Sabtu, 22 Oktober 2011

Wanda Hamidah antara film dan pilgub DKI

"SAYA bukan comeback ke dunia akting, tapi ini kesempatan pertama dan terakhir saya main film," ujar Wanda Hamidah, politisi Partai Amanat Nasional yang bermain di film Pengejar Angin ditemui Kabar FILM di sela kegiatannya di Pondok Indah Mall 2, Jakarta Selatan, Jumat (21/10) sore.
   Koreksi itu disebut Wanda saat dikatakan ia kembali ke dunia hiburan. "Saya sempat malu menerima tawaran menjadi pemeran utama, karena pengalaman akting saya minim. Namun karena kesabaran Mas Hanung (sutradara) membimbing saya, serta para pemain lainnya yang sebenarnya sudah kawakan seperti Mas Mathias Muchus dan kawan-kawan melatih saya dengan rendah hati, saya jadi optimis," lanjut Wanda.
   Menurut dia, film Pengejar Angin termasuk cepat proses pembuatannya. "Dimulai sejak dua bulan sebelum Ramadan ketika saya ditawarkan ikut main," kata Wanda yang memerankan ibu dari Dapunta, remaja kampung Lahat Sumatera Selatan, yang dikenal sebagai pengejar angin.
   Di film ini, Wanda sangat mendukung Dapunta mengejar mimpi-mimpinya menjadi atlet meski ayah Dapunta sangat keras menghalangi cita-cita Dapunta. "Ini sangat memberi inspirasi bagi penonton, baik ibu-ibu maupun para remaja agar mereka tak putus semangat mengejar mimpi," katanya.
   Sebagai anggota Komisi E DPRD DKI -- salah satunya membidangi masalah kesehatan -- Wanda mengakui film yang dibintanginya ini, sangat tepat. "Awalnya saya dihubungi Zazkia Mecca, lalu saya baca naskahnya ternyata sangat cocok dengan peran saya di DPR," katanya.
Yang pasti menurut Wanda, film Pengejar Angin memiliki dimensi ketapatan, yaitu tepat ceritanya, tepat sasarannya dan tepat momentumnya. "Makanya, saya hanya akan bermain film untuk kali ini saja. Karena dunia hiburan sudah saya tinggalkan sejak lama," katanya.

Calon Gubernur DKI Jakarta
Di tengah kesibukannya, perempuan kelahiran Jakarta 21 September 1977 ini mengakui saat ini dirinya tengah mempersiapkan diri mengikuti Pilgub DKI tahun 2012. "Kalau masyarakat mau mendukung saya dan partai saya mengusung saya, saya siap maju di pilgub DKI," katanya.
   Wanda mengaku mendapat dorongan dari masyarakat di sosial media, maupun PAN. Namun, secara organisasi belum ada 'ketuk palu', yang menyatakan dirinya menerima amanat maju ke Pilgub. "Secara pribadi, kesempatan dan persiapan saya sudah 100 persen," kata Wanda, seraya menyebutkan bahwa prioritas DKI Jakarta adalah menjadi lebih manusiawi.
   Sedikit berkisah ke belakang, Wanda mengaku masuk organisasi politik atas dorongan pribadi, bukan diminta. "Saat PAN dideklarasikan saya hadir dan melihat tokoh saya Amien Rais yang membuat saya semangat mewujudkan mimpi tentang Indonesia. Saya pun mendaftarkan diri datang ke Jl H Nawi dan mengisi formulir. Ingat ya, saya tidak direkrut, tapi saya mengajukan diri, dan diterima menjadi kader PAN," katanya.
   Setelah sekian lama menjadi pengurus, pada 2004 Wanda mulai mengikuti proses Pemilu yang sangat ia syukuri karena ia bisa berkeliling Indonesia dan belajar berpolitik.
   "Tapi baru pada 2009 saya beranikan diri  ikut Pemilu karena saya merasa sudah matang dari segi  pengalaman politik dan pendidikan," kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 2000 yang kemudian meraih gelar magister Kenotariatan di Universitas Indonesia pada 2006 itu.
   Pada 2009 itulah wanita yang pernah aktif sebagai notaris dan Public Relation itu terpilih menjadi anggota DPRD DKI 2009-2014 dari daerah pemilihan Jakarta Selatan. Dan kini  ia ingin memanfaatkan momentum Pilkada 2012 dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI pada Pilkada DKI. Jika Wanda terpilih, maka akan menjadi sejarah baru DKI Jakarta dipimpin seorang mpok-mpok.(tis)

Rabu, 19 Oktober 2011

Keke Deeraj: Saya punya komitmen bikin film bermutu

ADA sesuatu yang spesial pada sosok Keke Dheeraj, sutradara yang juga produser film pemilik K2K Production. Beberapa hari sebelum film terbarunya Pacar Hantu Perawan dirilis, pada pekan terakhir September 2011 majalah TIME memuat profile dan komentarnya tentang film Indonesia. Tak urung dunia film nasional tersentak, ‘mengusut’ ada apa gerangan? Media sosial twitter-pun mengomentari pemuatan wawancaranya dengan majalah internasional tersebut. Kesimpulannya, banyak yang iri. Sebutan produser film porno sempat melekat padanya. Apa boleh buat, dengan pemberitaan di media asing itu, sosok produser yang film-filmnya kerap menuai kontroversi ini semakin berada di atas angin. “Sebetulnya saya hanya seorang yang sangat mencintai dunia film, bahkan sejak kuliah saya sudah menentukan akan terjun ke film,” kata Keke Dheeraj kepada Kabar Film, kemarin. Pria lajang jebolan sekolah film di India ini mengungkapkan, sikapnya pada sektor perfilman tidak berubah. “Film adalah media seni untuk mengekspresikan ide-ide, sekaligus bisnis. Saat ini saya utamakan sisi bisnisnya dulu, karena saya harus untung dari produk yang saya buat. Kalau saya rugi di awal-awal, mungkin saya sudah berhenti bikin film,” ujar Keke, yang kini tengah mempersiapkan produksi film berikutnya. Itulah sebabnya, formula filmnya selalu menarik minat orang. Bahkan, beberapa filmnya seakan mengingatkan pada film Indonesia tahun 80-an; bergelimang paha dan dada perempuan berpenampilan seksi. Obsesi Keke, ke depannya dia akan terus membuat film yang disukai penonton. “Setelah film Pacar Hantu Perawan, saya akan produksi film yang bermutu dan memuat pesan mo-ral. Tak akan saya buat film begini teruslah. Sa-ya juga punya niat  memajukan film nasional,” ujar Keke yang sudah 5 tahun berkiprah di film. (kf2)

Lukman Sardi: Selalu berangkat dari titik nol

TAHUN 2010 tersisa sebulan lagi sebelum berganti dengan 2011. Bagi Lukman Sardi, tahun 2010 merupakan tahun terpadat sebagai aktor. Sebab, ia memerankan lima judul film sekaligus, yakni Sang Pencerah, Red Cobex, Aku Atau Dia, Tanah Air Beta, dan Darah Garuda. Aktivitasnya tersebut, bukan tidak menjadi beban baginya meskipun hal itu juga merupakan berkah bagi bapak satu orang anak ini.
  Sosok keaktorannya kini semakin dominan di antara pekerja seni peran di Indonesia. Sore menjelang senja pada pekan terakhir Oktober lalu di Kekun Kafe, Jakarta Selatan, Kabar FILM mendapat mewawancarai Lukman Sardi saat promosi film Aku Atau Dia dan persiapan film terbarunya, yang akan diproduksi awal 2011. "Kalau kita bicara dari sisi yang manusiawi, bahwa manusia butuh uang. Itulah sebabnya mengapa saya harus sering bermain film," kata Lukman, soal mengapa dia terlihat banyak mengambil job main film.
   Aktor kelahiran Jakarta 14 Juli 1971 ini memulai karirnya sejak tahun 1978 lewat film Kembang Kembang Plastik. Lukman adalah anak dari pasangan Ny Zerlita dan Idris Sardi (biolis legendaris yang juga seorang sineas). Kini, ia memiliki seorang putra bernama Akiva Dishan Ranu Sardi, buah hatinya dengan Pricillia Pullunggono, yang lahir pada tanggal 28 Desember 2009. Berikut ini petikan obrolan Kabar FILM dengan Lukman Sardi:
Anda main beberapa judul film setahun, apakah tidak berlebihan sebagai aktor? Soal main di lima film dalam setahun, bukan berlebihan, karena saya punya kapasitas kemampuan. Sebetulnya, film Tanah Air Beta syuting setahun yang lalu. Darah Garuda-pun (trilogi) 1,2, dan 3 syutingnya tahun 2009. Memang kemudian dilanjutkan lagi di awal tahun ini, tapi hanya sisanya yang 20-30 persen. Totally syuting tahun 2010 adalah Red Cobex, Sang Pencerah, dan Aku Atau Dia. Jadi, syutingnya tidak langsung lima film.
Apakah mengalami kendala, misalnya untuk penghayatan peran? Saya bersyukur, semua itu masih dalam porsi yang bisa saya tangani. Untuk film berikutnya, baru akan mulai lagi tahun depan.
Idealnya aktor hanya main 1-2 film setahun supaya bagus. Menurut Anda? Sebenarnya idealnya banget ya satu film setahun. Atau, sebanyak-banyaknya dualah. Tapi kalau melihat kondisi film di Indonesia, dan ngomong sisi manusiawinya, manusia butuh uang. Kalau di Hollywood, hal seperti itu istilah kasarnya, seorang pemain 'ngambil' satu (judul film) setahun saja, sudah bisa hidup untuk berapa tahun ke depan. Kalau saya, di sini bukannya saya bilang tidak cukup. Tetapi saya berfikir lebih jangka panjang.
  Mengapa idealnya 1-2 film? Karena dengan begitu akan banyak waktu riset dan observasi. Misalnya, kalau saya setahun hanya main dalam satu film, maka banyak waktu riset dan bservasi. Seperti film Sang Pencerah, misalnya sebe-tulnya saya merasa masih kurang riset dan observasi. Tetapi karena waktu yang diberikan hanya dua bulan, ya syuting harus jalan. pada-hal idealnya 6 bulan harus observasi dulu.
Kebutuhan hidup kan relatif, apa perlu membatasi main film? Memang, saya juga sebagai manusia tidak mau munafik bahwa untuk bekerja ada perhitungan-perhitungan sendirilah. Sebenarnya, nantinya dan mudah-mudahan, saya hanya akan menerima dua atau tiga film saja dalam setahun. Karena kalau sampai lima film, akan kurang fokus. Syaratnya, selama itu masih memungkinkan sebatas kemampuan saya. Kalau tidak, maka saya akan bilang tidak bisa, termasuk dengan teman dekat yang mengajak main film.
Apa terfikir penonton akan bosan? Terfikir juga. Tapi, masalahnya penjadwalan pemutaran film itu saya tidak bisa kontrol. Seperti saya bilang, tidak semua syuting tahun 2010. Tapi jadwal keluarnya film hak prerogatif produser. Sebagai pemain, saya sempat kaget, kok (tayangnya) bareng. Kesannya, pertama buat saya pribadi mungkin orang akan melihat seolah-olah Lukman main film sekaligus lima film. Kedua, buat film itu sendiri jadi kurang bagus. Karena sesama film Indonesia jadi berebut penonton. Misalnya kalau ada dua film bagus, akhirnya mereka berebut penonton. Seharusnya kalau munculnya beda-beda beberapa minggu, film itu akan lebih banyak diapresiasi.
Anda punya standar untuk mengambil menolak peran? Perlu digarisbawahi, saya bukan orang yang pemilih banget. Karena kebetulan, tawaran yang datang pas dan bagus. Cuma ada beberapa yang memang tidak bisa saya ambil. Saya melihatnya dan akan lebih memilih yang paling klik sama hati saya. Yang menurut saya paling pas karakternya dengan saya.
   Tapi kalau ada tawaran film yang bagus menurut saya, dan pandangan orang yang saya tanya (Lukman mengaku selalu bertanya pada orang, peran mana yang cocok untuknya) dan mengatakan, peran ini tidak cocok maka saya akan lepaskan. Jadi, saya tidak akan melihat film itu bagus lalu diambil begitu saja. Karena saya tetap melihat, apakah film itu cocok dengan karakter saya.
Apakah pertemanan, termasuk dalam katagori ini? Pertemanan lebih pada katagori yang bisa kita diskusikan lebih lanjut. Ada juga yang meskipun sudah didiskusikan tetap mentok. Jadi pertemanan tidak menjamin pasti saya terima. Jadi, kalau cerita dan karakternya nggak kena sama saya, tidak akan saya terima. Pandangan Anda soal dunia akting film Indonesia? Simple saja begini, saya mengutip apa yang dikatakan Om Slamet Rahardjo (aktor senior) di Indonesia mungkin tidak serumit seperti di luar negeri. "Asal kamu mau serius saja, serius lebih dari yang lain, kamu pasti akan menjadi sesuatu".
  Nah, saya melihatnya memang seperti itu. Bahwa ini pekerjaan adalah tanggungjawab saya, pekerjaan yang saya pilih yang saya cintai. Otomatis saya akan total. Ini pembelajaran yang saya terima. Setiap kali syuting saya selalu mulai dari awal, seperti balik lagi ke titik nol. Karena kalau saya merasa jago, maka hal itu seperti ada batasan, option yang masuk dan mengatakan ‘gue sudah tahu’. Kesannya seperti itu. Tapi kalau sa-ya membuka diri seperti orang baru, maka banyak pembelajaran lagi yang saya terima.
  Yang juga saya lakukan dalam setiap syuting selain serius reading, workshop dan yang paling simple selalu membaca buku apapun di rumah. Jadi, ketika jalan-jalan atau duduk, saya amati juga wartawan. Bagaimana cara wartawan bekerja. Jadi, suatu saat kalau ditawari jadi wartawan, maka oke saya pernah mengamati wartawan-wartawan kerjanya seperti apa. Jadi itu bagian dari pembelajaran.
Peran apa yang masih Anda tunggu? Jadi perempuan. Jadi perempuan yang 180 derajat berbeda. Bukan bencong. Karena kalau bencong masih ada sisi sebagai laki-laki. Contohnya film Mrs Dabtfire yang diperankan Robbin Williams. Dia menanggalkan semua sisi kelaki-la-kiannya. Menurut saya dia itu canggih, bisa berperan seperti itu. Menurut saya seorang laki-laki menjadi perempuan itu tidak gampang. Susah banget. Laki-laki kan berbeda dengan perempuan, mulai dari cara berfikir, gerak fisik, dan gerakan juga beda. (tis)

REZIM BARU PENGUASA FESTIVAL FILM INDONESIA

OLEH HERMAN WIJAYA, Pemerhati Film 
SETELAH hampir satu tahun tidak menginjakan kaki di  Gedung Film, akhirnya saya sampai juga ke bangunan di Jl. Haryono MT Kav.47 itu. Tidak banyak  yang berubah. Yang agak mencolok barangkali standing banner Festival Film Indonesia 2011 berwarna putih – kuning di depan lift. Standing banner itu mungkin satu-satunya pertanda bahwa FFI 2011 akan berlangsung, meski sekretariat FFI yang terletak di bagian terde-pan Gedung Film, nampak sunyi sepi. Pintunya rapat terkunci.
 Kalau melihat siapa yang menjadi Ketua FFI tahun ini, mestinya Sekretariat FFI tidak boleh sepi. Tahun ini Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) telah melakukan reformasi dalam membentuk struktur kepanitiaan FFI, dengan “meminta” M Abduh Azis sebagai Ketua.
  Abduh adalah tokoh kunci di paguyuban Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang telah lama memboikot FFI. Di permukaan, penunjukkan Abduh menyiratkan telah terjadi rekonsiliasi antara pemerintah (Kemenbudpar) dengan MFI. Jika itu terjadi, dipastikan FFI akan berjalan lancar, ramai, dan lebih ber-kualitas. Bagaimana pun mereka yang bernaung di MFI adalah insan film yang telah menorehkan catatan penting dalam dunia perfilman Indonesia, di tahun 2000an.
  Merekalah yang membuat film Indonesia bangkit dari kehancuran –  bukan Kemenbudpar! MFI bekerja – Kemenbudpar mengklaim keberhasilan.
  Ramadhan lalu saya bertemu Abduh di kafe yang dikelola isterinya di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Sambil menyantap kolak saya mendengar cerita Abduh, tentang per-jalanannya menuju kursi Ketua FFI. Dia mengaku diminta oleh Menbudpar, dan dia bertekad membawa gagasan baru dalam penyelenggaraan FFI, walau banyak pula rekannya di MFI yang tidak setuju. Ia juga diminta petinggi Kemenbudpar untuk sowan ke seseorang yang disebutnya oyabun; seseorang yang sangat berpengalaman dalam kepanitiaan FFI.
  “Pesan yang mencuat setelah terjadi kisruh FFI 2010 sudah sangat jelas, yaitu penyelenggaraan FFI harus diperbaiki, dan perbaikan itu butuh proses dan kerendahhatian berbagai pihak untuk ikut berkontribusi di dalam proses tersebut,” kata Abduh usai ditunjuk sebagai Ketua.
 Sejak bertemu di kafe Cikini, saya tidak pernah lagi berkomunika-si dengan Abduh. Maka ketika datang ke Gedung Film belum lama ini, yang saya tanyakan kepada orang-orang di sana adalah bagai-mana kabarnya Abduh – sebagai Ketua FFI tentunya.
  Informasi yang saya terima mengejutkan, ada rumor Abduh tidak sanggup melanjutkan tugasnya sebagai Ketua FFI, jika tidak mendapat dukungan memadai, terutama dalam penyediaan dana untuk menggerakan kepanitiaan FFI. Selama ini, kabarnya kucuran dana agak seret, sehingga panitia tidak bisa leluasa bergerak.
  Masalah dana merupakan persoalan klasik dalam penyelenggaraan FFI. Sesuai ketentuan, penyeleng-garaan FFI ditangani oleh swasta melalui lelang proyek. Tetapi pemenang proyek hanya eksis di atas kertas, teknis penyelenggaraan ditangani oleh panitia yang dikontrol oleh Kemenbudpar (dulu Badan Pertimbangan Perfilman Nasional – BP2N juga pernah menjadi tuan besar Panitia FFI).
  Celakanya, pemenang proyek – yang kadang identitasnya sulit di-ketahui — bukan hanya tidak paham teknis penyelenggaraan, tetapi juga kadang hanya modal dengkul. Begitu ada persoalan keuangan, pemena-ng proyek tidak berani tampil ke depan. Panitia FFI dibiarkan berikhtiar sendiri. Nah kalau panitianya ha-nya modal idealisme, tidak punya koneksi dengan pengu-saha, tentu bakal blingsatan. Inilah, konon, yang tengah dialami oleh rezim Abduh Azis.
  Dalam penyelenggaraan FFI se-belumnya peran pengusaha dalam kepanitiaan sangat membantu. Perwakilan dari Grup 21 misalnya pernah duduk sebagai bendahara. Maka ketika ada persoalan keua-ngan, de-ngan merogoh kocek kirinya saja persoalan selesai. Tapi hubungan Grup 21 dengan Direktorat Film be-lakangan kabarnya membu-ruk, sehingga tidak lagi terlibat dalam kepanitiaan. Bisa jadi kocek-koceknya sudah digembok.
  Untuk menjadi nakhoda FFI memang tidak bisa hanya bermodalkan semangat dan idealisme. Kemampuan untuk melobi sangat dibutuhkan, terutama terhadap pihak-pihak yang bisa membantu kelancaran tugas. Dan lobi itu kadang harus mengorbankan idealisme.
  Kalau datang dengan idealisme, semangat berkobar-kobar untuk melakukan perubahan sambil membu-sungkan dada, bisa frustrasi. Nanti buntutnya mengundurkan diri. Bagaimana pun – sejak dulu – pengendali FFI adalah pemerintah, bukan orang film. Lha wong yang punya duit pemerintah. Kalau tidak bisa mengikuti maunya yang punya duit, bisa ribet!
  Ibaratnya, FFI adalah sebuah pemerintahan dibawah Perdana Menteri dalam sebuah negara monarki. PM boleh berganti, raja tetap berkuasa!**

Kartu nonton Blitzcard Gold jamin kemudahan

Jaringan bioskop Blitzmegaplex mengeluarkan kartu prabayar khusus untuk bertransaksi pada semua fasilitas bioskop berkonsep 'one-stop entertainment' ini, yang tersebar di tujuh lokasi.
  Kini, blitzCard mempunyai blitzCard Gold yang lebih memiliki banyak memberi manfaat, keuntungan, dan kemudahan. BlitzCard Gold sudah bisa didapatkan sejak April lalu saat launcnhing, namun pada kesempatan periode II dalam Oktober ini blitzmegaplex mengundang kem-bali secara khusus para pemegang blitzCard yang loyal untuk beralih ke blitzCard Gold.
   Untuk menjadi pemilik blitzCard Gold, pengguna blitzCard regular, harus melakukan transaksi minimum Rp3.000.000 dalam waktu enam bulan terakhir, dan secara otomatis akan ter-upgrade menjadi pemegang blitzCard Gold.
   BlitzCard Gold tidak dapat dibeli, dan untuk mendapatkannya pada pemegang blitzCard harus melakukan transaksi dahulu selama enam bulan, dan mengikuti waktu upgrade yang telah ditentukan oleh pihak blitzmegaplex. Lebih lengkap hubungi www.blitzmegaplex.com. (kf3)

Syuting film 'Sanubari Jakarta' bersemangat indie

RABU 27 September 2011 pukul 11.30 WIB, syuting hari kedua salah satu dari 9 judul omnibus film Sanubari Jakarta yang berjudul Terhubung harus sudah take. Namun, kru masih berbenah mengatur property satu ruangan paviliun sebuah kompleks di Jl Raya Gempol no 168, kawasan Cijantung,  Jakarta Timur. Produser proyek film ini adalah Lola Amaria, yang baru datang dan langsung melakukan ‘inspeksi.
  “Seharusnya sudah mulai syuting nih..,” ujar Lola agak keras pada kru, termasuk sut-radara Alfrits dan kameraman Bembi.
  Sambil membuka laptop, Lola pelan mengatakan, “Pertama syuting kemarinmemang sampai jam 02.00 dinihari, sih,” ujarnya, seakan memaklumi ketidaksiapan itu. Akhirnya ada ‘kesepakatan’ tak tertulis, syuting akan dimulai setelah makan siang jam 12.00 WIB.
   Waktu bergulir, semua unit sudah dalam suasana ‘on’ dan berada pada posisi masing-masing..Hanya sesekali terdengar teriakan action dan cut diantara dialog-dialog  kecil.
  Rencananya, syuting hari ini  dituntaskan mengambil 5 scene. “Kalau sampai molor, biaya akan tambah. Disiplin waktu harus dijaga, karena kita bikin film dengan budget patungan,” kata sutradara film Minggu Pagi Di Victoria Park ini.
  Tentu saja perhitungan waktu sangat mempengaruhi produksi film, yang dilandasi semangat indie namun tetap menjaga irama profesionalime itu. Setidaknya kru mendapat ‘mentor’ dan monitoring dari Lola yang lebih berpengalaman. “Sanubari Jakarta kami targetkan tidak untuk penonton bioskop atau komersial. Jadi kami buat sebaik-baiknya dengan kemampuan yang ada. Berharap bisa masuk festival film di dalam dan luar negeri, karena isu LGBT (Lesbian Gay Bisex dan Transgender) ini sangat global,” lanjut sineas yang selama ini cenderung mengusung tema idealisme dalam keryanya.
  Kebetulan, kata Lola, seluruh tim sepakat untuk tidak menjadikan film ini komersial. Alasannya, yang pertama adalah ketiadaan biaya untuk memblow-up film ke seluloid agar bisa diterima bioskop. Kedua, tim berharap tak ada sensor dari film mereka, dan Ketiga tim ini punya jalur distribusi film yang sudah ‘mapan’ di kampus-kampus dan komunitas tertentu.
  Alasan Lola mengangkat tema LGBT karena dia peduli pada hal-hal yang selama ini o-rang kurang peduli dan menganggap tabu. “Di sekeliling kita banyak orang-orang yang berbeda dalam  orientasi seksual, dan mereka tidak mendapat hak layak sebagai manusia umumnya. Bahwa banyak diantara mereka diterima sebagai entertainer, tapi itu belum membuka masalah sebenarnya,” jelas Lola, yang ingin mengangkat sisi humanisme dari persoalan sosial di masyarakat Indonesia tersebut. "Yang jelas, dunia fashion tanpa mereka akan sepi."
  Dijadwalkan, Desember 2011 semua film sudah selesai syuting. Lola, menggarap proyeknya kali ini melalui Kresna Duta Foundation, yayasan yang akan mensupport pro-duksi film. “Makanya saya terus berusaha cari bantuan sambil syuting,” ujarnya.
   Ketika syuting sampai take ke 4, Lola pamit pada kru dan berjanji akan datang malam harinya.

9 Judul satu film
Berbeda dari yang dibuat sebelumnya, konsep omnibus film ini semula berjudul Jakarta Deep Down, lalu diubah menjadi Sanubari Jakarta.  Film ini kompilasi 9 film pendek, 9 cerita bertema LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) karya 9 sutradara. Masing-masing film tersebut berdurasi 10 menit.
  Berikut adalah kesembilan film tersebut: Malam Ini Aku Cantik (Sutradara: Dinda Kanya Dewi): merupakan adaptasi cerpen Malam Ini Aku Cantik, tentang waria bernama Agus yang bekerja demi membiayai hidup anak dan Istrinya di kampung, 2Warna (Sutradara Adriyanto Waskito Dewo); tentang dua lelaki yang saling jatuh cinta, Pembalut (Strd Billy Christian): Tentang sepasang kekasih Bianca dan Theresia yang mencintai hingga suatu saat mereka butuh pembalut,  Lumba-Lumba (Strdr Lola Amaria:  Tentang Adinda, seorang guru di sebuah TK “Lumba-Lumba”  menyukai perempuan bernama Ajeng. Ada rahasia yang terjadi kemudian dirumah Ajeng, Gagal Bercinta (Stradara: Aline Jusria) Cerita tentang kaum homo, Topeng Srikandi (Sutradara: Kirana Larasati)  Kisah perempuan bernama Srikandi yang sakit hati dan memilih menjadi laki-laki, Terhubung (Sutradara: Alfrits); Kartika punya pacar pria, tapi dia juga jatuh cinta pada Agatha,  CakaMata (Sutradara: Tika Pramesti): Rama, pria tertarik sesama jenis bernama Putra, Hari Pertama (Sutradara: Fira Sofiana): Abby perempuan yang memutuskan dirinya berpenampilan sebagai laki-laki. Hari ini pertama Abby mengalami menstruasi. Perut sakit, suasana tak enak, dan celananya kena bercak darah. Dan di hari pertama itu, Abby dihadapkan pada banyak kenyataan saat berada di jalan. (kf1)

Festival Film Anak Medan kembali digelar

FESTIVAL Film Anak (FFA) IV akan segera digelar. Tahun ini, mengangkat tema budaya dan hak anak. Demikian disampaikan Direktur Eksternal Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Misran Lubis.
 “Pekan ini kita buka untuk seluruh anak-anak di Indonesia,” kata Misran, kemarin. Ia menambahkan, FFA telah dilaksanakan oleh PKPA bekerjasama dengan komunitas film yang berperspektif anak sejak 2008. Hingga kini, FFA sudah memperlombakan sebanyak 87 film kategori fiksi dan dokumenter.
 “Target kita tahun ini semakin banyak provinsi di Indonesia yang dapat terlibat selain film anak-anak dari Sumut, Jateng, Aceh dan Jabar,” katanya. Selain itu, ada keinginan untuk menambah kategori animasi. “Masih perlu penambahan sumberdaya dan kerjasama yang kuat, mudah-mudahan 2012 bisa terwujud,” kata Misran lagi.
 Tahun depan, pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh film FFA 2008-2012.
 Menurutnya, PKPA selalu membuka jalur kerjasama yang lebih permanen kepada semua pihak yang sesuai dengan instrumen mengenai promosi hak anak, agar film-film karya anak tidak hanya berhenti di malam penganugerahan, tetapi dapat lebih memasyarakat.

Buka Pendaftaran
Sebelumnya sudah digelar pelatihan film anak akhir Juni 2011 lalu. Pendaftaran FFA ini dibuka hingga 10 Oktober 2011. Diharapkan, anak yang ikut pelatihan menjadi peserta FFA yang tahun ini mengusung tema Tanamkan Jasamu, Tinggikan Budayamu dengan kategori cerita fiksi dan dokumenter.
 Peserta adalah tim yang terdiri dari minimal lima orang anak (usia maks.18 tahun), didampingi seorang dewasa misalnya: Guru, orang tua salah seorang anggota tim atau staf lembaga pendamping anak. Selain itu, para peserta setidaknya seorang anak dalam tim pernah mengikuti pelatihan atau workshop film anak atau kegiatan pemberdayaan di bidang serupa di tempatnya dengan menunjukkan bukti kepesertaan.
 Film yang diperlombakan berdurasi 10 – 15 menit, tidak mengandung tema-tema bernuansa SARA, pornografi/ pornoaksi, tidak memvisualisasikan kekerasan, tidak melanggar hak cipta orang lain baik secara audio maupun visual.
  Formulir bisa diunduh dari blog FFA. Film dikirim dalam format DVD atau AVI sebelum berakhir masa pendaftaran 10 Oktober 2011 ke Sekretariat FFA di PKPA.
 Pengembalian formulir dan film wajib menyertakan hardcopy dengan melampirkan softcopy cover film atau foto di belakang layar still foto serta sinopsis sepanjang 30-50 kata. Malam penganugerahan FFA akan dilaksanakan 21 Oktober.
 Sebagai bentuk apresiasi untuk para pemenang FFA 2011, PKPA sudah menyiapkan hadiah utama handycam plus dana, trophy dan sertifikat dengan total hadiah senilai Rp. 15 Juta. Dewan juri diisi oleh praktisi anak, pekerja film, psikolog anak, perwakilan pemerintah dan perwakilan anak.(rls)

Minggu, 16 Oktober 2011

Prasad Film India kunjungi dapur Sinematek Indonesia

Jaya Vasant dan Berthy Ibrahim Lindia

LABORATORIUM film terkemuka di India, Prasad Film akan memberikan bantuan peralatan kepada pusat dokumentasi perfilman Sinematek Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Kepala Sinematek Indonesia, H Berthy Ibrahim Lindia, usai menerima kunjungan Jaya Vasant, selaku senior manager Prasad Film, Rabu (27/9) lalu.
   “Kunjungan pihak Prasad Film ke Sinematek ini sangat strategis dan membuka peluang kemitraan yang lebih baik lagi. Salah satu rencana, mereka akan memberikan bantuan peralatan transfer teknologi tapi masih dibicarakan lagi nanti,” ungkap Berthy Ibrahim saat ditemui Kabar Film di ruang kerjanya.
   Pada kesempatan berkunjung ke Indonesia, Jaya Vasant yang berpakaian sari, menengok ‘dapur’ Sinematek di lantai 4 dan melakukan inspeksi ke ruang simpan seluloid film di lantai dasar Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan tersebut.
  Menurut Berthy Ibrahim, pihak Prasad Film sempat memuji teknis penyimpanan film di Sinematek yang mereka nilai sudah tepat. “Tapi mereka juga prihatin karena Sinematek tidak punya teknologi perawatan film yang sesuai kebutuhan,” ungkap Berthy menirukan Jaya Vasant.

'Tiga Dara'
  Prasad Film merupakan lab terkemuka di India yang memiliki jaringan di sejumlah kota di India termasuk di Prasad Studios di kawasan Chennai. Prasad Film Grup telah dipercaya dan menjadi rujukan para pembuat film Hollywood dalam prosessing, editing, hingga restorasi film-film yang rusak. Salah satu klien tetap Prasad Film adalah sutradara film Hollywood yang juga pendiri Film Foundation, Martin Scorsese. Lab film ini juga terkenal karena memiliki fasilitas leng-kap dan kualitas terbaik, dengan harga relatif lebih murah.
'Tiga Dara'
   Sinematek sendiri sudah memulai kerjasama dengan Prasad Film sejak setahun terakhir, ketika sejumlah film yang ‘bersemayam’ di Sine-matek harus direstorasi, dan sebagian lainnya dialihkan ke format digital.
  “Ada 10 film yang sekarang direstorasi (perbaikan kualitas fisik), antara lain film-filmnya Rhoma Irama dan Benyamin S,” ujar Berthy.
Selain bekerjasama dengan laboratorium film di India, Sinematek juga melakukan pendekatan secara diplomatis dan kelembagaan dengan Kebudayaan Belanda dan Singapura. “FilmTiga Dara dan Lewat Djam Malam direstorasi di kedua Negara itu,” ujar Berthy.
  Lantas berapa biaya restorasi film di luar negeri? “Yang pasti, teknologi di Indonesia tidak semurah di luar negeri, dan Sinematek tidak punya duit untuk membiayai restorasi di sini. Bahkan, di luar negeri, biaya satu film Rp2 Miliar lebih,” jelas Berthy, yang mengaku mengandalkan jalur koneksi dan jaringan komunitas film, termasuk fasilitas dari Kine Forum.

'Lewat Djam Malam'
   Dipilihnya kedua film tersebut untuk direstorasi, karena di dalam film lawas tersebut memiliki sejarah dan masing-masing Negara punya kepentingan. “Tidak mungkinlah Sinematek minta bantuan biaya restorasi ke pemerintah untuk saat ini,” kata Berthy, seraya mengatakan pihaknya akan memutar film-film tersebut di bioskop jika restorasi selesai.
   Kapan? “Waktu restorasi mema-ng tidak sebentar, perlu berbulan-bulan untuk memperbaiki seluloid yang sudah lengket atau kerusakan lainnya. Kalau digitalisasi 10 film di Chennai, mudah-mudahan bisa lebih cepat,” ujar Berthy lagi.

'Lewat Djam Malam'
   Kesepuluh film yang sedang dalam proses digitalisasi di Prasad Studio di Chennai, India antaranya Darah Muda (1977),  Begadang (1978), Melodi Cinta (tahun 19-80), Perjuangan dan Doa (tahun 1980), Cinta Kembar (1984), Cukong Bloon (1973), Benyamin Biang Kerok (1972), Biang Kerok Beruntung (1973),  Sama Gilanya (1983), Para Perintis Kemerdekaan, dan Dibawah Lindungan Kabah (1977) karya sutradara Asrul Sani. Khusus ke-10 film ini, Sinematek mendapat dukungan PT  Falcon se-laku pemegang hak  siar film-film tersebut.
Selain berkunjung ke Sinematek, Jaya Vasant juga mampir di sejumlah perusahaan film. "Mereka juga mendatangi beberapa produser film di sini, untuk menjajaki kemungkinan menawarkan proses  film di India,” jelas Berthy Ibrahim. (tis)

HOROR PENASARAN ‘The Perfect House’

SETELAH mendapat apresiasi yang positif dari penikmat film di sejumlah festival di luar negeri, film Indonesia The Perfect House akan bisa disaksikan di bioskop tanah air, mulai 27 Ok-tober 2011. Film ini berbeda dengan horor yang sebelumnya ada. Rasa takut yang mencekam dan membuat penasaran, itulah yang membuat film ini mampu membangkitkan adrenaline penonton...
  Jangan berharap tiba-tiba akan muncul pocong, gendruwo dan sejenis yang sering membuat tertawa itu di dalam film ini. Tidak seperti film horor umumnya yang jarang digarap serius dan sepenuh hati, film produksi perdana rumah produksi VL Production ini menawarkan cerita yang membuat penontonnya berfikir.   “Sebenarnya lebih ke cerita yang ingin mengajak penonton berfikir. Mereka solving puzzles dari cerita itu. Jadi kita nggak sekadar menonton,” turur Vera Lasut, Produser The Perfect House ketika ditemui saat hadir di arena Marche du Film Cannes Festival Film 2011, Perancis Mei yang lalu
  Untuk mengarahkan film ini Vera menunjuk Affandfi Abdul Rachman (sebelumnya menggarap film Pencarian Terakhir, dan Heartbreak.com) sebagai sutradara. Pemi-lihan Affandi dikatakan Vera bukannya tanpa alasan. Selain  memiliki karakter film yang baik, Fandi juga ikut menggodok cerita The Perfect House.
   “Penonton kita selalu ingin sesuatu ya-ng baru. Maka saya dan teman-teman da-lam tim memutuskan menyajikan (film) ini,” ungkap Vera.
   The Perfect House menghadirkan para pemain antaranya VJ MTV Cathy Sharon (Sang Dewi, Barbi3, Dawai 2 Asmara), Mike Lucock (Nagabonar Jadi 2, Virgin, Rumah Dara), Bella Esperance (Catatan si Boy 3, Bibir Mer, Kuntilanak 3) serta beberapa nama pendatang baru Endy Arfian dan Wanda Nizar.

Kisah guru privat   
   The Perfect House, film bergenre thriller, menceritakan tentang seorang guru privat bernama Julie (Cathy Sharon) yang mengajar disebuah rumah. Namun dirinya tidak sadar jika rumah tersebut pe-nuh dengan misteri gelap yang akhirnya akan menimbulkan bahaya bagi semua o-rang. Apakah sang guru bisa terhindar dari bahaya yang mengancam di dalam rumah tersebut? (tis)