Rabu, 19 September 2012

Maria Calista ke ajang ABU Song Festival di Korea

Dari atas ki-ka: Maria Calista, Melita, Indah,
Angelina, Jeremia, Putri saat pergelaran malam final
ABU Song Festival 2012 di TVRI, 6 September 2012.
SEBANYAK enam peserta finalis Asia Pacific Broadcasting Union (ABU) Song Festival 2012 dari Indonesia, pada 6 September 2012 menampilkan kemampuannya di hadapan 50 orang juri di Studio Auditorium Stasiun TVRI Pusat, Jakarta.  Ke-6 Finalis tersebut adalah  Angeline Marcelina,  Indah Permatasari Siregar, Jeremia Lumban Tobing,  Maria Calista,  Melita Meliala, dan  Putri Siagian.
Benny Simanjuntak
   Acara yang diselenggarakan bersama antara ABU Song Festival dan Korea Broadcasting System (KBS) tersebut, menunjuk TVRI dan Contoh Management sebagai pelaksana untuk mengirimkan penyanyi dari Indonesia di ajang tersebut.
   “Para finalis adalah mereka yang terpilih dari kegiatan yang kami laksanakan di sejumlah daerah. Artinya, mereka ini adalah perwakilan dari berbagai daerah,” kata    
   Direktur Contoh Management, Benny Simanjuntak SH, sebelum acara pemilihan juara dimulai.
Setelah melalui proses penjurian langsung (vote) yang dilakukan sebanyak 50 orang juri dari berbagai profesi (pengacara, artis, produser, pengusaha dan wartawan) maka terpilih Maria Calista sebagai Juara Pertama dengan mendapatkan lebih dari 30 suara pemilih.
   Atas kemenangannnya tersebut, Maria Calista – pernah mengikuti berbagai ajang sejenis di televisi swasta – berhak melaju ke tingkat Internasional, yang diselenggarakan di Seoul – Korea Selatan pada tanggal 14 Oktober 2012.
   “Saya sangat terharu dan bangga, tidak mengira bisa menang, karena finalis yang lainnya juga bagus-bagus penampilan mereka,” kata Calista, usai acara yang disiarkan langsung TVRI pada pukul 22.00-23.30 WIB tersebut. (kf1)

Rayya, kisah perjalanan cinta sang diva

Titi Sjuman sebagai Rayya 

FILM Rayya digarap bersama antara PT Menara Alisya Multimedia (MAM Productions) dengan PT Lantip Binathoro Panuluh (Pic[k]Lock Films) dirilis 20 September 2012. Film dengan bintang utama Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo ini disutradarai oleh Viva Westi, dengan penulis skenario Emha Ainun Nadjib.
   Bagi MAM Productions yang dimiliki oleh Bayu P Djokosoetono, film ini merupakan project film pertama MAM Productions. Sementara Pic[k]Lock Films adalah sebuah rumah produksi yang digawangi oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh dan Dewi Umaya Rachman dimana karya sebelumnya adalah Minggu Pagi di Victoria Park.
   Bayu P Djokosoetono selaku produser eksekutif yang mendanai produksi film ini menjelaskan bahwa MAM Productions pada dasarnya ingin menampilkan kreasi-kreasi seni yang kaya dan berkualitas untuk publik Indonesia.
Para pemeran pendukung film RAYYA
   “Sinergi dengan Pic[k]Lock Films dalam penggarapan film Rayya ini saya lakukan karena ketika ide tentang film ini ditawarkan pada saya, saya melihat bahwa project film ini bertumpu pada kualitas, baik dari segi produksi, para aktor dan aktrisnya, maupun cerita yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib. Ketika proses pembuatan film ini dijalankan dimana saya mengikuti prosesnya termasuk ketika syuting di Yogya dan Bali, saya melihat langsung dedikasi maupun kualitas para kru dan pemain. Selain segi cerita yang berhasil bertutur dengan ringan namun menyampaikan nilai-nilai yang penting, film ini juga berhasil memperlihatkan keindahan dan kekayaan Indonesia yang luar biasa kepada kita sebagai penonton sehingga kita sebagai penonton seperti diingatkan untuk menjaga Indonesia kita,” imbuh Bayu.
   Rayya adalah seorang artis besar. Multitalented, dia seorang aktris, pemusik, penyanyi, juga bahkan seorang model. Dunia glamor yang diimpikan banyak orang sudah dalam genggaman. Keangkuhan2 yang biasa datang dengan kesuksesan pun direngkuhnya. Tapi, keberhasilan melemahkannya. Ketika suatu sore di coffeshop Rayya di'campakkan', momentum itu adalah kulminasi dari akumulasi kegalauan Rayya, dan menjadi pemicu yang merubah galau Rayya menjadi sebuah rencana untuk menghentikan hidupnya sendiri. Rencana itu mendapat kesempatan baik untuk terlaksana ketika Rayya harus mengerjakan sebuah project pembuatan autobiografinya. Dalam project itu Rayya diharuskan melakukan perjalanan panjang dari Jakarta sampai Bali. Perjalanan untuk mencari lokasi2 yang indah untuk photo shoot Rayya. Tanpa ada yang tahu, Rayya punya agendanya sendiri sepanjang jalannya. Rayya membuang airmatanya, membuang harapannya, membuang segalanya tentang dirinya dengan harapan pada akhirnya tak akan ada yang tersisa. Dan kalau bisa melakukannya di depan kamera. Rencana yang culup ekstrim. Datang Arya. Bukan siapa siapa. Seorang fotografer setengah baya yang juga punya masalahnya sendiri. Masalah yang juga sangat bisa juga diselesaikan dengan cara Rayya. Mereka melakukan perjalanan bersama. Perjalanan yang aslinya hanyalah sesi foto menjadi tidak begitu sederhana dengan tambahan permasalahan para pelakunya. 'Jogetan', 'lompatan', 'permainan', mereka berdua menjadikan perjalanan ini sama sekali berbeda dari yang mereka berdua pernah bayangkan.
    Perjalanan ini berkendaraan jasad, tapi yang melakukan hijrah tidak hanya jasadnya. Pemahaman, pengetahuan, hati mereka ikut serta melakukan perjalanan panjang yang penuh pengalaman untuk menemukan sejatinya kematian. Untuk menemukan cahaya di atas cahaya. (tis)

EDISI 37 Tabloid KABAR FILM : September 2012

TABLOID KABAR FILM edisi ke-37
beredar 17 September 2012...
Tersedia di agen-agen koran dan majalah Jaringan Hermes Media, Toko Buku Gunung Agung Se-Jabodetabek, Bandung dan Surabaya.

PADA edisi ini kami turunkan artikel utama tentang dunia akting dan film dokumenter. Fenomena dunia seni peran saat ini, kalangan aktor dan aktris tidak lagi memiliki 'daya tahan' dibandingkan masa-masa tahun 70-an yang melahirkan aktor dan aktris legendaris seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan sejumlah bintang lainnya. Apakah para bintang itu layak disebut aktor, atau aktor itu layak mendapat predikat bintang? Mengapa sejak 2004, kehadiran aktor dan aktris film Indonesia selalu berganti, tidak satupun yang mampu bertahan lama? Ikuti artikel FILM KITA KEHABISAN BINTANG
   Kami juga hadirkan soal dinamika film dokumenter di Indonesia dimana sejumlah narasumber aktivis film dokumenter kami wawancarai dalam artikel FILM DOKUMENTER MAU KEMANA?
   Beberapa kegiatan perfilman nasional kami sajikan seperti film-film terbaru PREVIEW, album gala premiere ON THE SPOT, dan persiapan beberapa rumah produksi menggarap film dan program televisi. Secara khusus kami wawancara Ram Soraya produser PT Soraya Intercine Film dalam rubdik DIA. Nikmati sajian kami lainnya yang selalu berpihak pada perfilman nasional.

EDITORIAL
FFI milik siapa?
DIAM-DIAM Festival Film Indonesia (FFI) akan digelar lagi. Aromanya sudah terendus sejak dua bulan silam. Sebagai agenda rutin pemerintah, ajang pemberian penghargaan kepada insan perfilman ini, sepertinya tidak lebih baik dari sebelumnya.  Indikasinya adalah tidak terlibatnya satupun generasi muda perfilman, yang sempat mengolah FFI sejak 2009-2011. Perang dingin rupanya belum selesai.
   Sudah bukan rahasia, terjadi situasi tidak nyaman dalam manajemen FFI beberapa tahun terakhir.
Patut dicermati, pelaksanaan FFI yang dimulai lagi tahun 2004, setelah vakum sejak 1991, ajang bergengsi ini berubah secara signifikan, seperti yang dijadikan kredo tagline dalam setiap ajang ini digelar.
   Perubahan FFI jelas wujudnya; dulu FFI sangat ditunggu-tunggu kehadirannya, sekarang tidak terlalu dipedulikan. Mau diadakan syukur, tidak ada juga tidak masalah. Toh, selama ini FFI tidak mampu mengubah persepsi  sebagai  event  ‘Yang Terbaik’, jika dibandingkan dengan kegiatan penghargaan sejenis, yang diadakan sebuah stasiun televisi swasta.    
   Kita melihat kecenderungan semangat pelaksanaan FFI mengalami penurunan dan rapuh. Sejatinya, FFI adalah hajat masyarakat film, termasuk di dalamnya adalah para penonton film agar menjadi pembelajaran bersama. Tidak perlulah dijelaskan di forum ini, karena penjabaran tentang manfaat dan tata cara pelaksanaan FFI jelas tertulis di UU Perfilman dan Buku Pedoman FFI.
   “FFI bisa diibaratkan besi panas, siapapun yang memegangnya akan terbakar” begitu amsal Adisoerya Abdi, saat menjadi Ketua Pelaksana FFI 2004. Dan bara panas itu kini beralih ke tangan kelompok yang bukan orang baru, yakni para senior. Sudah pasti mereka jagoan di perfilman yang mampu menahan bara panas tadi.
   Mungkin saja kelompok anak muda mundur, karena mereka khawatir bentrok kepentingan dengan para senior.  Padahal, penyelamatan FFI bisa dilakukan bersama-sama antargenerasi.  Masalah FFI hanyalah sebagian kecil dari gudang masalah perfilman yang kronis seperti penerbitan PP UU Perfilman, termasuk rencana pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang konon bakal diresmikan tahun ini juga.
   Mengingat tidak solidnya para elit perfilman, maka kegiatan FFI yang biayanya diambil dari kas Negara ini menjadi kegiatan ‘asal ada’, sekadar untuk menghabiskan anggaran. FFI yang kelahirannya dilandasi semangat  bersatu masyarakat perfilman termasuk didukung organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Kebudayaan ketika itu, kini menjadi ‘bulan-bulanan’ para pencari proyek. **   

Senin, 17 September 2012

Wisata: Indikator Keberhasilan Pariwisata Perlu Ditambah

Myra P Gunawan 
SEKTOR pariwisata di Indonesia selama ini hanya berkaca dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara serta jumlah perjalanan wisatawan nusantara. Nyatanya, indikatornya bukan hanya itu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh pakar perencanaan pariwisata Myra P Gunawan.
   “Orientasi kita selama ini hanya pertumbuhan ekonomi, padahal ini hanya kendaraan dan bukan tujuan,” jelas Myra saat konperensi pers Konferensi Pembangunan Kepariwisataan Berkelanjutan, di Bali, Kamis (13/9/2012).
   Maka dari itu, lanjutnya, indikator keberhasilan pariwisata ini perlu ditambah. Bukan hanya sekadar jumlah kedatangan wisman dan jumlah perjalanan wisdom. Menurutnya, pariwisata bukanlah tujuan, karena tujuan mengembangkan pariwisata sendiri adalah untuk menyejahterakan masyarakat.
   Pariwisata berkelanjutan, menurutnya bukan sekadar hanya berdimensi ekonomi, melainkan juga sosial budaya. “Mencari keuntungan tentu boleh tetapi ada rambu-rambu yang harus diikuti,” tandasnya.
   Myra memberi contoh ketimpangan pembangunan pariwisata yang terjadi di Bali. Banyak resor mewah namun kondisi masyarakat yang tinggal di sekitarnya masih kurang sejahtera. Sebaiknya, lanjut Myra, pembangunan infrastruktur bukan hanya dinikmati oleh wisatawan, tetapi juga oleh warga setempat.
   Perihal ketimpangan tersebut diaminkan oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar. Menurutnya agar pariwisata berkelanjutan bisa berjalan hal yang harus diperhatikan adalah pemerataan sektor pembangunan destinasi pariwisata ke daerah-daerah lainnya.
   “Misalnya, pembangunan industri pariwisata di Bali. Saat ini sarana pendukung pariwisata Bali dan obyek wisatanya bertumpuk di kawasan selatan,” tegas Sapta dalam kesempatan yang sama.
   Dia menyebutkan bahwa Bali selatan sekarang ini sudah terlalu padat. Bahkan, jumah hotel berbintangnya sudah mencapai seratus buah. Akibatnya, kemacetan kerap terjadi di kawasan ini. Di masa mendatang, dia memandang perlu adanya pemerataan. Salah satu solusinya adalah perlu adanya insentif bagi pembangunan di daerah lain, di luar Bali selatan, agar pariwisata lebih menyebar lagi.
   Sebagai manifestasi pariwisata yang berkelanjutan ini, Sapta menyatakan pemerintah sudah menyiapkan cetak biru pariwisata nasional. “Rencana strategisnya sudah ada. Di negara lain seperti Perancis, masing-masing daerah punya ikon pariwisata. Itu berkembang karena ada insentif," ujarnya.
   Konferensi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dihadiri oleh pemangku kepentingan dari instansi pemerintah pusat dan daerah, asosiasi dan industri pariwisata, pengelola destinasi wisata, akademisi, serta LSM. Hadir pula sejumlah pakar pariwisata yang merupakan perwakilan organisasi internasional World Tourism Organization (UNWTO) dan ILO, praktisi dan LSM pariwisata, hadir sebagai pembicara dalam konferensi yang berlangsung di Bali pada 13-14 September 2012 tersebut. (bob)

Wisata: Desa Pemuteran Bali, Menjual Ketenangan

APA yang ada di benak orang saat ditanya nama tempat wisata pantai di Bali? Lagi-lagi mereka akan selalu menyebut Sanur, Kuta atau Nusa Dua. Padahal tempat wisata di pulau dewata bukan hanya berada di kawasan selatan pulau ini. Salah satu yang bisa menjadi alternatif bagi wisatawan adalah di desa Pemuteran. Dimanakah itu?
Pantai Desa Pemuteran
 Desa Pemuteran tepatnya berada di sebelah barat pulau ini, persisnya ada di kecamatan Gerokgak, kabupaten Buleleng. Lokasinya ada di perlintasan rute antara Gilimanuk-Singaraja. Dari kota Denpasar, tempat ini bisa ditempuh ke arah barat pulau dalam empat jam. Dari pulau Jawa, sudah dekat setelah menyeberang dari Banyuwangi.
 Di sini pantainya indah membiru, dengan ombak yang terbilang jarang, lantaran bukan berada di lingkar Samudera Hindia. Terumbu karangnya yang dangkal terpelihara dan dikonservasi dengan baik. Rupanya masyarakat setempat memiliki kesadaran tinggi akan kekayaan alam desa mereka. Pantainya cocok untuk wisata snorkeling yang tak jauh dari bibir pantai.
 Pantai ini juga jauh dari hiruk-pikuk pedagang asongan. Atmosfernya masih macam di pedesaan yang damai. Tak ada bar, restoran atau diskotek, sungguh cocok bagi mereka yang ingin merasakan suasana spiritual. Mau bermeditasi misalnya, cukup tinggal di dalam cottagenya. Sunyi, namun tetap saja menyenangkan.  
Pemuteran Cottage
 “Dulu tempat ini tidak seperti sekarang,” demikian ungkap I Gusti Agung Prana, Ketua Yayasan Karang Lestari yang sekaligus pemilik resor Taman Sari. Dia mengaku saat tahun 1980-an datang ke desa Pemuteran tempatnya masih tandus. Terumbu karang rusak. Kondisi masyarakatnya pun masih terbilang minus.
 “Padahal saya melihat ada tiga teluk dan sebelas gunung di sekitar kawasan ini,” kenang Prana lagi. Ditambah lagi masyarakatnya dengan budaya yang unik, dia melihat potensi pariwisata desa yang amat menjanjikan di masa mendatang. 
 Pelan-pelan, mulailah Prana memberikan pemahaman yang kini dikenal sebagai pariwisata berkelanjutan kepada penduduk setempat. Dia memberikan motivasi bagaimana membuat lingkungan setempat agar selalu terjaga dengan baik. Prana menanamkan konsep bahwa pariwisata tak melulu sebagai bisnis semata. Menurutnya, lingkungan harus tetap dijaga sebagai modal hidup mereka. 
 Awal 1990-an, ide yang ditawarkan Prana mulai berbuah. Kawasan Pemuteran mulai hijau. Terumbu karang yang tumbuh secara alami, tak pelak menarik perhatian wisatawan untuk datang ke Pemuteran. Mereka datang dengan berbagai minat khusus, umumnya wisata bahari macam diving atau snorkeling. Namun ada juga yang sekadar wisata spiritual.  
 Sejak tahun 2000, Prana juga menggagas proyek rehabilitasi terumbu karang bersama warga setempat. Mereka membentuk Kelompok Karang Lestari. Kelompok ini melakukan rehabilitasi terumbu karang dengan teknik yang terbilang baru. Caranya adalah dengan mengalirkan listrik bertegangan rendah pada kerangka rumpon (bronjong) di bawah dasar laut. Selain itu, yayasan ini juga mengupayakan penangkaran penyu. 
  Demikianlah model Prana berbisnis. Dimulai dengan memberdayakan penduduk setempat, hingga tingkat kesejahteraannya bisa meningkat. Lantas, dia dengan caranya yang unik juga tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya dengan berbagai cara agar pariwisata tetap berkelanjutan.
 Dalam Konferensi Pariwisata Berkelanjutan, di Holiday Inn Hotel, Kuta, Bali medio September lalu, Prana bersama Yayasan Karang Lestarinya menerima penghargaan dari pemerintah atas upaya pelestarian terumbu karang dan penangkaran penyu. (bob)