya dapat hanya isyarat bahwa nama saya masuk daftar wartawan yang diundang ke ajang ini sejak bulan Oktober silam. Tahu-tahu, menjelang KTT ASEAN festival ini muncul. Entah ada hubungannya dengan event politik yang dihadiri para kepala negara itu, entahlah. Yang jelas, ajang ini mengusung tema “ASEAN: The Global Film Connection.”
   Kawasan ASEAN memang patut diperhitungkan di peta sinema mancanegara, terutama beberapa tahun belakangan. Sebut saja Apichatpong Weerasethakul. Lewat film Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives dia meraih Palem Emas di ajang kompetisi Festival Film Cannes tahun 2010. Selain Apichatpong, masih banyak nama sineas asal Asia Tenggara yang lumayan bicara di ajang festival bergengsi macam Lav Diaz atau Brillante Mendoza misalnya.

Problem Senada
Gelaran hari pertama ditandai dengan konperensi pers menjelang makan siang. Bertempat di restoran Planet Hollywood, Kuta hanya beberapa blok dari hotel tempat kami menginap. Di sana duduk beberapa narasumber dari negara yang filmnya diputar di ajang ini. Mereka antara lain adalah Anousone Sirisckda ( sutaradara Only Love- Laos), Vongchith Phommachack ( Deputi Departemen Perfilman Laos ), Reath Narith ( sutradara Kiles- Kamboja ), Mee Pwar ( sutradara Zaw-Ka nay Thi- Myanmar ), Chito S. Rono ( sutradara film musikal Emir- Filipina, Jose Miguel De La Rosa ( Direktur Eksekutif Badan Pengembangan Film Filipina), Dang Nhat Minh ( sutradara Don't Burn-Vietnam), serta Vu Thi Hong Nga (konsultan Hubungan Internasional Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata).
   Dimoderatori oleh  Lalu Roisamri, dedengkot JIFFest acara ini mengungkapkan banyak fakta menarik.Di beberapa negara jiran bahkan kondisinya mirip dengan Indonesia, terutama masalah distribusi film. Dominasi film impor membuat film lokal nyaris tak berkutik. Seperti apa sih persisnya?
   Di Vietnam misalnya. Pemerintah setempat, ungkap Dang Nhat Minh mendukung perfilman nasional. "Kita memiliki 600 layar dari sekitar 200 bioskop yang ada di seluruh.  80 % diantaranya didominasi oleh film Hollywood, " tuturnya.
   Fenomena serupa juga menimpa Filipina. “Sekitar 90% film di bioskop-bioskop Filipina dikuasai oleh film-film asing, terutama produksi Hollywood," keluh Miguel De La Rosa. Namun dia masih bisa bernapas lega karena pemerintah memberikan kebebasan penuh kepada sineas untuk berekspresi.
   Sebagai solusinya banyak sineas yang bergerak di bawah tanah dan menjalankan konsep indie dalam berkarya. “Hasilnya, tentu akan lebih memudahkan dalam produksi dan distribusi,” seloroh Chito S Rono.
   Esok harinya, 17 November, digelar serangkaian seminar. Salah satu pembicara utama yang patut disimak adalah Donna Smith, mantan Vice President Universal Studios. Orang di balik munculnya film macam The Matrix, Raging Bull, The Schindler’s List hingga Crouching Tiger Hidden Dragon ini mengungkapkan tips kecil dalam membuat film. “Membuat film adalah  perkara membuat hiburan,” begitu kredonya kepada hadirin yang hadir. Berikutnya, tema-tema yang diusung seputar pembiayaan serta lokasi film di kawasan Asia Tenggara.
   Selain seminar, juga digelar pemutaran film yang berlangsung di bioskop Galeria 21. Film tersebut merupakan pilihan dari negaranya. Masing-masing adalah  Zaw Ka Ka Nay Thi (Myanmar), Only Love (Laos), Di Bawah Lindungan Kabah (Indonesia), Emir (Filipina), Don’t Burn (Vietnam), Memoir Seorang Datuk (Brunei), Kiles (Kamboja), Tatsumi (Singapura), Eternity (Thailand) dan Bunohan (Malaysia).
   Saking padatnya jadwal, para jurnalis hanya sempat nonton satu judul film, yakni Only Love, sebuah kisah khas negara agraris. Ceritanya seorang sarjana pulang kampung mengamalkan ilmunya. Ternyata usahanya tersebut mendapatkan saingan dari usahawan lokal, supplier alat pertanian. Selebihnya tak mungkin disimak. Kami sudah kadung check out dari hotel. Padahal beberapa wartawan sudah kebelet mau nonton film Malaysia yang katanya siap diputar di 50 negara.  
   Bagaimana nasib festival ini di masa mendatang? Saat dicegat usai nonton di bioskop Galeria 21, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu menyebut bahwa ajang ini seharusnya digelar tahunan. “Harusnya sih annually ya…” Selanjutnya dia berharap kelak akan  muncul kerjasama lebih jauh sesama negara anggota ASEAN. “Mungkin nanti akan dipikirkan ide-ide untuk distribusi film bersama…” tambah Mari lagi.**

Kamis, 24 November 2011

Antv suguhkan 6 program hiburan baru yang variatif

Pengisi acara dan jajaran direksi dan produksi Antv. (foto: sutrisno boeyil)
STASIUN televisi Antv menyuguhkan enam program terbarunya pada November ini. Acara perkenalan program berlangsung di lobby Antv Epicentrum Studio, Jakarta, Rabu (23/11) siang itu menghadirkan seluruh pendukung acara dari ke-6 program, serta jajaran direksi dan produksi Antv. "Kami berkomitmen memberikan acara yang menghibur penonton," ungkap Hetty Purba Wakil Direktur Produksi Antv.
   Keenam program terbaru Antv tersebut terdiri dari program kuliner, quiz, talkshow, dan komedi yaitu Resep Warisan (tiap Selasa pukul 09.00), Mister Laper (setiap Senin pukul 09.00), Srimulat Junior (setiap Jumat pukul 09.30), Layar Lebay (tiap Senin pukul 20.30), Friends (Senin-Jumat pukul 08.00), dan Deal Or No Deal (Rabu sampai Jumat pukul 20.00).
   Pada kesempatan launching program tersebut, kelompok Srimulat Junior menunjukkan gaya mengocok perut, dengan membawakan sebuah sketsa komedi di depan para wartawan. Mereka terdiri dari 10 personel hasil audisi acara 'Srimulat Cari Bakat' yang diadakan Antv pada April 2011. Para personel Srimulat Junior adalah Meo, Barlin, Friyan, Sarip, Mamad, Amin, Agus, Mamit, Sarju dan Vicha.
   Pengisi program Friends adalah trio Uli Herdiansyah, Indra Herlambang, dan Cut Tari. Ketiganya dihadirkan karena dianggap memiliki karakter yang cocok untuk 'membahas' berbagai fenomena yang dimunculkan di setiap episode. "Pertemanan kami sangat akrab, tidak hanya sebatas di dalam program. Hal ini yang membuat obrolan kita langsung nyambung di acara ini," kata Indra Herlambang.
   Sementara Otis Hahijary selaku Direktur Program mengatakan, pihaknya sempat berdiskusi cukup keras ketika akan menghadirkan program Fiends. "Setelah melihat beberapa kali penampilan Cut Tari di televisi lain, kami yakin kehadirannya masih dirindukan penonton. Tetapi, tidak mudah mengeksekusi program ini, dan kami secara intenal harus berdebat cukup keras membahasnya," ungkap Otis, tentang program yang menghadirkan Cut Tari, yang sempat tersandung kasus video porno dengan grup band Ariel Peterpan.
   Secara konsep program Friends mengangkat pertemanan Indra, Uli dan Cut Tari. Mereka membahas apapun fenomena berdasarkan 'selera' masing-masing yang berbeda. "Konsep Friends bukan talkshow tapi format 'magazine' dan justru yang jadi player diantara mereka adalah Indra. Target penonton program ini adalah housewife," kata Otis.     
   Deddy Corbuzier mengungkapkan, dirinya sangat ingin memberikan sesuatu yang berbeda dari program Deal Or No Deal. "Program ini sudah pernah ada, dan saya sangat ingin memberi sesuatu yang berbeda. Ini merupakan tantangan buat saya," kata Deddy, tentang program yang menghadirkan 4 orang kontestan untuk memilih 'koper duit' yang ditawarkannya di setiap episode.
   Seluruh program tersebut didukung peralatan syuting digital yang dimiliki Antv. "Kami berharap 6 program baru ini benar-benar menghibur pemirsa keluarga Indonesia dengan hiburan yang bermutu. Apalagi semua peralatan kami sudah digital sehingga gambar dan suara yang diterima pemirsa Antv semakin baik," ujar Dudi Hendrakusuma selaku Presiden Direktur Antv, dalam siaran pers Antv. (tis)

Rabu, 23 November 2011

Televisi semakin permisif terhadap artis bermasalah

TELEVISI penyaji acara entertainment semakin permisif bagi para pelanggar kesusilaan dan tidak responsive pada nilai-nilai yang masih dijaga oleh masyarakat, terutama penonton. Demikian dikatakan oleh Ketua Forum Penonton Film (FPF), Teguh Imam Suryadi SH ketika ditanya tentang fenomena kemunculan sejumlah artis bermasalah di televisi.
   “Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa ketika menyaksikan artis yang seharusnya menerima sanksi moral dihadirkan seolah tak pernah terlibat kasus,” kata Teguh Imam Suryadi, kepada tabloid Kabar FILM, kemarin di Jakarta.
   Situasi tersebut menurut Imam, sangat disayangkan karena televisi memiliki fungsi yang sangat ideal, yakni selain memberi edukasi juga menghibur. “Dengan menampilkan artis-artis bermasalah sebenarnya merugikan stasiun televisi, karena akan muncul sikap antipasti masyarakat terhadap program yang dibawakan si artis,” ujarnya.
   Forum Penonton Film didirikan Teguh Imam Suryadi sejak tiga tahun lalu itu, merupakan lembaga nirlaba yang secara regular mengadakan kegiatan diskusi untuk mengkritisi dan mencari solusi bagi dunia tontonan, mulai dari film, sinetron, dan televisi secara umum.  “Sampai saat ini, anggota FPF sudah lebih dari 300 orang dari berbagai kalangan,” ungkap Imam, yang juga seorang wartawan itu.
    Dikatakannya, televisi yang kerap menghadirkan artis bermasalah secara perlahan akan ‘ditinggalkan’ penontonnya. “Secara hitungan bisnis, mungkin kehadiran artis  bermasalah sangat marketable atau menjual. Ini akan bisa menaikkan rating program. Namun, hakikatnya situasi ini memperlihatkan ketidakberpihakan televisi terhadap penontonnya,” jelas Imam.
   Seperti diketahui, beberapa artis yang terlibat dalam video mesum dengan pentolan grup band Peterpan, belakangan muncul dengan wajah ‘tanpa berdosa’ di dalam program-program televise tertentu. Selain artis pelanggar kesusilaan, sejumlah pesohor pengguna narkoba juga dimunculkan oleh televisi sebagai sosok ‘pahlawan’.
   Pengamat dunia televisi Eddie Karsito mengomentari mudahnya televisi menerima artis bermasalah, dengan mengatakan, “Semakin bermasalah si artis, maka eksposure-nya bertambah. Stasiun televisi berebut menjadikan si artis ‘idola baru’. Karena memang hal itulah yang dianggap dapat meningkatkan jumlah penonton dan meningkatkan rating,” ungkap Eddie Karsito, yang juga pendiri Humaniora Foundation.
   Eddie Karsito menambahkan, ia sempat mendengar kabar artis Cut Tari yang tersinggung ketika ditanya wartawan mengenai keterlibatannya di program salah satu sitasiun televisi. Saat jumpa pers tentang program terbarunya itu.
  “Sebaiknya dia (Cut Tari) tidak marah dan mengintimidasi wartawan yang bertanya supaya berdiri. Itu sebuah sikap yang tidak simpatik, selain justru member kesan semakin tidak bersahabatnya dia pada wartawan yang merupakan representasi dari masyarakat,” ungkap Eddie Karsito.   
   Seperti diketahui, sejumlah media memberitakan marahnya artis Cut Tari kepada seorang wartawan yang mempertanyakan kehadirannya kembali ke dunia televisi. Si wartawan kritis bertanya dengan mengkaitkan kasus VCD porno yang melibatkan dirinya dengan Ariel Peterpan. (kf2)

Keindahan Lombok mulai dilirik pembuat film


Rumah Adat Suku Sasak di Lombok
SEJUMLAH kawasan wisata di tanah air semakin mendapat tempat di kalangan pembuat film. Tidak hanya dari dalam negeri, juga produser film Hollywood, Rob Allyn pun memanfaatkan keindahan alam nusantara di Candi Borobudur untuk syuting film Java Heat. Sebelumnya, film Eat Pray Love mengambil lokasi di Bali. 
   Bahkan, tahun depan Rob Allyn akan membikin film bernapaskan budaya dan kepariwisataan Indonesia-Amerika dengan lokasi syuting di Lombok, NTB. "Saya bangga bisa membuat film di sekitar Candi Borobudur, Jateng, juga syuting di beberapa tempat penting di Yogyakarta, termasuk Kesultanan Yogya. Tahun depan saya akan kembali ke Indonesia. Saya punya impian membikin film di Lombok. Negeri Lombok surga baru buat saya," kata produser itu ketika didampingi sutradara Conor Allyn menggelar jumpa pers film Java Heat di Yogyakarta baru-baru ini.
   Pemda Lombok sendiri, seperti diutarakan Drs Muhammad Nasir, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nusa Tenggara Barat, senang sekali jika daerah Lombok dan daerah lainnya di NTB dijadikan lokasi syuting baik film Indonesia maupun asing.
   Muhammad Nasir mengakui pesona alam NTB sangat unik dan menarik. Di Lombok, misalnya, pesona itu tidak saja berupa panorama alamnya yang eksotis di darat dan di laut, tetapi juga keunikan seni dan budayanya. Keberadaan suku Sasak yang dikenal punya daya tarik aneka tarian telah memberi inspirasi bagi sutradara dan produser film asing untuk membuat film di Lombok dan daerah lainnya di Nusa Tenggara Barat.
   "Kami akan dengan senang hati menjamu tamu para sutradara dan produser asing maupun Indonesia yang akan bikin film di NTB. Raja Dangdut Rhoma Irama baru saja beres bikin film di Lombok. Masyarakat membantunya hingga Rhoma ketagihan ingin syuting di Lombok lagi dalam cerita film yang baru," tutur Muhammad Nasir kepada para wartawan peserta Press Tour Pusat Komunikasi Publik di Cafe Montong, Senggigi, Minggu lalu.
   Rhoma Irama saat membuat film Sajadah Ka'bah di Lombok, mengakui pesona alam Lombok luar biasa menarik. "Lokasi syuting film di Lombok semuanya menarik. Makanya, saya sudah menyiapkan cerita film yang lain untuk syuting di Lombok, terutama di sekitar Pantai Kute, Taman Narmada, dan beberapa tempat lain termasuk panorama alam sepanjang Pantai Senggigi," ujar Rhoma.
   Raja Dangdut ini juga mengakui kecantikan pesona seni budaya yang hidup di tengah perkampungan desa adat Sasak, Dusun Sade, Rambitan, Lombok. Selain ada tarian gendang baleq, warga Dusun Sade juga memiliki beragam tarian khas yang tak kalah uniknya dengan tarian rakyat lainnya di Sumbawa, Bima, dan daerah lainnya di NTB.
Pantai Tanjung Aan di NTB-Lombok
   "Kami selalu berpesan kepada produser dan sutradara film, jika ingin bikin film di Lombok, NTB, usahakan kegiatan itu bisa menguntungkan masyarakat setempat. Misalnya, membeli buah-buahan atau makanan tambahan dari masyarakat setempat. Bisa juga memanfaatkan kesenian khas atau melibatkan warga setempat sebagai tenaga kerja. Alhamdulillah, ketika Rhoma Irama bikin film di Lombok baru-baru ini, beliau menggunakan banyak warga Lombok sebagai pekerja harian. Juga membeli banyak kelapa muda, mangga, durian, manggis, dan bahkan memesan makanan dari warga Lombok," tutur Muhammad Nasir lagi.
   Kini sejumlah lokasi di NTB yang memiliki beragam pesona alam pegunungan, pantai, dan seni budayanya, terus dirawat masyarakat setempat. Lembaga adat Sasak seperti yang ada di Dusun Sade juga menata daerah lingkungan mereka agar senantiasa tampil unik. Setiap rombongan tamu yang berkunjung ke desa adat itu disuguhi aneka tarian persahabatan. Suasana itulah yang memberi inspirasi para sutradara dan produser film asing menjadikan dusun adat Sasak di Sade menarik sekali difilmkan. (kf1)

Aline Jusria sutradarai film 'Kentang'

Aline Jusria (foto: dudutsp)
PROYEK omnibus film Sanubari Jakarta memasuki produksi keempat berjudul Kentang berlangsung 11 November 2011. Tidak banyak waktu bagi Aline Jusria sang sutradara, untuk mengemas naskah racikan Laela tersebut ke dalam beberapa scene. "Jadinya nanti hanya 10 menit, dan ini benar-benar film yang gak penting menurut aku," kata Aline dalam obrolan sore dengan tabloid Kabar FILM, saat break syuting.
   'Gak penting' kenapa harus repot-repot dibuat? "Justru karena bagian film yang aku bikin ini tidak penting, maka aku mau bikin. Karena, bagian lain proyek omnibus film ini sudah bicara hal-hal penting," lanjut perempuan, yang sedang hamil ini.
   Penyandang Editor Terbaik pada FFI 2010 ini merupakan salah satu, dari beberapa sutradara yang bergabung dalam proyek film 'Sanubari Jakarta' yang diproduksi Lola Amaria di bawah Kresna Duta Foundation. Seluruhnya, akan ada 9 judul tema di dalam film tentang isu lesbian, gay, bisex, dan transgender tersebut.
   Secara teknis produksi, Aline mengaku belum pernah membuat film untuk format bioskop. Hanya ketika ujian akhir di IKJ sekitar 2003 dia pernah membuat film. "Ini film pertamaku untuk bioskop," ujar Aline. Selebihnya, dia memang pernah garap video-klip dan melakukan tugas sebagai editor gambar. Ia pun menyebut nama Lola yang memberi 'pengarahan' jika dibutuhkan sampai dia bisa jalan sendiri.
   Soal keterlibatannya di proyek omnibus ini, dia bilang awalnya diajak oleh Lola Amaria. Tawaran itu sempat ditolaknya. "Akhirnya aku minta opsi men-direct film yang gak repot. Yang goblok-goblokan saja seperti ini," kata Aline yang sedang mempersiapkan diri untuk proyek mengedit film Republik Twitter dan Cinta Mati.
   Untuk garapan pertamanya ini, Aline dibantu beberapa kru dan kamera 5D dan 7D. Sebuah kamar rumah di kawasan Cipete-Jakarta Selatan, disulap menjadi ajang eksplorasi para pemainnya, yaitu Gia dan Havest. Keduanya memerankan gay, penyuka sesama lelaki.
Sempat Aline mengajak Vino G Bastian untuk memerankan salah satu gay. "Dia sudah mau ketika baca naskahnya, tetapi terbentur skedul sehingga diganti dengan pemeran lain," katanya.
   Dengan pertimbangan durasi film yang hasilnya akan 10 menit, proses syuting pun dilakukan dalam dua scene dengan pembagian per squence. "Hampir semua adegan ngobrol di dalam kamar. Sisanya ada di lorong samping rumah," jelasnya. Meski jago ngedit, Aline akan menyerahkan karyanya itu pada editor lain agar hasilnya akan berbeda lagi.
Syuting 'Kentang' (foto: dudutsp)

Obrolan satu malam
Cerita Kentang adalah tentang dua laki-laki gay, yang sedang ngobrol di malam hari. Perbincangan di malam yang ditunggu-tunggu itu, ternyata tak membuahkan 'hasil' apapun sampai akhirnya mereka berpisah setelah bertengkar. Ada saja gangguan ketika mereka akan mulai beraksi. Kisah satir ini lebih menonjolkan sisi dialog para pemainnya.
   "Flm ini berkisah tentang sesuatu yang biasa saja terjadi pada setiap manusia dewasa. Tidak harus kaum gay, tapi bisa dirasakan setiap orang normal sekalipun. Problemnya sama. Tetapi, unsur yang diangkat di sini justru dialog-dialognya yang kuat," ungkap Aline.
Soal judul 'kentang' itu merupakan singkatan; kena tanggung. (kf1)  

Selasa, 22 November 2011

Menteri Marie E Pangestu tinjau Sinematek Indonesia

(foto: dudutsp)
MENTERI Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) DR Marie Elka Pangestu meninjau Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) didampingi Dirjen NBSF Drs Ukus Kuswara MM, dan Direktur Film Drs Syamsul Lussa MA, Senin 21 November 2011. Pada kesempatan tersebut juga diadakan pertemuan dengan pimpinan organisasi perfilman.
   Kehadiran Marie E Pangestu untuk pertamakali ke PPHUI langsung menuju ruang penyimpanan film-film lawas di lantai dasar gedung. Di ruangan berisi ribuan film nasional dan asing ini, Menteri bersama rombongan didampingi Kepala Sinematek Berthy Ibrahim Lindia, dan Ketua Yayasan PPHUI H Djonny Sjafruddin SH.
   Pada pertemuan sekaligus perkenalan itu, Menparekraf mendengar berbagai persoalan yang ada di lingkungan organisasi perfilman Indonesia. Seperti diketahui bahwa di PPHUI terdapat sejumlah organisasi perfilman yang berkantor di gedung yang pembangunannya diprakarsai almarhum Ali sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta 1966-1977.
   Salah satu persoalan yang mendesak sekarang ini, menurunnya animo masyarakat menonton film Indonesia.”Kami sendiri bingung di mana salahnya. Sejak bulan Juli untuk mendapatkan 200 ribu penonton saja sangat sulit. Malah ada film yang hanya ditonton oleh sekitar 3000 penonton,”ujar Gope Samtani, salah satu Ketua Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).
   Data terbaru, bahkan film 'The Mentalist' hanya disaksikan tak lebih dari 1000 penonton.
   Untuk itu menteri berjanji akan mendiskusikanya dengan para steakholder perfilman Indonesia. ”Selain secara lisan sebaiknya ada tulisan mengenai data persoalan agar bisa kita sama-sama cari solusinya. Harus dengan data yang akurat dan persoalan yang otentik. Karena kalau tidak dengan data agak sulit mencari ukuran penyelesaiannya,” ujar Marie.
   Dalam pertemuan itu hadir sejumlah pimpinan organisasi perfilman seperti PARFI, PWI Jaya Seksi Film dan Budaya, Senakki, GPBSI, GASFI, Perfiki, KFT, Sinematek, PPFI, dan AINAKI serta organisasi lainnya yang ingin curhat singkat dan meminta waktu bertemu untuk mengatasi persoalan yang mereka alami. Menteri yang baru menggantikan Jero Wacik itu bersedia menyediakan waktu untuk bersama-sama memecahkan persoalan dan memajukan film Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu dan para
pimpinan organisasi perfilman (foto: dudutsp)
   Ketua Seksi Film dan Kebudayaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Teguh Imam Suryadi menjelaskan bahwa PWI khususnya bidang Film dan Kebudayaan dengan perfilman Indonesia tidak bisa dipisahkan. Haji Usmar Ismail sebagai bapak perfilman Indonesia adalah seorang wartawan. ”Sampai kapan pun kami akan mendukung dengan perbuatan nyata agar film Indonesia bertambah jaya,” ujar Imam, yang pada kesempatan itu menyampaikan kekecewaan teman-teman wartawan yang meliput kegiatan film, tidak diikutsertakan pada Festival Film ASEAN dalam rangka KTT ASEAN, baru-baru ini di Bali.
   ”Padahal sebelumnya kami diminta menyusun daftar wartawan untuk meliput kegiatan AFF, tapi ternyata kami tidak diberangkatkan tanpa alasan yang jelas. Sementara, ada pihak dari Kemenparekraf yang menginformasikan bahwa daftar nama-nama wartawan yang saya buat sudah dibookingkan tiketnya. Artinya, kami siap diberangkatkan tetapi tidak berangkat. Ada yang menipulasi data wartawan tersebut,”ujar Imam. (kf2)

Minggu, 20 November 2011

Nonton bareng 'Rumah Tanpa Jendela' di Aceh dan Medan

DIREKTORAT Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film (Dirjen NBSF) Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Unit Pelaksana Tugas (UPT) Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Banda Aceh memfasilitasi sebanyak 300 siswa mengikuti kegiatan nonton bareng film Rumah Tanpa Jendela (RTJ) yang dilaksanakan pada Kamis (10/11) di Banda Aceh dan Sabtu, di Medan.
 Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Banda Aceh (12/11) Djuniat S.Sos mengatakan, kegiatan nobar RTJ ini ditujukan dalam rangka menjadikan film-film yang bernilai positif bagi anak-anak menjadi tuan rumah bagi bangsa sendiri.
 ”Tujuan utamanya, untuk membangun dan mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa yang edukatif,” kata Djanius kepada wartawan.
 Melalui kegiatan ini, lanjutnya, diharapkan anak-anak yang menonton bisa menerima manfaat film anak sebagai media pembangunan karakter bangsa. ”Penanaman budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai budaya merupakan program kita di Balai Pelestarian Sejarah,” jelasnya.
 Diterangkan, UPT Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional merupakan unit pelaksana Program Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbupar) Pusat.
 Unit ini, lanjut Djuniat, merupakan salah satu dari 5 Direktorat Jenderal (Dirjen) Budpar yang ditempatkan di daerah-daerah yang mencakup Wilayah Kerja Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
 ”Ada dari 33 Unit Pelaksana Tugas yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia dengan program yang beragam dan variatif, jadi bukan film melulu,” paparnya.
 Dalam kesempatan yang sama, sutradara RTJ Aditya Gumay didampingi Produser dan penulis naskah Adenin Adlan menyebutkan, kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari di Banda Aceh dan Medan ini, kegiatan ini merupakan undangan yang sangat positif dari pihak UPT Balai Pelestarian Sejarah. ”Kami merasa sangat bangga mendapat undangan kehormatan seperti ini, walaupun film ini sudah selesai tayang di bioskop dan sudah tayang di televisi,” jelas Aditya.
 Kendati demikian lanjut Aditya, pihaknya patut mensuyukuri, film RTJ masih dapat dipromosikan oleh banyak pihak sebagai media pendidikan dan penanaman nilai budaya.
 Diterangkan, saat ini Smaradhana Pro sedang mempersiapkan sedikitnya 10,000 DVD  yang akan siap untuk didistribusikan. ”Kita akan menjalin kerjasama dengan sekolah formal dan lembaga pendidikan yang menjadikan film anak sebagai media pendidikan,” ujarnya.
 Kegiatan nobar RTJ merupakan pertama kali di gelar di wilayah Aceh dan kedua kali di Medan, setelah pertama kali digelar oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) bekerjasama dengan Abah Production, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Pujakesuma dan Tabloid Kabar Film di Medan, Sabtu, 10 April silam yang diikuti lebih dari 700 penonton dari Pemkab Sergai, kalangan pelajar dan komunitas film anak, khususnya. (jufri ba)

Meidhita menyerap ilmu sulap dari film

Meidhita (foto: dudutsp)
PEMERAN film The Mentalist Meidhita Badawijaya pernah takut pada penampilan Deddy Courbuzier, yang menjadi ayahnya di film tersebut. "Muka Deddy Corbuzier menyeramkan dan membuat saya takut waktu kecil," kata Dhita ketika ditemui di acara pemutaran perdana film tersebut di Pondok Indah Mall, Jakarta baru-baru ini.
   Namun pandangan Dhita pun berubah saat dipertemukan dengan Deddy dalam sebuah film layar lebar. "Ternyata gambaran saya tentang Deddy jauh banget. Aslinya, dia orang baik dan suka humor juga. Menurut saya, dia pribadi yang menyenangkan," katanya.
   Pelajar home schooling kelahiran Samarinda 28 Mei 1996  ini mengatakan, Selain bermain dengan Deddy, Ditha pun berkesempatan kenal dengan magician Fakir, dan Limbad yang jarang berbicara. Melalui perkenalan-perkenalan itulah, Ditha banyak menambah pengalaman. Wawasan Dhita seputar ilmu sulap pun lebih terbuka, tidak sebatas di dunia akting saja. Pasalnya, Dhita diajari beberapa trik sulap.
   Di film The Mentalist, Dhita berperan sebagai anaknya Deddy. Karena bapaknya diceritakan sebagai magician, Ditha yang memeran tokoh Jane akhirnya belajar sulap juga. "Lumayan pengetahuan aku terhadap sulap jadi bertambah. Sekarang aku bisa membengkokan sendok. Aku senang sekali bisa mengenal magician. Ternyata orang-orang semacam Deddy dan Limbad sering juga becanda," kata Dhita.
   Sebelum berakting di film, Ditha sering berperan di sinetron dan FTV. Di antara peran yang mengesankan, yakni saat bermain di  Ande Ande Lumut dan Putri Malu. Menurut Ditha, keterlibatannya di film layar lebar, sedikit banyak dipengaruhi oleh sutradaranya. Sutradara yang menggarap The Mentalist sudah dikenal sebelumnya saat menggarap FTV. (kf1)

Piet Pagau lari dari RS demi casting

Piet Pagau (foto: dudutsp)

AKTOR senior Piet Pagau eksis sejak masa keemasan perfilman nasional tahun 1980-an hingga kini. Saat perfilman nasional mengalami masa paceklik di tahun 1990-an, Piet Pagau tetap bertahan dalam dunia akting melalui jalur sinetron.  Pria berkarakter keras ini dilahirkan di Dusun Batu Raya Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat pada 23 Februari 1951. Sudah puluhan film ia perankan sejak ia memutuskan menanggalkan statusnya sebagai staf kantor kecamatan.
    Di tengah ramainya pemeran muda di layar lebar, Piet Pagau tak surut langkah.  Ia masih mendapat kesempatan tampil di sejumlah film seperti Hantu Bangku Kosong (2006), Leak (2007), Kuntilanak 2 (2007), The Shaman (2008), 3 Pejantan Tanggung (2010), Lost in Papua (2011), dan Batas (2011).
   “Saya orang yang beruntung. Kehadiran saya di film bisa sampai hari ini karena keberuntungan, dan tentu saja semangat profesionalisme,” kata Piet Pagau saat ditemui Tabloid Kabar Film di acara “Kirab Gong Perdamaian Dunia” di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang baru-baru ini.
   Menjadi pekerja film, menurut Piet Pagau merupakan pilihan hidupnya. Dia sempat merasakan gajian antara tahun 1971-1976, ketika menjadi staf kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu. “Saya tidak puas dan protes ketika mendapat jatah beras lebih kecil dari tentara. Waktu itu, tentara dapat 18 kg dan saya mendapat jatah beras 10 kg. Apa bedanya perut tentara dan PNS? Lalu saya memutuskan berhenti jadi PNS,” ujar lulusan APDN ini.
  Beruntung tak lama sejak berhenti jadi PNS, Piet Pagau mendapat kesempatan terlibat dalam film Mandau dan Asmara (1976) sekaligus menjadi debutan pertamanya di dunia akting. Kendati belum pernah belajar akting, sutradara Young Indrajaya menerima Piet Pagau saat ikut casting dan berlanjut syuting di Pontianak.
   Satu hal yang masih sangat diingat oleh Piet Pagau, adalah ketika pertamakalinya dia berkenalan dengan dunia film.
   “Saya mendengar percakapan orang-orang di rumah sakit bahwa akan ada syuting film di Pontianak. Ketika itu saya sakit dan dalam perawatan, sempat lari dari rumah sakit untuk ikut casting. Setelah casting, saya kembali ke rumah sakit,” kenang Piet Pagau, yang divonis hanya bisa bertahan hidup sebulan karena sakit kuning.
    Sebagai orang yang pernah menjadi PNS, Piet Pagau juga aktif dalam berbagai kegiatan antaranya organisasi profesi Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan Partai Demokrat sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai DPP Partai Demokrat Kalimantan Barat. Tahun 2002, dia sempat mencoba ikut dalam bursa calon gubernur Kalbar periode 2003-2008. (tis)