Rabu, 19 Oktober 2011

Lukman Sardi: Selalu berangkat dari titik nol

TAHUN 2010 tersisa sebulan lagi sebelum berganti dengan 2011. Bagi Lukman Sardi, tahun 2010 merupakan tahun terpadat sebagai aktor. Sebab, ia memerankan lima judul film sekaligus, yakni Sang Pencerah, Red Cobex, Aku Atau Dia, Tanah Air Beta, dan Darah Garuda. Aktivitasnya tersebut, bukan tidak menjadi beban baginya meskipun hal itu juga merupakan berkah bagi bapak satu orang anak ini.
  Sosok keaktorannya kini semakin dominan di antara pekerja seni peran di Indonesia. Sore menjelang senja pada pekan terakhir Oktober lalu di Kekun Kafe, Jakarta Selatan, Kabar FILM mendapat mewawancarai Lukman Sardi saat promosi film Aku Atau Dia dan persiapan film terbarunya, yang akan diproduksi awal 2011. "Kalau kita bicara dari sisi yang manusiawi, bahwa manusia butuh uang. Itulah sebabnya mengapa saya harus sering bermain film," kata Lukman, soal mengapa dia terlihat banyak mengambil job main film.
   Aktor kelahiran Jakarta 14 Juli 1971 ini memulai karirnya sejak tahun 1978 lewat film Kembang Kembang Plastik. Lukman adalah anak dari pasangan Ny Zerlita dan Idris Sardi (biolis legendaris yang juga seorang sineas). Kini, ia memiliki seorang putra bernama Akiva Dishan Ranu Sardi, buah hatinya dengan Pricillia Pullunggono, yang lahir pada tanggal 28 Desember 2009. Berikut ini petikan obrolan Kabar FILM dengan Lukman Sardi:
Anda main beberapa judul film setahun, apakah tidak berlebihan sebagai aktor? Soal main di lima film dalam setahun, bukan berlebihan, karena saya punya kapasitas kemampuan. Sebetulnya, film Tanah Air Beta syuting setahun yang lalu. Darah Garuda-pun (trilogi) 1,2, dan 3 syutingnya tahun 2009. Memang kemudian dilanjutkan lagi di awal tahun ini, tapi hanya sisanya yang 20-30 persen. Totally syuting tahun 2010 adalah Red Cobex, Sang Pencerah, dan Aku Atau Dia. Jadi, syutingnya tidak langsung lima film.
Apakah mengalami kendala, misalnya untuk penghayatan peran? Saya bersyukur, semua itu masih dalam porsi yang bisa saya tangani. Untuk film berikutnya, baru akan mulai lagi tahun depan.
Idealnya aktor hanya main 1-2 film setahun supaya bagus. Menurut Anda? Sebenarnya idealnya banget ya satu film setahun. Atau, sebanyak-banyaknya dualah. Tapi kalau melihat kondisi film di Indonesia, dan ngomong sisi manusiawinya, manusia butuh uang. Kalau di Hollywood, hal seperti itu istilah kasarnya, seorang pemain 'ngambil' satu (judul film) setahun saja, sudah bisa hidup untuk berapa tahun ke depan. Kalau saya, di sini bukannya saya bilang tidak cukup. Tetapi saya berfikir lebih jangka panjang.
  Mengapa idealnya 1-2 film? Karena dengan begitu akan banyak waktu riset dan observasi. Misalnya, kalau saya setahun hanya main dalam satu film, maka banyak waktu riset dan bservasi. Seperti film Sang Pencerah, misalnya sebe-tulnya saya merasa masih kurang riset dan observasi. Tetapi karena waktu yang diberikan hanya dua bulan, ya syuting harus jalan. pada-hal idealnya 6 bulan harus observasi dulu.
Kebutuhan hidup kan relatif, apa perlu membatasi main film? Memang, saya juga sebagai manusia tidak mau munafik bahwa untuk bekerja ada perhitungan-perhitungan sendirilah. Sebenarnya, nantinya dan mudah-mudahan, saya hanya akan menerima dua atau tiga film saja dalam setahun. Karena kalau sampai lima film, akan kurang fokus. Syaratnya, selama itu masih memungkinkan sebatas kemampuan saya. Kalau tidak, maka saya akan bilang tidak bisa, termasuk dengan teman dekat yang mengajak main film.
Apa terfikir penonton akan bosan? Terfikir juga. Tapi, masalahnya penjadwalan pemutaran film itu saya tidak bisa kontrol. Seperti saya bilang, tidak semua syuting tahun 2010. Tapi jadwal keluarnya film hak prerogatif produser. Sebagai pemain, saya sempat kaget, kok (tayangnya) bareng. Kesannya, pertama buat saya pribadi mungkin orang akan melihat seolah-olah Lukman main film sekaligus lima film. Kedua, buat film itu sendiri jadi kurang bagus. Karena sesama film Indonesia jadi berebut penonton. Misalnya kalau ada dua film bagus, akhirnya mereka berebut penonton. Seharusnya kalau munculnya beda-beda beberapa minggu, film itu akan lebih banyak diapresiasi.
Anda punya standar untuk mengambil menolak peran? Perlu digarisbawahi, saya bukan orang yang pemilih banget. Karena kebetulan, tawaran yang datang pas dan bagus. Cuma ada beberapa yang memang tidak bisa saya ambil. Saya melihatnya dan akan lebih memilih yang paling klik sama hati saya. Yang menurut saya paling pas karakternya dengan saya.
   Tapi kalau ada tawaran film yang bagus menurut saya, dan pandangan orang yang saya tanya (Lukman mengaku selalu bertanya pada orang, peran mana yang cocok untuknya) dan mengatakan, peran ini tidak cocok maka saya akan lepaskan. Jadi, saya tidak akan melihat film itu bagus lalu diambil begitu saja. Karena saya tetap melihat, apakah film itu cocok dengan karakter saya.
Apakah pertemanan, termasuk dalam katagori ini? Pertemanan lebih pada katagori yang bisa kita diskusikan lebih lanjut. Ada juga yang meskipun sudah didiskusikan tetap mentok. Jadi pertemanan tidak menjamin pasti saya terima. Jadi, kalau cerita dan karakternya nggak kena sama saya, tidak akan saya terima. Pandangan Anda soal dunia akting film Indonesia? Simple saja begini, saya mengutip apa yang dikatakan Om Slamet Rahardjo (aktor senior) di Indonesia mungkin tidak serumit seperti di luar negeri. "Asal kamu mau serius saja, serius lebih dari yang lain, kamu pasti akan menjadi sesuatu".
  Nah, saya melihatnya memang seperti itu. Bahwa ini pekerjaan adalah tanggungjawab saya, pekerjaan yang saya pilih yang saya cintai. Otomatis saya akan total. Ini pembelajaran yang saya terima. Setiap kali syuting saya selalu mulai dari awal, seperti balik lagi ke titik nol. Karena kalau saya merasa jago, maka hal itu seperti ada batasan, option yang masuk dan mengatakan ‘gue sudah tahu’. Kesannya seperti itu. Tapi kalau sa-ya membuka diri seperti orang baru, maka banyak pembelajaran lagi yang saya terima.
  Yang juga saya lakukan dalam setiap syuting selain serius reading, workshop dan yang paling simple selalu membaca buku apapun di rumah. Jadi, ketika jalan-jalan atau duduk, saya amati juga wartawan. Bagaimana cara wartawan bekerja. Jadi, suatu saat kalau ditawari jadi wartawan, maka oke saya pernah mengamati wartawan-wartawan kerjanya seperti apa. Jadi itu bagian dari pembelajaran.
Peran apa yang masih Anda tunggu? Jadi perempuan. Jadi perempuan yang 180 derajat berbeda. Bukan bencong. Karena kalau bencong masih ada sisi sebagai laki-laki. Contohnya film Mrs Dabtfire yang diperankan Robbin Williams. Dia menanggalkan semua sisi kelaki-la-kiannya. Menurut saya dia itu canggih, bisa berperan seperti itu. Menurut saya seorang laki-laki menjadi perempuan itu tidak gampang. Susah banget. Laki-laki kan berbeda dengan perempuan, mulai dari cara berfikir, gerak fisik, dan gerakan juga beda. (tis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar