RUANG TAMU



JUMAT, 17 FEBRUARI 2011
PROMOSI FILM, DIMANAKAH ADANYA?
Oleh Didang Pradjasasmita
Penonton Film/ Pegiat Forum Penonton Film
FILM dalam konteks perniagaan dan industri sama dengan produk lainnya seperti kendaraan, makanan dan produklainnya. Film dibuat dengan berdasarkan kalkulasi untung dan rugi. Sehingga melihat selera pasar dan segmentasi pun mesti dicermati. Film-film jenis horror, apakah itu komedi horror atau horor yang dibumbui sensualitas, produser memilih pasarnya sendiri. Segmen film jenis ini di edarkan di bioskop-bioskop kelas me-nengah ke bawah. Tak akan kita temui film horor Indonesia di studio XXI, Senayan City, Plasa Senayan, atau di Pondok Indah Mall. 
   Kalau demikian masih perlukah bila film bergenre horor itu beriklan di koran harian umum yang segmentasi pembacanya di kalangan menengah atas? Yang sementara pengamatan bahwa koran-koran harian yang sarat bermuatan politik itu jarang dibaca oleh masyarakat penonton film segmen menengah ke bawah. Apalagi dari beberapa survey yang dilakukan oleh Forum Penonton Film (FPF), penonton film Indonesia mayoritas remaja, yang jarang menyentuh bacaan yang menurut kaum remaja kontennya terlalu serius. 
   Seperti pameo remaja jaman sekarang Jaka Sembung naik ojek. Enggak nyambung Jek. Para produser perlu merencanakan dengan baik dalam melakukan promosi dengan menelaah segmentasi media yang dikorelasikan dengan target penonton dan yang terwakili kelas bioskop di mana film itu diputar.
   Kiat promosi lainnya yang tidak lagi efektif sekarang ini adalah menggelar jumpa pers. Persiapan yang cukup menguras tenaga, waktu serta memakan biaya. Hasilnya? Tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan oleh para produser untuk mempersiapkan ritual jumpa pers itu. 
   Di gelaran jumpa pers itu hanya satu dua wartawan saja yang bertanya, selanjutnya moderator bertanya kepada produser, sutradara dan sekian pemain yang berjajar duduk di depan sampai akhirnya moderator lelah sendirian karena melakukan wawancara khusus dengan sejumlah orang yang terlanjur dipajang. Pada gilirannya media cetak maupun elektronik itu hanya memer-lukan wawancara one by one. Jumpa pers menjadi mubazir. 
   Ada produser kurang cerdas dalam melakukan promosi dengan menampilkan gambar-gambar yang justru atas perintah Undang-Undang dipotong oleh Lembaga Sensor Film. Sang produser dengan dalih tidak tahu itu kemudian diwawancarai oleh sejumlah media yang terjebak pada permainan promo-si yang konyol dan dan bisa dipidanakan. Mana mungkin orang yang tidak punya kepentingan apa pun memasang potongan film sensor itu ke media publik.
   Namanya juga usaha, mungkin begitu pikiran sebagian produser, yang juga berpromosi secara kurang kreatif. Menjual isu-isu yang murahan untuk dipublikasikan ke public. Ada artis yang ketemu hantu di lokasi syu-ting, pertengkaran, artis melanggar kontrak dan sebagainya. Meski sebagian ada yang memang terjadi tapi dari analisa Forum Penonton Film, sebagian besar itu hanya akal-akalan saja alias bohong!
   Cara-cara itu biasanya dilakukan oleh produser yang kualitet filmnya tidak terjamin alias filmnya murah dan jelek. Antara promosi yang heboh tidak korelasi dengan harapan penonton tentang mutu filmnya. Kata produser lainnya promosi yang tidak subtansial, dan itu merugikan film Indonesia. Karena pada gllirannya penonton tertipu dan enggan melongok film Indonesia.   
   Matikah film Indonesia? Tidak! Yang mati adalah perusahaan film itu sendiri. Penonton film Indonesia yang sudah menghabiskan waktu dan uang, datang ke bioskop ingin mendapatkan hiburan bukan untuk dibohongi. Sudah banyak yang membohongi rakyat. Jadi, produser film jangan-jangan ikut-ikutan membohongi. 
   Promosi film semestinya sudah dilakukan saat melakukan perencanaan, pemilihan, pemain, selamatan, di lokasi syuting sampai pada pemutaran perdana, dan saat film itu tengah edar di bioskop. Promosi itu mesti diagendakan dengan detil dan apa saja yang akan dipublish dari satu agenda ke agenda lainnya. Artinya tidak hanya mengundang wartawan tanpa wartawan tahu apa yang akan dituliskannya. Publikasi seperti ini ja-rang dilakukan, kalau pun ada tidak maksimal karena tidak memiliki perencanaan yang baik dalam melakukan promosi yang lebih elegan, terarah kepada calon penonton alias segmented, dan jujur.
   Film sebagai sebuah produk perniagaan dan industri memerlukan promosi yang terencana dan maksimal, juga dengan cost yang dialokasikan.  Beriklan atau berpromosi hanyalah pemberitahuan dan pernawaran kepada konsumen. Promosi sebagus dan sesensasi apa pun bila tidak disertai niat membuat film yang menghibur dan berkesan baik, pembeli  bisa memilih dan ingat pembeli selalu pintar. Ada harga ada rupa.**




Minggu, 23 Januari 2011
Masih soal Festival Film Indonesia 2011
Oleh Syamsudin Noer M, Wartawan Senior
“HANUNG, tidak usah cemas. Sang Pencerah akan kami perjuangkan”. Pesan sms itu terkirim, dan saya menerima dengan sikap bertanya-tanya, karena tidak jelas siapa pe-ngirimnya. Pada layar hp (handphone), tertera si pengirim adalah: Nomor pribadi. Sementara isi pesan itu tidak ada kaitannya sama saya. Tapi bisa jadi saya dikirimi sms itu lantaran sebagai penggemar film. Makanya saya berguman, pasti ini sms yang berniat minta dukungan atau sms penipuan, seba-gaimana yang sekarang ini menjadi model: “Tolong mama dikirim pulsa ke nomor hp mama terbaru. Ini nomornya. Hp mama rusak, dan ini mama pinjam hp teman“. 
Yang disebut Hanung, nama yang tertera pada hp saya itu, tidak lain Hanung Braman-tyo sutradara Sang Pencerah, yakni film yang dalam Festival Film Indonesia 2010 tidak ter-pilih  oleh tim seleksi. Tim seleksi pada awalnya memilih delapan judul, lalu menambah 2 judul, dari 53 judul film yang diseleksi. Dari sepuluh judul itu, lalu diserahkan pada dewan juri untuk ditentukan film terbaik.
  Yang terjadi kemudian dewan juri memasukkan Sang Pencerah. Jelas ini menyalahi aturan. Tapi  aturan yang mana? Perdebatan pun mencuat. Masing-masing pihak ngotot, bahwa dirinya yang paling benar. Dan tidak ada yang mengalah. Sehingga terkesan lucu, bahkan koran terpandang edisi Minggu me-nurunkan berita dengan judulAlangkah Lucunya FFI ini.
Ringkas cerita, dewan juri diberhentikan dengan hormat. Digantilah dengan dewan juri baru, yang sebetulnya anggota tim seleksi ditambah dua anggota baru. Situasi ma-sih memanas. Dewan juri yang diberhentikan itu mengumumkan bahwa film terbaik adalah Sang Pencerah. Sedangkan dewan juri baru menobatkan 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta  yang disutradarai  Benni Setiawan  sebagai film terbaik FFI 2010.
Penobatan 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta  sebagai film terbaik FFI 2010 disiarkan secara lang-sung  RCTI dan berlangsung meriah. Semen-tara penobatan Sang Pencerah dilaksanakan  sekadarnya. Bahkan berkesan secara gerilya. Jurnalis diundang melalui sms atau dengan komunikasi sambung rasa. Bagaimanapun peristiwa itu sungguh menggelikan – walau ada yang menyatakan hal tersebut merupakan peristiwa budaya yang menarik disimak. Toh, sebetulnya  peristiwa festival film  itu - masalah ini yang tidak bisa ditawar-tawar- adalah menyangkut ketidakbecusan. 
“Sampai tua begini, sampai usia saya sudah uzur, masih saja FFI  ribut melulu, “ ujar  kritikus yang sekaligus pemerhati film – yang na-manya tak usah disebut (sebab minta dirahasiakan), dan kerap jadi juri. Kiranya keributan itu hal yang lumrah alias wajar-wajar saja. Mengingat setiap FFI yang diselenggarakan saban tahun praktis diperlukan keribu-tan. Namun apa ini tidak memalukan ? 
Di mana letak salahnya, jika keributan ke-rap terjadi? Seorang rekan jurnalis menja-wab, secara panjang lebar, yang intinya bah-wa setiap penyelenggaraan FFI selalu dikete-ngahkan tidak cerdas  serta melecehkan.  Jus-tru yang menguntungkan ialah media massa itu sendiri. Media massa, teristimewa media cetak menurunkan berita dengan gegap gempita, dan sesekali mengipas. Meniupkan angin untuk lebih riuh. Malah ada media ce-tak yang menulis judul berita  menyentak: Ada isu kudeta di FFI. 
Media cetak lain menulis: FFI kian sarat ke-melut, dan kemelut ini semakin hari kian me-runcing. Ada pula yang menulis : FFI semakin kehilangan gengsi. Tidak ada wibawa. FFI di-anggap sebagai proyek, bukan lagi ajang ap-resiasi, begitu berita yang ditulis di suatu me-dia cetak terbitan Jakarta. Secara umum me-dia massa menyesalkan ribut-ribut yang me-warnai FFI . Selalu saja muncul kontrover-si, serta pertikaian dan bagaimanapun masa-lah itu akan menenggelamkan kewibawaan aja-ng tertinggi perfilman Indonesia. Toh, kata seorang sutradara terkenal yang karyanya  se-ring menjadi sorotan festival film internasi-onal, betapa pun buruknya FFI tetap harus dihormati.
Tidak dipungkiri , meski umur penyeleng-garaan FFI sudah separuh abad, namun –me-mang kenyataan,  sering kali terjadi ketidak-becusan – dan masalahnya berkaitan dengan hal yang remeh temeh. Hal yang sepele sela-lu diperdebatkan. Sesuatu yang gampang , mudah, justru dirumit-rumitkan. Sementara yang rumit atau yang berat, malah diperberat lagi. Jadinya  yang muncul adalah ego ma-sing-masing personal, dan kepongahan.  Me-reka saling menciptakan pembenaran. Kira-nya tidak ada jawaban  atas pertanyaaan,“ Kapan FFI akan berlangsung cerdas dan berwibawa?“
Menyangkut perasaan banyak pihak
Tidak banyak yang sadar bahwa permasala-han FFI itu masalah yang berkaitan erat da-lam menjaga perasaan banyak pihak. Artinya masalah kemasyarakatan. Tetapi masalah ini justru diabaikan begitu saja, ditambahnya dengan amburadulnya sistem. Maksudnya tidak ada sistem yang baku untuk dijalankan.  Tidak heran ada yang bilang: Sistem yang digunakan FFI itu multitafsir.
Terlepas dari semua masalah yang mewar-nai FFI dari tahun ke tahun, sebaliknya FFI 2010 bisalah dijadikan momentum bagi insan perfilman, mengingat puncak acara – disele-nggarakan malam hari -- FFI 2010 jatuh tang-gal 6 Desember, dan pada tanggal 7 Desem-ber, sehari sesudah acara puncak FFI 2010,   umat Islam memasuki  Tahun Baru 1432 Hij-rah. Pergantian tahun dalam kalender Islam itu diharapkan umat berhijrah dari berbagai perbuatan buruk dan merusak menuju per-buatan baik yang bisa menyelamatkan umat. 
Bukan kebetulan dan bukan otak-atik, jika kita semua perlu menghijrahkan Festival Film Indonesia. Hijrah harus dijadikan semangat untuk berperilaku lebih baik dengan mening-galkan perilaku yang mementingkan diri sen-diri. Harus diakui dunia perfilman Indonesia juga mengalami krisis multidimensional. Ka-renanya untuk mengatasi hal tersebut kunci-nya terletak pada kata perubahan. Dalam hal ini melakukan introspeksi diri dengan berta-nya, sejauh mana perubahan, peningkatan  dan perbaikan FFI telah terjadi dalam diri  masing-masing (dalam  skala keseluruhan)?
Tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dalam menuju totalitas perfilman Indonesia yang lebih baik  adalah syarat dan dasar ama-nah yang harus diemban insan perfilman. Itulah kewajiban. Insan perfilman Indonesia mesti memiliki agenda, dan langkah strategis bagi perbaikan dunia perfilman. Tidak ditam-pik, memang memperlukan aksi hijrah. Dan yang dibutuhkan pun ialah hijrah in action. Yaitu hijrah  yang – sekali lagi- membutuhkan pengorbanan sangat tinggi serta tindakan dan langkah strategis.
Hijrahkan perilaku Festival Film Indonesia- yang sejatinya bersifat fundamental dan mendasar. Untuk itu  harus terus menerus dilakukan. Peristiwa hijrah FFI merupakan di-namika sejarah dan historis yang menentu-kan masa depan perfilman Indonesia. Hijrah tersebut jelas sekali punya pesan dan peris-tiwa pengorbanan. Jadi, menghijrahkan FFI 2010 sebenarnya bentuk strategis. Sebab  apa yang dilakukan  merupakan suatu kepu-tusan. Tak bisa ditutup-tutupi FFI 2010 itu lucu, namun dengan keadaan seperti yang dialami sekarang ini,  terbukti segala sesuatu-nya terkuak. Betapa  perilaku orang-orang yang terlibat ternyata punya perilaku  kanak-kanak, dan makin kentara: lebih mementing-kan ego. Selamat berhijrah FFI.**




Kamis, 6 Januari 2011
FFI 2010: Merangkul MFI 
dan Pertarungan Kepentingan
oleh Herman Wijaya, pengamat film
FFI 2010 baru saja usai. Lahir beberapa peraih Piala Citra setelah melalui sebuah ritual kering dan menjemukan di Hotel Central Park Jakarta. Sebelumnya eks Dewan Juri FFI 2010 yang diketuai oleh Jujur Prananto juga telah mengumumkan pemenang FFI 2010 versinya sendiri.
  Ada beberapa hal yang patut dicatat dari penyelenggaraan FFI 2010. Pertama adalah kembalinya unsure Masyarakat Film Indonesia (MFI) ke dalam pelukan FFI. Kembalinya MFI ke dalam pelukan FFI dimulai dengan Keterlibatan Alex Sihar di Komite Festival Film Indonesia (KFFI). Alex bahkan duduk sebagai Wakil Ketua di KFFI. 
  Masuknya Alex Sihar ke dalam KFFI juga diikuti dengan meredupnya gaya oposan MFI terhadap perfilman plat merah. Atau MFI juga memang sudah kehabisan stamina, stelah uji materi terhadap pasal UU Perfilman mengenai eksistensi Lembaga Sensor Film (LSF) di Mahkamah Konstitusi kandas. Menurut salah seorang insane film yang pernah bergabung di kelompok itu, MFI memang hanya menyisakan sekelompok  elite saja.
  Setelah berhasil menjaring Alex Sihar,  pemerintah  masih punya banyak umpan untuk menjaring orang pentolan MFI. FFI merupakan jaring yang tepat, karena memiliki beberapa pintu masuk untuk itu, salah satunya adalah lewat lembaga penjurian. Lembaga ini merupakan “perangkap” yang sangat lunak  karena mereka yang terlibat di sana tetap merasa sebagai professional, dan bekerja atas dasar kompetensi yang dimilikinya. Lewat penjurian inilah, pentolan MFI dan simpatisannya masuk. Salah satunya adalah M Abduh Aziz, yang awal keterlibatannya direkrut sebagai anggota Komite Seleksi.
  Entah atas dasar scenario tertentu atau bekerja berdasarkan profesionalisme, seperti diketahui hasil kerja Komite Seleksi di mana Abduh terlibat di dalamnya ternyata tidak meloloskan film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo, sutradara kelas wahid yang filmnya Ayat Ayat Cinta  dinikmati oleh 3,5 juta penonton bioskop. Film laris itu tidak diikutsertakan di.FFI 2008 karena Hanung menyatakan kecewa dengan kinerja FFI.
  Tahun 2010 ini film Hanung, Sang Pencerah ikut FFI. Kalau pun produsernya yang mendaftarkan, dan Hanung tidak terlibat, paling tidak sang sutradara menyetujui filmnya diikutsertakan  dalam FFI karena sebelumnya tidak ada pernyataan penolakan dari sang sutradara.
  Namun film yang telah ditonton 1,1 juta penonton, dan pastinya dibuat dengan serius  ternyata tidak lolos pilihan Komite Seleksi FFI 2010. Menurut Abduh Aziz, “Sebagai sebuah film yang utuh, film ini tidak memenuhinya. Banyak data sejarah oleh sang sutradara,  yang meleset,” ujar Abduh yang memang lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI. Jadi sangat berkompetenlah dia.
  Anehnya deretan Juri yang rata-rata sangat mumpuni dan berpengalaman--  salah satunya Salim Said, bahkan pernah dikenal sebagai kritikus film terkemuka pada masanya dan mantan Dubes RI di Cekoslowakia -- malah menarikSang Pencerah  ke dalam daftar Film Nominasi FFI 2010. Karena dianggap melampaui wewenang, Dewan Juri bahkan dipecat oleh KFFI. Meski hal itu tak mengurungkan tekad mereka untuk memutuskan Sang Pencerah sebagai Film Terbaik FFI 2010.  
  Kegagalan Sang Pencerah yang menceritakan kehidupan pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan lolos seleksi, karuan melahirkan berbagai gossip. Antara lain yang ditangkap penulis, kegagalan itu merupakan “hukuman” terhadap sikap Hanung dan produsernya  yang belakangan vocal mengkritik kebijaksanaan perfilman pemerintah, setelah tidak lagi jadi Raja Sinetron. Tetapi namanya gossip sebaiknya tidak usah dianggap serius.
  Keberanian sikap Abduh rupanya diapresiasi. Atas “jasanya” ia lalu diberi posisi di deretan Dewan Juri. Ada keuntungan politis dalam mendudukan Abduh di FFI: lembaga perfilman resmi dapat merangkul unsure MFI tanpa harus mengeluarkan enerji untuk melayani / melawan serangan. Ini seperti merujuk pada ilmu tai chikung: melumpuhkan musuh dengan tenaga lawan.
  Isyu kedua yang tak kalah menariknya adalah mundurnya pengurus teras KFFI, termasuk mundurnya sang ketua, Ninik L Karim. Namun bagi kalangan media, khususnya wartawan film, kasus itu bukan isyu menarik untuk diangkat. Wartawan umumnya sadar tidak ingin masuk ke dalam pusaran, karena tahu bahwa yang terjadi sebenarnya bukanlah pertarungan idealisme, melainkan pertarungan kepentingan semata. “Di media kelihatannya ribut, tapi kenyataannya kalau ketemu mereka cipika-cipiki sambil cium pipi,” kata seorang wartawan.
  Dalam FFI 2010 kali ini kelompok wartawan film memang bukan lagi sosok yang dianggap penting. Mereka baru dianggap penting kalau pemangku kepentingan ingin agar FFI diblow-up sedemikian rupa untuk membangun citra. Itulah sebabnya Bidang Humas yang biasanya diisi oleh wartawan film, kali ini ditiadakan. Pemerintah, atau penyelenggara FFI memang tidak sepenuhnya salah. Wartawan sudah dua kali diberi kesempatan untuk memimpin FFI walau tidak dipungkiri, masih ada kekuatan besar yang mengkooptasi.
  “Lalu kepentingan apa yang sampai melahirkan pertarungan di FFI 2010 ini?” tanya penulis kepada seorang wartawan.
  “Apalagi kalau bukan UUD?” jawabnya.
  “Lho UUD kan bisa diusulkan ke DPR untuk diamandemen, kalau tidak cocok?”
  “Ya berpindah-pindahnya stasiun televisi yang menayangkan acara puncak FFI itu kan karena ada amandemen!” tambah sang wartawan.
  Karena tidak ingin dianggap bodoh, penulis membandingkan UU Perfilman yang lama dan UU Perfilman yang baru, untuk mencari di mana point amandemenya. Sebenarnya enggak nyambung, yang dikatakan UUD yang dilihat UU Perfilman. **


Rabu, 5 Januari 2011
Pembusukan Film Melalui FFI  2010 
dari Media Pencerdasan ke Produk Pasaran
Oleh Akhlis Suryapati, Praktisi Film dan Pengamat Budaya
INDUSTRI menempatkan film sebagai produk dagang. Di Indonesia, celakanya, Negara melalui Pemerintah juga bertindak sama. Mereka membungkusnya dengan istilah produk ekonomi kreatif. Semangatnya adalah menjadikan film sebagai materi perniagaan yang mendatangkan keuntungan ma¬terial sebanyak-banyaknya.
Maka ketika iklim perdagangan film di Indonesia sedang menempatkan film-film gam-pangan berbiaya murah dengan tema seks dan mistis sebagai produk yang memenuhi standar break event point rasio dan marketable, maka jenis film semacam itulah yang diproduksi dan dipasarkan oleh pelaku industri film dan didukung pemerintah. Dari sekitar 70 judul film Indonesia tahun ini, sekitar dua pertiganya merupakan film ‘pasaran’, bertema seks, mistik, horor, atau yang kata pengamat dinilai ‘tidak mendidik’ dan ‘tidak mencerdaskan’. 
   Perhatikan saja judul film-film terbaru berikut ini: Susah Jaga Keperawanan di Jakarta, Pocong Rumah Angker, Hantu Tanah Kusir, Pengakuan Seorang Pelacur, Cin Tetangga Gue Kuntilanak, Pocong Keliling, Rintihan Kuntilanak Perawan, Pocong Jumat Kliwon, Lihat Boleh Pegang Jangan,dan seterusnya.
 Ajang Festival Film Indonesia (FFI) yang tahun-tahun sebelumnya mengemban amanat sebagai barometer pencapaian puncak prestasi artistik film Indonesia melalui kompetisi dan apresiasi, pada tahun ini (2010) ikut melakukan pembusukan pada film Indonesia, melalui tindakan masiv, antara lain menyingkirkan film semacam Sang Pencerah yang oleh berbagai kalangan dinilai sebagai film yang secara sinematografi lebih baik dari seluruh film yang dipilih FFI, serta memiliki muatan informasi kesejarahan dan wacana pemikiran yang mencerdaskan.   
 Dalam versi Dewan Juri FFI 2010 yang diangkat Komite FFI yang kemudian diberhentikan, film Sang Pencerahdinyatakan sebagai Film Terbaik dengan perolehan 8 unsur penghargaan (semestinya menyandang Piala Citra) di dalamnya. Namun gara-gara memasukkan Sang Pencerah sebagai film yang ikut dinilai itulah, Dewan Juri ini  diberhentikan oleh Komite FFI.
 Rangkaian peristiwa aktual ini bisa saja karena adanya kepentingan tertentu dari berbagai pihak dalam konstelasi bisnis dan politik perfilman. Termasuk cukup mengherankan ketika film Sang Pencerah tiba-tiba dinilai oleh Dewan Juri lengkap dengan materi selluloidnya, sementara film peserta FFI 2010 lainnya di luar hasil pilihan Komite Seleksi FFI 2010 tidak dinilai sebagaimana diperlakukan terhadap Sang Pencerah. Cukup mengherankan pula Komite   
 Seleksi FFI 2010 hanya memasukkan 8 Film Pilihan sementara dalam Pedoman Pelaksanaan FFI harus antara 10 sampai 15 Film. Tidak kalah mengherankan, ketika ‘ada kesempatan’ menambah 2 judul Film Pilihan untuk menglengkapi hasil Komite Seleksi, film Sang Pencerah tetap tersingkir.
 Terlepas dari macam apa intrik dalam politik perfilman, sebuah pembusukan telah ber-langsung secara tendensius dan sistematis, untuk menjadikan film Indonesia tidak menjadi media yang ‘mencerdaskan’. Munculnya Dewan Juri Pengganti FFI 2010 yang terdiri dari anggota Komite Seleksi ditambah dua sosok baru, menambah fatsal yang makin ‘mengherankan’, karena di sana antara lain dipelopori sosok pembuat film yang ‘tidak mencerdaskan’  yaitu film berjudul  Pocong Keliling.
 Perlu diketahui, pelaksana FFI 2010 adalah Komite Festival Film Indonesia (KFFI) yang dibentuk melalui prosedur nepotisme di kalangan pejabat Badan Pertimbangan Perfilman (BP2N) yang selanjutnya ditetapkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. 
Sebagai catatan: Ketua BP2N adalah sosok yang tahun 2006 ikut dalam gerakan Aksi Pengembalian Piala Citra dan Tuntutan Pembubaran BP2N, Lembaga Sensor Film, dan lembaga FFI. Wakil Ketua Komite KFFI serta beberapa Anggota Komite Seleksi dan Dewan Juri FFI 2010 adalah juga sosok-sosok yang dulu memprakarsasi gerakan Aksi Pengembalian Piala Citra dan Tuntutan Pembubaran BP2N, Lembaga Sensor Film, dan lembaga FFI. 
  Kalau FFI yang dibiayai uang negara, didukung pemerintah, dan diselenggarakan pengu-asapenguasa film, secara terang-terangan memberlakukan film bukan sebagai ‘media pencer-dasan’,  melainkan sebagai produk pasaran demi rating penayangan agar menyedot iklan, demi artis-artis seronok yang sanggup membuai mimpi masyarakat, demi produser-produser berkapital kuat agar mau jadi penyumbang, demi stasiun televisi agar mau menyiarkan pesta selebriti, dan sebagainya, maka lengkaplah sudah bahwa politik perfilman kita telah mengarahkan film bukan sebagai media pencerdasan melainkan sebagai produk pasar, dalam hal ini adalah pasar hiburan yang berorientasi pada nilai komersial. 
   Film dalam pengertian karya sinematografi yang merupakan salah satu dari  genre (jenis) kesenian, dengan begitu sama nilainya dengan film dalam pengertian sebagai benda tipis berselaput zat kimia yang bisa menyimpan gambar dan suara, dikenal dengan nama selluloid. 
Memberlakukan film semata sebagai barang dagangan komersial, sesungguhnya adalah bentuk pembusukan, bahkan pengkhianatan, atas esensi khittah film itu sendiri, baik ditinjau dari sudut kebudayaan, kesejarahan,  maupun dari sisi hukum. 
   Film sebagai karya sinematografi telah diperjuangan bertahun-tahun sejak penemuan teknologinya yang pertama diperkenalkan pada 28 Desember 1895 oleh Lumiere Bersaudara di Prancis sampai menjelang 1940 tatkala film tidak diragukan lagi sebagai bentuk karya seni, sama dengan media artistik lain, karena memiliki sifat-sifat dasar dari media artistik (sastera, lukis, komposisi) dalam susunannya yang beragam (Jossep M Boggs, The Art of Watching Film).
    Pada ranah hukum, film ditegaskan melalui UU No 33 tahun 2009 tentang Perfilman dengan menyebutkan bahwa  film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (pasal 1). 
    Sementara tujuan penyelenggaraan Perfilman Nasional adalah  terbinanya akhlak mulia;  terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa; terpeliharanya, persatuan dan kesatuan bangsa; meningkatnya harkat dan martabat bangsa; berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa; dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional;; meningkatnya kesejahteraan masyarakat; berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan (pasal 3).
    Sekarang, para mahasiswa sekadar berdiskusi di kampus melihat adanya pembusukan dan pengkhianatan seperti itu.*** Makalah pada Diskusi Pro Kontra Film Sebagai Misi Pencerdasan, 4  Desember 2010, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat.


JUMAT, 10 DESEMBER 2010
FILM KARYA KOLEKTIF, BUKAN PERORANGAN
Oleh Iwan Gardiawan, sutradara dan aktor
SEBAGAI penonton film, saat berada di Dalam gedung bioskop yang gelap,  pandangan kita hanya tertuju kepada layar bioskop dimana para pemain sedang beracting, kita tidak melihat banyak orang diantara para pemain tersebut, baik itu crew dari berbagai departemen. Jika kita melihat produksi sebuah film secara langsung di lokasi syuting, kita akan melihat banyak orang yang terlibat di lokasi syuting. Ada yang mengurus kamera, ada yang mengurus lampu, properti, setting, ma-ke up, kostum dan ada juga orang yang bertu-gas mengatur pemain di set dekor.
  Sebuah film memang dikerjakan secara bersama-sama dibawah pimpinan seorang sutradara, karena film merupakan kerja kolektif. Semua unsur: gambar, suara, cerita itu membutuhkan tenaga ahli yang menggarap pekerjaan ini dengan teknik-teknik tersendiri. Unit kerja ini bisa merupakan suatu team kerja yang tetap, tetapi juga dapat disusun hanya untuk satu pembuatan satu judul film saja.
  Sebelum membicarakan tentang proses pembuatan film terlebih dulu akan dijelaskan menge-nai tenaga-tenaga ahli yang tergabung di dalam team pembuatan film.
  Pembuatan film diawali dengan penulisan cerita, yang biasa disebut dengan skenario atau skrip. Kemudian skenario ini dibuat menjadi hidup seperti kenyataan sehari-hari dengan meli-batkan orang untuk berakting. Peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang biasa disebut dengan setting atau lokasi syuting kemudian diambil diambil gambarnya oleh Penata kamera/-cameraman, pekerjaan juru kamera itu disebut syuting. Sedang hasil yang diperoleh dari pe-kerjaannya itu disebut shot, yang pada dasarnya hanya merupakan deretan gambar-gambar, frame, dari pemain dan segala sesuatu yang tersangkut di dalam cerita itu.
  Hasil syuting itu kemudian disusun menjadi satu film utuh. Pada film yang sudah jadi ini, akhir-nya suara yang sudah direkam digabungkan. Ini menjadi tugas seorang penyusun film yang biasa disebut dengan editor. Dengan tergabungnya gambar dan suara-suara menjadi satu, pembuatan seluruh film sudah selesai. Film itu siap untuk dicetak, lalu dipertunjukkan dihadapan umum di gedung-gedung bioskop. 
  Semua pembiayaan pembuatan film itu ditanggung oleh seorang produser. Dialah yang akhirnya akan memiliki film itu dan menjualnya ke pasaran umum.**




MENGENANG CITRA & CORNEL SIMANJUNTAK
Oleh Muhammad Jufry, Pemerhati Film
SAAT Jumpa Pers akhir tahun 2009, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ir. Jero Wacik, SE berpesan kepada Titi Syuman, Peraih Piala Citra untuk kategori artis terbaik Festival Film In-donesia 2009 yang duduk di sebelahnya, agar tetap menjaga dan memegang teguh keper-cayaan Dewan Juri FFI yang telah memilihnya sebagai artis terbaik. Pesan Menteri ini tentu me-muat banyak arti khususnya tentang arti sebuah piala citra yang menjadi penghargaan bagi in-san film Indonesia.
  Piala Citra diberikan oleh industri perfilman Indonesia pada setiap Festival Film Indonesia (FFI) kepada insan film dan karyawan film. Hanya bagi bagi mereka-mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam proses pembuatan film yang berhak atas piala ini. Sedikitnya terdapat 12 Piala Citra diberikan setiap tahun, yaitu Piala Citra Utama untuk film terbaik; Piala Citra un-tuk penyutradaraan; skenario cerita asli; skenario adaptasi; tata sinematografi; tata artistik; penyuntingan; tata suara; tata musik; pemeran utama pria terbaik; pemeran utama wanita ter-baik; pemeran pendukung pria terbaik; pe-meran pendukung wanita terbaik; film dokumenter terbaik dan film pendek terbaik.
  Piala Citra memang merupakan sebuah pengakuan atas prestasi yang dicapai oleh pelaku perfilman sekaligus sebagai penghargaan tertinggi yang diberikan masyarakat melalui dewan juri FFI. Tidak semua artis atau karyawan film yang beruntung mendapatkannya. Diskusi panja-ng dan seleksi ketat oleh berbagai tokoh dan pelaku perfilman mewarnai setiap kali penentuan siapa yang berhak atas Piala Citra. Sosok Sophan Sopiaan adalah salah satu figur yang hingga akhir hayatnya belum pernah meraih Piala Citra. Baru pada Desember 2009 lalu, sete-lah wafat, ia mendapatkan piala tersebut yang diterima sang isteri setia Widyawati, itu pun sebagai penghargaan life time achievement atau pengab-dian seumur hidup kepada dunia perfilman Indonesia.
  Titi Syuman, Nirina Zubir, Dina Olivia, Dian Sastro Wardoyo, Surya Saputra, Nicholas Saputra dan beberapa artis lainnya, merupakan artis yang beruntung mendapatkan pengakuan tertinggi itu dalam rentang waktu karier yang relatif singkat. Sementara seorang Garin Nugroho, yang telah malang melintang dan banyak memperoleh penghargaan di luar negeri, belum pernah memperoleh mendapat Piala Citra sebagai sutradara terbaik di Indonesia. Garin tidak sendiri, banyak sutradara dan artis populer lainnya belum beruntung. Untuk itu, wajarlah jika sampai-sampai seorang Menbudpar mengingatkan Titi Syuman untuk menjaga dan menghargai Piala yang diperolehnya.
  Makna Piala Citra menurut Menteri yang mencintai film Indonesia sejak kecil itu bukan sekedar penghargaan sebagai yang terbaik dalam FFI, melainkan sebuah pengakuan atas profesional-itas yang melekat selama berkarier di bidang perfilman. Penghargaan ini berbeda dengan penghargaan lain sejenis. Selain dapat mendongkrak popularitas, dengan meraih Piala ini akan melekat pada setiap publikasi dan pemberitaan tentang diri sang artis. Lebih jauh dari itu, harus diakui dengan meraih Piala Citra biasanya penghargaan masyarakat termasuk produser juga akan berbeda. 
  Namun, kenyataan tidak selalu berbanding lurus. Penghargaan Piala Citra sempat tercemar dan tidak menjadi kebanggaan peneri-manya. Pada awal tahun 2007, sebanyak 30 piala citra yang diraih oleh sejumlah pembuat film dan seorang penulis kritik film dikembalikan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Pasalnya sederhana, ketidakpuasan atas keputusan de-wan juri FFI 2006 memilih film Ekskul karya Nayato Fio Nuala sebagai film terbaik. 
  Kemenangan itu dipertanyakan karena film itu diduga keras menggunakan tanpa izin ilustrasi musik dari beberapa film asing tanpa memiliki izin terlebih dahulu. Atas protes ini akhirnya Badan Pertimbangan Perfilman Na-sional (BP2N) lewat Surat Keputusan No.06/KEP/BP2N-/2007 yang ditandatangani oleh Deddy Mizwar selaku ketua membatalkan Piala Citra untuk Film Terbaik Ekskul dan Nayato Fio Nuala sebagai Sutradara Terbaik FFI 2006. 


Pada Mulanya Piala Citra 
Lembaran pemberian penghargaan kepada artis film Indonesia dilakukan pada tahun 19-55 saat mana FFI pertama kali diselenggara-kan. Meski penghargaan FFI tersebut belum menye-but secara implisit nama ”Piala Citra”, namun harus diakui bahwa AN Alcaff dan Dhalia sebagai orang pertama yang meraih Piala Citra lewat perannya melalui filmLewat Jam Malam.   
  Penyebutan nama Piala Citra untuk nama penghargaan FFI baru digagas tahun 1966. Pada Pekan Apresiasi Film Na-sional tahun 1967 penghargaan tersebut diberikan kepada sutradara (H. Misbach Yusa Biran), Pemeran Utama Pria (Soekarno M Noer) dan Pemeran Pembantu Pria (Atmonadi) dalam film Dibalik Cahaya Gemer-lapan. Selanjutan pemberian Piala Citra berlanjut seiring dengan jatuh bangun pe-nyelenggaraan FFI.
  Bentuk Piala Citra itu sendiri telah meng-alami beberapa kali perubahan. Pada mulanya Piala ini sebagaimana yang diterima oleh Alcaff dan Dahlia hanya berupa plakat persegi empat, kemudian mengalami perubahan pada Pekan Apresiasi Film Nasional berupa Piala yang beru-kir kayu. Untuk lebih memberi sentuhan lebih indah, pada tahun 1979 Dewan Film Nasional (D-FN) menyelenggarakan sayembara lomba pembuatan Piala Citra yang dimenangkan oleh seo-rang seniman patung Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Sidharta.
  Piala Citra rancangan Sidharta ini disahkan oleh Menteri Penerangan Ali Murtopo pada tahun 1979. Sejak saat itu piala yang terbuat dari tembaga berlapis emas dilingkupi mica dan berga-gang kayu menjadi perebutan dan kebanggaan insan film Indonesia hingga FFI tahun 2007, bertepatan dengan tahun wafat-nya sang kreatornya. 
  Pada tahun 2008, BP2N memandang perlu memperbarui Piala Citra. Untuk itu ditugaskan sejumlah seniman patung, ahli disain grafis dan praktisi perfilman untuk membuat rancangan Piala Citra baru dengan memodifikasi piala yang ada. Dari tangan Heru Sudjarwo, Yusuf Affen-di, Hisman Kartakusumah, Indros Sungkowo dan Bambang Nurcahyo, rancangan Piala Citra baru dihasilkan. Kota Pekanbaru, Riau merupakan tempat penyelenggaraan FFI 2008 sebagai tempat pertama kalinya Piala Citra baru dipersembah-kan.
  Kata Citra yang berarti bayangan atau ima-ge pada awalnya adalah sebuah sajak karya Us-mar Ismail. Sebelumnya ada beberapa nama yang diusulkan untuk piala ini, yaitu : Citra (ba-yangan wajah), Mayarupa (Baya-ngan yang terwujudkan), Kumara (Cahaya Badan), Wijayndaru (Cahaya Kemenangan), Wijacipta (Kreasi Besar), Prabangkara (Nama Ahli Sungginng Maja-pahit) dan Mpu Kan-wa (Nama Sastrawan majapahit). Dari sekian nama tersebut akhirnya “Citra” dipilih menjadi nama piala sebagai simbol supremasi prestasi tertinggi untuk bidang perfilman hingga saat ini.


Lagu Citra 
Dari sajak “Citra” yang dibuat oleh Haji Usmar Ismail ternyata kemudian mengilhami komponis kondang Cornel Simanjuntak un-tuk mencipta lagu. Lewat tangan komponis pejuang ini tercipta lagu Citra yang selama ini sering dikira sebagai karya Ismail Marzuki atau Bimbo itu menjadi lagu wajib pada acara penutup FFI. 
  Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan lagu tersebut digunakan dalam seremonial FFI, namun diyakini sejak masa FFI 1970-an hingga saat ini lagu “Citra” telah diaransemen ulang beberapa kali dan dinyanyikan mulai dari Titiek Puspa, Krisbiantoro, Koes Hendratmo, Samuel Idola Cilik hingga yang terakhir Gita Gutawa.
  Lagu Citra karya Cornel Simanjuntak ini untuk pertama kali digunakan sebagai theme song film Citra karya Usmar Ismail yang ditulis pada masa pendudukan Jepang. Melalui film tersebut Usmar untuk pertama kalinya memperkenalkan lagu tema yang bukan keroncong. Perlu dicatat bahwa sebelum Perang Dunia II, lagu tema film Indonesia kebanyakan adalah keroncong.
 Dalam sebuah buku terbitan FFI menyebutkan bahwa belum diketahui dengan pasti berapakah royalty yang diterima oleh Cornel Simanjuntak atau ahli warisnya untuk penggunaan lagu Citra itu. Dikhawatirkan masyarakat film sudah lupa sama sekali memberikan royalty yang sesung-guhnya menjadi kewajiban FFI. Pada FFI 2007 sempat digagas oleh Humas Panitia Pelaksana untuk memberikan penghargaan sebagai apresiasi yang akan diserahkan kepada keluarga Cornel Simanjuntak, namun hingga saat ini rasanya rencana tersebut belum ditepati.
  Semoga pada FFI mendatang gagasan mulya itu dapat terwujud. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.**




SELASA, 12 OKTOBER 2010
Menjaga Film Mengangkat Citra
Oleh: Alia Fathiyah, Penggiat Forum Penonton Film
BANYAK catatan buram dari setiap penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) sejak 2004, yang tahun 2010 ini konon akan digelar lagi bulan Desember. Mengapa 'konon'? Karena belum ada 'tanda-tanda kehidupan' dari ajang bergengsi ini. 
    Minimnya aspek publikasi FFI ini pula yang menyurutkan animo penonton acara Malam Puncak FFI, yang setahun lalu berlangsung sangat 'memble'. Apakah FFI tahun ini tampil lebih kreatif atau jalan di tempat untuk sekadar hadir, demi meng-habiskan anggaran negara yang terlanjur disiapkan? Wallahu alam. 
  Amat disayangkan jika pelaksanaan festival film yang berusia lebih dari setengah abad ini, didasarkan semata pada sema-ngat menjaga FFI agar sekadar hadir. Dan itu sia-sia, tidak ubahnya FFI tak pernah siuman dari mati suri panjangnya selama 12 tahun seperti di-dengungkan selama ini.
  Sejarah mencatat, FFI pernah menjadi kebanggaan orang-orang film dan masyarakat di tanah air. Anugerah Piala Citra per-nah menjadi barometer atas prestasi yang membanggakan seorang aktris dan aktor yang menerimanya. Namun semua ke-banggaan itu nyaris tak tampak dari air muka para peraih Piala Citra di beberapa ajang FFI sepanjang 2004-2009. Aktor dan aktris yang sedang berjaya saat ini biasa saja menerima Piala Citra. 
  Yang sangat fenomenal adalah peristiwa FFI tahun 2006, yang berujung pada pengemba-lian Piala Citra oleh para penerima kepada penyelenggara FFI melalui Kementerian Ke-budayaan dan Pariwisata. Secara produksi, film Indonesia mengalami peningkatan, namun tidak terdengar gaung estetika yang menunjangnya secara kualitas. Film-film Indonesia yang cukup bergizi sekali lagi, hanya sebentar saja 'nongkrong' di bioskop. Selebihnya, bioskop dimeriahkan penampilan film-film berte-ma esek-esek berbalut komedi dan horror. Apakah film-film seperti ini yang berhak menerima Piala Citra? Apakah para aktris yang gemar berpakaian terbuka itu yang diberikan label Aktris Terbaik?
  Suatu kali dalam kesempatan, penulis bertemu dan bertanya kepada salah satu produser kondang di sebuah rumah produksi raksasa. Pertanyaan itu ihwal Kenapa dirinya tak lagi membuat film dan lebih suka membuat sinetron? Jawabannya simple. “Untuk film paling top dapat penonton 200 ribu. Mending saya bikin sinetron.”
  Penulis melanjutkan pertanyaan, tentang film Indonesia semakin menurun secara ku-alitas. Sang produser kembali menjawab ringkas. “Yang membuat film Indonesia hancur ya orang filmnya sendiri.”
  Berangkat dari jawaban singkat namun padat sang produser itulah, menurut penulis FFI masih sangat berperan  dan menunjukan taringnya. Sebaiknya FFI tak sekedar proyek menggelar ajang besar dengan menghabiskan biaya miliran rupiah. 
Panitia yang bekerja seharusnya bisa melihat peluang dari keterlibatan mereka di sana, untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan perfilman Indonesia untuk menye-lamatkan film Indonesia. Kita tidak mengharapkan film Indonesia kembali mati suri untuk kedua kalinya.
  Sebagai ajang pemberian penghargaan perfilman Indonesia yang memiliki sejarah panjang di industri perfilman Indonesia, sudah saatnya panitia penyelenggara FFI tidak tergantung pada para produser, untuk mendaftarkan filmnya. Panitia harus pro aktif 'jem-put bola' merangkul semua film Indonesia yang muncul di bioskop meskipun produser film tersebut tidak mendaftarkan filmnya.
  Adalah kewajiban penyelenggara FFI untuk melibatkan seluruh film yang ada, tanpa kecuali. Sehingga tidak ada lagi alasan kalau film yang membuat sutradara non Indonesia, atau produser film tertentu adalah orang asing. Mungkin sudah menjadi kebijakan tertulis FFI untuk 'mencoret' film Indonesia yang digarap kru bangsa lain. Tetapi aturan dan tata tertib masih bisa mengikuti perkembangan jaman. Toh, FFI bisa menilai kualitas akting para pemainnya yang orang Indonesia asli. Apakah dia layak  mendapatkan piala Citra atau tidak? 
  Contoh kecil adalah film Merantau yang dibuat oleh sutradara asing, tapi secara keseluruhan film itu memiliki rasa Indone-sia asli. Pertama menceritakan tentang salah satu wilayah Indonesia yaitu Minang. Bagaimana laki-laki Minang akan meran-tau ke kota jika sudah waktunya. Kedua, film Merantau mengambil tema tentang silat yang menjadi cirri khas serta kekuatan kebudayaan di Indonesia dan yang ketiga para pemainnya semua Indonesia yang layak mendapatkan peng-hargaan karena aktingnya yang layak diacungi jempol.
  Kalau semua aturan pelaksanaan FFI diterapkan, bagaimana dengan film-film Indonesia yang menggunakan judul-judul berbahasa asing? Apakah itu tidak menyalahi aturan? Semoga panitia Festival Film Indonesia tahun ini lebih membuka mata dan pikiran dalam memandang industri film untuk kemajuan sineas film itu sendiri. Jangan ada lagi menonjolkan kepentingan masing-masing pihak apalagi pribadi, karena pada dasarnya film bukanlah politik meski kerap menjadi kendaraan politik bagi yang berkepentingan. Film adalah karya seni dari seorang seniman film yang pantas jika filmnya dinilai tanpa dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu. Majulah perfilman Indonesia.**


RABU, 13 OKTOBER 2010
Nasionalisme rasa Hollywood
Oleh Stevy Widia, Penggiat Forum Penonton Film
FILM Darah Garuda, sekuel epik perang Merah Putih produksi PT Media Desa Indonesia dan Margate House Films membuat heboh. Mulai dari biaya produksi yang menelan dana Rp 65 miliar hingga hasil film itu sendiri. Dalam film ini Anda akan menyaksikan aksi laga dengan efek-efek yang memukau dengan dramaturgi lewat akting yang bintang yang mumpuni.      
  Diantara itu semua menyelinap sebuah pertanyaan, mengapa film bertema nasionalisme rasa Hollywood? Bumbu Hollywood itu tercicipi lewat aksi heroik dari empat sekawan Amir (diperankan Lukman Sardi), Thomas (Donny Alamsyah), Dayang (Rifnu Wikana) dan Marius (Darius Sinathrya). Di awal kita langsung disuguhi adegan nekad ala Rambo ketika Thomas dan kawan-kawan menyandera Mayor Van Gaartner (Rudy Wowor), dan menyerbu kamp tawanan dan menyela-matkan ketiga perempuan Lastri (Atiqah Hasiholan), Senja (Rahayu Saraswati), dan Astri Nurdin.
   Kita dapat menyaksikan aksi tembak me-nembak , ledakan yang bombastis hingga aksi pelarian dengan pesawat terbang yang mendebarkan.  Mulai dari pandai menyetir mobil hingga membawa pesawat. Dari tentara gerilyawan hingga mata-mata. 
  Bahkan dimunculkan sosok tentara anak Budi (Aldy Zulfikar) yang pandai menembak bak sniper. Para jagoan di film ini benar-benar super. Diberondong tembakan tidak mati, bakan disiksa sampai dipotong lidah pun tetap saja jagoan. Sungguh jauh dengan bayangan kita akan kondisi para pejuang kemerdekaan.
   Ini yang membuat film ini memiliki aroma Hollywood. Apalagi semua kecanggihan da-lam film berformat 35 milimeter berdu-rasi 100 menit itu melibatkan ahli efek khusus dan tata teknis dari Holywood seperti Koordinator Efek Khusus Adam Howard (Saving Private Ryan, Blackhawk Down) dan ahli persenjataan John Bowring (The Matrix, Wolverine). Diperkuat oleh  coordinator laga Scott McLean (Band of Brothers), Teknisi Ahli Efek Khusus Graham Riddell (Robin Hood, Batman Begins), penata rias  Conor O’Sullivan (The Dark Knight, Braveheart) dan asisten sutradara Andy Howard (Hellboy).          
   Terlepas dari semua itu, pesan dalam film ini tentang perjuangan dan pengorbanan dari para tentara Indonesia di awal ke-merdekaan tetaplah kuat. Bahwa bangsa ini berjuang dengan segenap hati untuk mempertahankan kemerdekaan adalah be-nar ada-nya. Dalam sekuel ini dikisahkan Amir, Dayan, Thomas, dan Marius akhirnya bergabung dengan pasukan Jenderal Sudirman.  
   Mereka lalu mendapat misi rahasia. Dibantu oleh pasukan yang dipimpin oleh Sersan Yanto (Ario Bayu), keempat sekawan itu kembali ma-suk ke pusat pertahanan Belanda. Bersama mereka turut Senja yang menyamar sebagai pria. Entah bagaimana caranya, di awal perjalanan malah terkepung oleh pasukan Belanda pimpinan Mayor Belanda Van Gaartner. Diantara mereka, Dayan tertangkap dan disiksa dengan brutal. Yanto pun ikut hilang dalam aksi itu. Sementara Amir, Thomas, Marius, Senja dan Budi terpaksa masuk hutan lagi. Di sana mereka bertemu dengan pasu-kan Hizbullah dibawah pimpinan seorang kyai (Alex Komang).
   Seperti mesin diesel yang butuh dipanaskan agak lama, film ini diawal berjalan lam-bat. Namun ketiga mulai jalan, kecepa-tannya semakin meningkat dan terus naik.  Adu akting dari para pemeran mewarnai sejumlah adegan. Rudi Wowor yang me-merankan seorang tentara bayaran yang kejam dan dingin, beradu dengan akting gemilang Rifnu yang memerankan Dayan yang bermental baja dan pantang menyerah. Alex Komang dan Lukman Sardi yang beradu akting sebagai ulama beraliran keras dengan pe-juang yang moderat. Kalimat, bahasa tubuh mereka mampu memberikan impresi yang kuat pada penonton akan karakter dan maksud para tokoh itu. Dialog cerdas dan sarat dengan pesan nasionalisme mengalir di film ini tanpa kesan menggurui, bahkan tanpa kehilangan unsur menghibur. Keju-tan dan twist yang disajikan juga cukup mengesankan.          
  Semua itu juga tidak terlepas dari tangan dingin sang sutradara Yadi Sugandi yang selain piawai dalam menata sine-matografi mampu mengarahkan para pemain mema-suki karakter masing-masing.  Kali ini dia bersanding dengan Conor Allyn yang juga adalah penulis dan produser trilogy Merah Putih. Keduanya berhasil bekerjasama dalam menyajikan alur cerita yang padat, dan penuh kejutan. Ada intrik di antara para pejuang yang melahirkan penghianatan. Dan sebagai pemanis, ada romansa antara Thomas dan Senja dan Dayan dan Lastri.
   Secara keseluruhan film bertema nasionalisme ini memberi makna baru dalam perfilman Indonesia. Film ini mengobati kerinduan yang cukup lama setelah era film Serangan Fajar, Janur Kuning, G30S PKI, Enam Jam di Jogja. Terlepas dari rasa Hollywood, film ini tetap menarik sebagai sebuah tontonan laga yang menarik. 11:12 dengan film heroik ala Steven Seagel, jagoan yang rapi jali. Dibandingkan film hantu, saya akan memilih film ini sebagai tontonan bersama.**