Kamis, 10 November 2011

Hong Kong Filmart 2011: Jalan RI tembus Asia

KOTA Wan Chai, Hong Kong baru saja berdenyut. Senin pagi sekitar pukul 09.00 waktu setempat, suhu udara menunjukkan angka 21 derajat celcius. Kesibukan kecil terlihat di gedung Hong Kong Convention and Exhibition Centre tempat digelarnya Hong Kong International Film & TV Market (Filmart) 2011, dimana Indonesia menjadi bagian dari event berskala internasional tersebut.
   Beberapa petugas pameran yang dikoordinir organisasi Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) yang pada hari sebelumnya sudah menata boots seluas 54 m2, pagi itu melakukan filnal touching, sebelum pameran dibuka tanpa melalui acara seremonial. “Tinggal menyiapkan trailer, menempel beberapa poster film dan menyiapkan permen untuk cemilan para pengunjung,” ujar Evi Hapiah sekretaris  PPFI  ketika dijumpai Kabar Film di  stand pameran. 
   Ada 33 Negara peserta dalam event ke-15 yang digelar (mulai 21-24 Maret 2011)  oleh negara para jawara kungfu itu. Indonesia sendiri baru menjadi peserta yang keenam kalinya. Masing-masing negara peserta menampilkan gaya dekorasi stand pameran berbeda, termasuk stand Indonesia yang menghadirkan wayang golek tokoh Rama Shinta, dan Cepot.
   Ditampilkannya tokoh-tokoh wayang di stand Indonesia ini cukup menarik perhatian sebagian besar pengunjung pameran. Mereka kerap terhenti saat melintasi gerai Indonesia dan mengucapkan kekagu-man pada keunikan wayang golek.
   “Boneka yang unik dan spesial,” ungkap seorang pengunjung wanita berkulit kuning bermata khas sipit, ketika menyambangi stand Indonesia di pagi itu. Ia bersama dua rekan lainnya sempat memotret dan mengamati wayang, sebelum melihat-lihat puluhan artikel promosi film Indonesia. Hal serupa ju-ga dilakukan oleh pengunjung dari berbagai negara lainnya.
   Sejumlah produser pengurus PPFI di pagi hari pertama pameran itu menyambut para tamu yang hadir. Mereka adalah Gope Samtani (Rapi Films/Kabid Produksi) kepala delegasi Indonesia, HM Firman Bintang (BIC Production/Ketua Umum), Ody Mulya Hidayat (PT Maxima Pictures/Sekjen PPFI), Harry Simon (PT Jatayu/Bendahara), Chand Parwez (PT Kharisma Starvision/ Kabid Tata Edar), Sunil Samtani (PT Rapi Film/Wkl Bendahara), Manoj Punjabi (PT MD Entertainment/Kabid Festival dan Luar Negeri).
   Peserta dari Indonesia tak hanya anggota PPFI, tapi perusahaan  lain seperti PT Pic[k]Lock yang diwakili sutradara sekaligus artis pemeran film Minggu Pagi  di Victoria Park, Lola Amaria, dan PT Kojo Anima di-wakili produser Andriansyah. Perusahaan terakhir ini merupakan pe-serta mandiri (biaya sendiri) yang mewakili perusahaan film animasi satu-satunya dari Indonesia.
   Seluruh film Indonesia yang disertakan dalam Hong Kong Filmart 2011 berjumlah 24 judul dari 10 perusahaan film yaitu Pengantin Pantai Biru, Kalung Jaelangkung, Pocong Rumah Angker, Akibat Pergaulan Bebas, Love Story, Kabayan Jadi Milyuner, Virgin3, Air Terjun Pengantin, Jenglot Pantai Selatan, Love in Perth, Nakalnya Anak Muda, Ayat Ayat Cinta, Emak Ingin Naik Haji, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Rindu Purnama, Little Obama, Sang Pencerah, Goyang Kerawang, Pocong Jumat Kliwon (judul diubag Evil Rises), Taring (Dark Forest), Pocong Ngesot (Un Invited), Minggu Pagi di Victoria Park, dan Lost In Papua.
   Stand pameran Indonesia bersebelahan dengan stand Malaysia. Untuk kenyamanan pengunjung dan calon pembeli, ruangan pameran dilengkapi tivi monitor besar untuk memutar trailler film, rak tempat artikel serta booklet promosi film dan lokasi wisata yang dibagikan gratis, partisi untuk men-display poster film, serta empat set meja kursi.

Pembuka jalan menuju Asia
Hong Kong Filmart merupakan ajang pemasaran produk film dan televisi dari seluruh dunia, yang diselenggarakan oleh Hong Kong Trade Development Council. Negara peserta kali ini  selain Hong Kong sebagai tuan rumah, adalah Amerika, Inggris, Jerman, Indonesia, Jepang, Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Israel, India, Belanda, Italia, Arab Saudi, Korea, Polandia, Ukraina, Cina, Turki, Perancis, Finlandia, Rusia, Taiwan, Philipina, Austria, Australia, dan Kanada.
   Bagi Indonesia, kesertaan pada event Hong Kong Filmart memiliki arti dan target tersendiri. Hal itu dikatakan Plt Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Drs Ukus Kuswara MM,  ketika menyambangi stand pameran.
   “Pemerintah Indonesia memfasilitasi keikutsertaan film-film Indonesia di sini, untuk seluruh film Indonesia. Tujuannya, selain untuk menjaga eksistensi perfilman juga memperkenalkan kawasan Indonesia yang layak untuk dijadikan lokasi syuting film internasional,” kata Ukus Kuswara kepada Kabar Film di Hong Kong, Senin (21/3/2011).
   Selain memperkenalkan film Indonesia di luar negeri, secara khusus keikutsertaan Indonesia di Hong Kong Filmart sebagai batu loncatan untuk memasuki pasar di wilayah Asia. 
   “Kita harapkan, Hong Kong akan  menjadi pembuka jalan bagi produk film Indonesia untuk masuk Asia,” kata Ukus Kuswara yang hadir didampingi Direktur Perfilman Drs Syamsul Lussa MA. 
   Dibandingkan negara lainnya, Indonesia termasuk yang cukup banyak mempresentasikan film-film horor di ajang ini. Menurut Gope Samtani, film horor Indonesia memiliki keunikan dari negara lain. "Masyarakat luar menyukai film horor kita, karena unik dan tidak ada di film-film horor lain di negara manapun," kata Gope Samtani, tentang kesertaan sejumlah film bertema horor pocong yang kerap dipertanyakan oleh kalangan tertentu di tanah air.
   Pada kesempatan lainnya, produser yang juga Ketua Umum  PPFI HM Firman Bintang mengatakan, film nasional berangkat dari semangat dan misi untuk menghibur. "Sejarah mencatat, film Indonesia awalnya alat hiburan, dan baru setelah itu film menjadi media perjuangan dan idealisme lainnya. Jadi, intinya film memang harus bisa menghibur masyarakat," kata Firman Bintang dalam obrolan  ringan di Hotel Rosedale, Hong Kong tempat menginap delegasi Indonesia. 
   Sementara, Lola Amaria menilai partisipasi Indonesia di Hong Kong Filmart merupakan persentuhan film nasional dengan dunia luar. "Sebagai media promosi, event ini cukup penting. Tapi sebaiknya me-mang ada evaluasi, agar kita benar-benar tahu jenis film Indonesia, yang disukai pembeli internasional," ujar Lola Amaria. 
   Selama tiga hari pameran digelar, tidak ada transaksi jual-beli film. Ini memang hal yang lazim menurut Gope Samtani. “Transaksi biasanya akan dilakukan oleh masing-masing pihak produser setelah pameran selesai. Di tempat pameran hanya terjadi tawar-menawar atau pengenalan produk lebih dulu,” kata Gope Samtani.
   Seminggu setelah pameran, yakni pada 7 April 2011, PPFI melaporkan hasil dari pameran ke Direktorat Perfilman, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang antara lain menunjukkan adanya ketertarikan sejumlah negara terhadap film Indonesia.
   Sebagai catatan, Indonesia tidak menyertakan seluruh film yang di-produksi. Padahal, ada 80-an film Indonesia pada periode 2010-2011.  Hal ini mengindikasikan  kurang terkordinirnya pemberangkatan film-film Indonesia ke pemasaran film di luar negeri. (teguh imam s)

Selasa, 08 November 2011

Pasukan berkuda Parfi iringi Gong Perdamaian Dunia

Ketua Umum Parfi Aa Gatot Brajamusti (kanan) dan Toro Margens (kiri) dalam Kirab Gong Perdamaian Dunia yang berlangsung di Semarang, Jawa Tengah (foto: dudut sp)
SELEPAS adzan dhuhur waktu Semarang, Rabu (8/11) cuaca begitu dinamis. Sebentar panas lalu berubah sejuk, dan kembali panas. Delapan ekor kuda milik Kepolisian Daerah Semarang berjajar di depan Markas Komando Distrik Militer 0733 BS yang terletak di Jalan Pemuda. Hewan-hewan tunggangan yang terlatih itu memang tak lazim berkumpul di sana. Ini hanya salah satu pemandangan dari persiapan acara "Kirab Gong Perdamaian Dunia Solo-Semarang".
   Kesibukan kecil lainnya tampak di Balai Sudirman yang berada di dalam kompleks Kodim 0733. Sejumlah artis anggota Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) diketuai Aa Gatot Brajamusti melakukan briefing, untuk melaksanakan hajat mereka mengiringi Gong Perdamaian Dunia berdiameter 5 meter, yang dikirim dari Solo, Jawa Tengah untuk dibawa ke Bali melalui Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang.
Gong ukuran raksasa itu. (foto: dudut sp)
   "Sesampainya di Tanjung Emas, gong ini akan diangkut ke Bali menggunakan KRI Teluk Cendrawasih. Kami berkoordinasi dengan kepolisian dan TNI AL," ujar Ketua Umum Parfi, Aa Gatot Brajamusti yang juga Pimpinan "Kirab Gong Perdamaian Dunia Solo-Semarang" sesaat sebelum menunggang kuda. Beberapa artis ikut menunggang kuda antaranya Toro Margen, Hans sidardja (Ketua Parfi Semarang), Adenin Adlan, Agus Leo, Firman Nurjaya, Tedi Terangi, dan Piet Pagau. Sementara artis lainnya seperti George Taka, dan sejumlah aktris perempuan naik kendaraan.
   Selanjutnya gong dikirab menuju Pelabuhan yang berjarak sekitar 2 km dari tempat start. Selain pasukan berkuda, ada rombongan motor besar Harley Davidson, voreiders, dan kendaraan pribadi.
   Sementara gong perdamaian dunia yang dibuat 'khusus' berdiameter 5 meter, diangkut naik ke atas truk milik TNI AL. Besarnya gong memacetkan jalan. Ditambah dengan iringan berkuda yang jalan dengan kecepatan tak sampai 7 km/jam, tumpahnya masyarakat yang ingin menyaksikan 'prosesi' kirab gong tersebut.
   Kirab gong perdamaian dunia menjadi penting, karena simbol perdamaian ini -- termasuk Hari Perdamaian Dunia 21 September yang diratifikasi PBB diprakarsai oleh masyarakat Indonesia. "Kita harus bangga dengan prakarsa bangsa Indonesia, yang mengilhami dunia untuk mengadakan Hari Perdamaian Dunia," ujar Direktur Komite Perdamaian Dunia, Mohammad Ridwan Widhiyantoro.
   Gong Perdamaian Dunia (GPD) dibuat pertamakali di akhir 2002 pasca 'Bom Bali-I' oleh Djutoko Suntani (Presiden Komite Perdamaian Dunia) bersama Gde Sumarjaya Linggih (anggota DPR RI), dan beberapa tokoh nasional seperti Esy Darmadi dan Lieus Sungkharisma. Saat ini GPD sudah tersebar di 43 Negara dari 202 negara anggota Komite Perdamaian Dunia.
   "Gong Perdamaian Dunia adalah satu-satunya sarana persaudaraan dan pemersatu umat manusia di dunia. Artis film seharusnya juga berperan dalam sebagai agen perdamaian. Sebagai organisasi yang menaungi artis film, Parfi sangat menaruh perhatian terhadap upaya-upaya membangun persaudaraan antarumat manusia," jelas Aa Gatot, yang sukses menggelar Konser Perdamaian dalam rangka Hari Perdamaian Dunia di Gianyar, Bali 21 September 2011. Alasan itulah yang menurut Aa gatot, pihaknya bersedia menjadi penyelenggara kegiatan Kirab Gong Perdamaian Dunia Solo-Semarang.
   Menurut Aa Gatot, "Untuk menciptakan perdamaian memang tidak mudah, namun harapan itu harus tetap diwujudkan. Kami pun berjuang dan berdoa untuk melakukan kirab gong ini," jelas pemeran dalam film Ummi Aminah, yang kini sedang mempersiapkan produksi film aksi berjudul Ajraq. 
   Selanjutnya, gong ukuran raksasa tersebut akan dibawa ke Bali menggunakan KRI Tanjung Cendrawasih. Di Bali nanti gong akan dipasang di salah satu tempat yang sudah disiapkan oleh panitia setempat. (kf1)

Senin, 07 November 2011

Mari Pangestu: Kemenparrekraf terus fasilitasi film Indonesia

KEMENTERIAN Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendorong produksi film nasional yang menonjolkan sisi kearifan lokal. Hal itu dikatakan kata Menteri Parekraf Mari Elka Pangestu, Minggu (6/11) malam.
   "Pemerintah akan dorong terus industri perfilman nasional dan menciptakan iklim yang kondusif bagi pariwisata Indonesia. Kita juga akan berusaha untuk memfasilitasi film-film Indonesia," kata Mari usai menonton premier film Sang Penari.
   Menurut Mari Elka, film produksi dalam negeri merupakan salah satu bentuk pengembangan ekonomi kreatif yang sekaligus mengangkat seni dan tradisi budaya daerah bangsa. "Film Indonesia sebenarnya adalah bentuk ekonomi kreatif yang memiliki dampak ganda terhadap promosi daerah serta seni budaya," kata Mari Elka.
   Dia juga mengatakan bahwa film Sang Penari, yang mengangkat cerita kehidupan penari ronggeng dari Banyumas, dapat membawa dampak positif bagi aspek budaya dan ekonomi. "Ini merupakan salah satu bentuk upaya pelestarian budaya dan tradisi bangsa kita yang patut dikembangkan," katanya.
   Mari menambahkan bahwa adanya film lokal yang mengangkat tentang budaya dan sejarah dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan daerah yang ada di Indonesia.
   "Film Sang Penari dapat menjadi salah satu cara untuk mempromosikan daerah Banyumas. Apalagi saya dengar batik Banyumas, yang tadinya sudah jarang digunakan oleh warga sekitar, kembali dihidupkan dalam film tersebut,l kata Mari Elka.
   Menurut dia, film lokal mengandung aspek budaya, seni tradisi dan budaya bangsa, serta ekonomi yang sangat penting.
Terkait dengan upaya pemerintah yang berencana untuk membiayai produksi film Indonesia, Mari Elka mengatakan pihaknya belum dapat memastikan.
   "Kami dari Kemenparekraf masih perlu mempelajari sejumlah hal terkait berapa jumlah dananya, bagaimana implementasinya, seperti apa kriterianya, dan sebenarnya yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bermitra dengan pihak swasta," kata Mari Elka.
Dia juga menambahkan bahwa semuanya itu tergantung pada jumlah anggaran yang diterima Kemenparekraf pada 2012. (kf2)

Kearifan lokal film 'Sang Penari'


TAHUN 1983 novel karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk difilmkan lewat judul Darah dan Mahkota Ronggeng oleh sutradara Yazman Yazid. Dari novel yang sama di tahun 2011 ini, Ifa Isfansyah membangun cerita lewat judul Sang Penari. Di film sebelumnya, Enie Beatrice memerankan tokoh utama Srintil sebagai ronggeng (penari), kini artis Prisia Nasution memerankan karakter yang sama. Sang Penari hadir membawa pesan baru bagi perfilman nasional karena padat gizi dengan ramuan drama percintaan haru-biru, sedikit gejolak politik, dan terutama karakter bahasa daerah Banyumas, Jawa Tengah yang 'ngapak-ngapak'..
   Selama hampir empat tahun, film yang menghabiskan biaya Rp 10 Miliar ini 'diruwat' oleh trio penulis Shanty Harmayn, Salman Aristo, dan Ifa Isfansyah.  Namun setelah semuanya beres siap putar, sekitar 100 meter gulungan pita seluloid film harus digunting-sambung oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Konon, di area '100 meter' itu terdapat adegan vulgar.
   Film diawali sekilas suasana ketika kaum perempuan desa yang dikurung di ruang gelap-pengap. Kemudian gambar berganti dengan, hadirnya Rasus seorang berpakaian tentara -- belakangan diketahui Rasus adalah pemuda desa Dukuh Paruk -- ke kampung halamannya. Terlihat jelas bekas tapak sepatu tentara di tanah. Hanya ada satu warga yang  tersisa yang bertutur pada Rasus mengenai peristiwa 'penjemputan paksa'  seluruh warga desa oleh aparat, yang membuat seniman penabuh gendang itu terguncang...
  Peristiwa berlatar konflik politik dengan masuknya sebuah partai terlarang di tahun 1960-an itu mengisahkan hubungan cinta antara penari ronggeng bernama Srintil (Prisia Nasution) dan Rasus (Oka Antara). Keduanya terikat emosional sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. 
   Dinamika cinta Srintil dan Rasus terjadi pada pertengahan 1960-an. Mereka masih anak-anak tinggal di Desa Dukuh Paruk, Banyumas yang tenang meski kesulitan pangan. Makanan utama adalah gaplek dengan lauk tempe bongkrek. Pada masa itu seorang ronggeng senior 'Nyai Manten' diperankan Happy Salma meregang nyawa bersama belasan warga, termasuk ayah Srintil -- pembuat tempe bongkrek.
  Warga Dukuh Paruk sangat memercayai bahwa menjadi penari ronggeng adalah titisan magis. Dia sangat dipuja sekaligus memiliki tugas berat. Menjadi seorang ronggeng tidak hanya menari di pentas-pentas tari, tetapi juga menjadi milik semua warga Dukuh Paruk. Siapa saja boleh minta dilayani, asalkan memberikan imbalan. 
   Hal itu yang tidak disadari oleh Srintil yang diam-diam terpesona oleh kecantikan dan popularitas Nyi Manten sang ronggeng. Srintil sejak kecil, hanya ingin menari di depan banyak orang seperti Nyi Manten. Namun, cita-cita itulah yang memisahkan dirinya dari kenyataan. 
   Rasus, pria yang sangat dicintainya tidak tega menyaksikan kekasihnya itu menjadi alat pelepas syahwat para lelaki sejak ritual 'buka kelambu' yang diprakarsai dukun ronggeng, diperankan sangat baik olek Slamet Rahardjo dan Dewi Irawan. sebagai prosesi seorang yang ingin menjadi ronggeng. Prosesi ini mewajibkan Srintil melepas kegadisannya pada setiap lelaki yang membayarnya mahal. 
  Dalam pelarian menahan sakit hatinya, Rasus tak disengaja bertemu dengan tentara yang sedang berpatroli. Ia kemudian diminta bergabung dengan korps tentara. Ia digembleng dari pemuda desa ndeso yang tak berdaya, menjadi lebih berkarakter tegas. Namun ia masih terus membayangkan Srintil kekasihnya.
  Sebelum kedatangan Bakar -- diperankan Lukman Sardi -- warga Dukuh Paruh sangat bersahaja. Namun Bakar kerap datang menyelesaikan masalah warga desa yang tak tahu akan dimanfaatkan untuk tujuan politiknya. Ketika politik di tahun 1965 bergolak, seluruh warga desa yang telah loyal terhadap Bakar, dianggap menjadi bagian dari anggota 'partai tertentu' yang dianggap membahayakan pemerintah kota. Srintil adalah salah satu yang juga diciduk aparat. Tak urung, Rasus berusaha menemukan kekasihnya itu hingga akhirnya mereka dipertemukan dalam suasana yang kaku; antara aparat dan rakyat.


Partai terlarang abu-abu
Sebagai film berlatar sejarah kelam politik, tampaknya Sang Penari memerlukan ilustrasi yang lebih berbicara. Dalam berbagai scene yang muncul dalam film ini, partai politik yang disebut-sebut 'bermasalah' tak diungkap terbuka. Sutradara bermain-main dengan warna merah untuk mewakili lambang partai yang dalam sejarah selama ini dikenal sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketidak-terbukaan penggarambaran lambang atau penyebutan nama partai ini tidak jelas maksudnya. Mungkin sutradara merasa lebih aman untuk tidak menyebutkannya atau membuatnya abu-abu. Namun, film yang juga mengangkat sejarah ini justru 'menutupi' cerita sesungguhnya. Penonton tidak mendapatkan data akurat tentang kejadian ketika itu.
   Hal yang cukup nyeleneh dalam film ini adalah pada property pakaian tentara, yang terlihat masih hijau pekat alias baru. Belum lagi kumis tentara yang diperankan Tio Pakusadewo terlihat sangat artifisial seperti ijuk, kurang luwes. 
   Beruntung suasana dapat terbangun oleh ilustrasi musik yang terus 'menempel' dalam scene-scene penting. Musik racikan Aksan Sjuman dan Titi Sjuman terasa mewakili gambar-gambar rekaman Yadi Sugandi selaku kameraman sejak awal hingga akhir.  Salah satu kekuatan lain film berterjemahan bahasa Indonesia ini adalah pada dialog yang hampir 100 persen menggunakan bahasa khas Banyumas yang 'ngapak-ngapak'. Terkesan unik, terkadang lucu namun ironis. Film ini akan sangat membanggakan masyarakat Banyumas. **


Teguh Imam Suryadi, Ketua Forum Penonton FIlm