Selasa, 23 Oktober 2012

Pendaftaran 'XXI Short Film Festival' sampai 10 Desember


PEMBUAT film pendek di Indonesia  mendapatkan berkah baru. Pasalnya pemilik jaringan bioskop terbesar,  Cineplex 21 dan XXI akan menggelar  ‘XXI Short Film Festival’.  Ajang penilaian karya film pendek Terbaik ini mulai menerima peserta dari seluruh Indonesia (selengkapnya bisa klik  www.21shortfilm.com)
    “Acaranya sendiri baru digelar pada Maret 2013 selama tiga hari,” ujar Catherine Keng, selaku Festival Direcetor ‘XXI Short Film Festival’ kepada Tabloid Kabar Film, Selasa (23/10) pagi.
     Selama tiga hari (Jumat-Sabtu-Minggu / 22-24 November) festival diadakan berbagai kegiatan seperti pemutaran film-film dari kompetisi, non-kompetisi, serta retrospektif dan diskusi sutradara-sutradara Indonesia. 
   Pada hari pertama (malam pembukaan) festival diputar karya film pendek internasional  dan film pendek terpilih.  Hari kedua, pada diputar film-film finalis kompetisi, film pendek internasional, retrospektif dan diskusi, dan pada hari Ketiga  diputar film-film finalis kompetisi, retrospektif, dan diskusi.  “Malam terakhir festival  juga merupakan malam pemberian penghargaan,” lanjut Catherine Keng.
   Menurut dia, ajang ‘XXI Short Film Festival’ merupakan tempat bagi para pembuat film pendek Indonesia untuk berkarya, sekaligus meluncurkan dan mempertunjukkan karya-karya mereka. Selain itu, juga menjadi tolak ukur kualitas perkembangan film pendek di tanah air.
   “Diharapkan, kegiatan ini menjadi ajang pembelajaran untuk bakat-bakat baru di bidang film pendek Indonesia,” sambung Catherine.
    Film-film peserta yang terpilih akan dikompetisi menjadi finalis kompetisi yang dinilai oleh juri dari kalangan perfilman nasional. 
    Adapun jenis atau katagori penghargaan film yang dikompetisikan adalah Film Pendek Fiksi Terbaik,
Film Pendek Dokumenter Terbaik, Film Pendek Animasi Terbaik, Film Pendek Fiksi Pilihan Media, Film Pendek Dokumenter Pilihan Media,  dan Film Pendek Animasi Pilihan Media.
   Panitia ‘XXI Short Film Festival’ terdiri dari Festival Advisors (Harris Lasmana, Shanty Harmayn, dan Eric Sasono), Festival Director (Catherine Keng), Program Director (Nauval Yazid), Programming Team (Damar Ardi, Adrian Jonathan Pasaribu, Varadila), Program Assistant (Andhika Annas Satria), Web Administrator (Muhammad Omar Azis), Administration Manager (Lenny Sumitra).
   Ditambahkan oleh Catherine, ‘XXI Short Film Festival’ mempunyai target penonton  dari kalangan mahasiswa, penonton film, dan pembuat film.  “Karena ketiga komponen inilah yang utama dalam mengembangkan apresiasi film Indonesia, dan festival ini bertujuan untuk lebih meningkatkan peran serta  mereka dalam kemajuan kualitas film Indonesia,” jelasnya.
   Selama festival, para penonton  diharapkan aktif berpartisipasi dalam seluruh kegiatan rangkaian acara festival. Di luar festival, situs XXI Short Film Festival akan terus aktif dan terbuka bagi para pembuat film untuk bertukar ide dan informasi mengenai pembuatan dan kegiatan pemutaran film pendek.
   Situs ini juga akan berfungsi untuk memutar film pendek, sekaligus memberikan materi pembelajaran seputar pembuatan film pendek.
   
Penghargaan 
  Panitia akan memberikan tiga penghargaan utama berupa uang tunai Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk masing-masing pemenang dan sertifikat dari Cinema 21.
  Tiga penghargaan pilihan media masing-masing akan mendapat hadiah uang tunai Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan sertifikat dari Cinema 21.
   “Film pemenang akan diputar dalam pemutaran reguler secara khusus di Cinema 21 seusai festival,” jelas Catherine, seraya menyebutkan batas waktu pendaftaran adalah 10 Desember 2012.
    Panitia akan melakukan seleksi dan memilih maksimum 10 (sepuluh) finalis di setiap kategori film pendek yang dilombakan. Penilaian masing-masing kategori kompetisi akan dilakukan oleh juri yang dipilih oleh panitia festival. Nama-nama juri akan diberitahukan kemudian. (kf1)

Sabtu, 20 Oktober 2012

FFI 2012 telan biaya Rp16,2 Miliar

Syamsul Lussa, Duto Sulistyadi dan Ukus Kuswara
DIBANDING tahun-tahun sebelumnya, ajang penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2012 mendapat limpahan biaya berlipat-lipat, dengan total Rp16,2 Miliar. “Ini bukti keseriusan pemerintah,” kata Drs Syamsul Lussa MA, Direktur Pengembangan Industri Perfilman (PIP) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sabtu (13/10) malam di Metropole Theater, Jakarta.
   Ajang bergengsi bagi insan perfilman nasional ini memasuki penyelenggaraan ke-31 yang Malam Puncaknya direncanakan akan dilaksanakan di Yogyakarta, 8 Desember 2012. Sementara itu, Duto Sulistiadi selaku Ketua Panitia Pelaksana FFI 2012 mengatakan, “Ada sekitar 60 judul film bioskop, 50 judul film televisi (FTV), dan 50 judul film pendek yang akan dinilai dalam penyelenggaraan FFI tahun ini,” katanya, saat berpidato.
   Duto menambahkan FFI tahun ini akan mengusung tema “Film Kita, Wajah Kita”. Sedangkan malam pengumuman nominasi FFI dilangsungkan pada 24 November 2012. Dan puncaknya, akan berlangsung di halaman Benteng Vrederburg, Yogyakarta, 8 Desember.
   Sekjen Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Drs Ukus Kuswara MM yang juga hadir mewakili pihak pemerintah, juga menekankan pentingnya ajang tahunan ini.
   Para pemenang FFI diharapkan mampu bersaing dengan film peserta festival film mancanegara. “Kami memutuskan untuk mengikutkan pemenang FFI 2011, Sang Penari di ajang Academy Award tahun 2013,” kata Ukus Kuswara.
   Perihal kucuran anggaran penyelenggaraan sebesar Rp16,2 M, Syamsul Lussa menyebutkan, “Ada dua tahap. Pertama kita keluarkan Rp 4 miliar. Kemudian kita keluarkan lagi Rp 12,2 miliar. Totalnya Rp 16,2 miliar,” jelas Syamsul.
  
Katagori baru
Seperti tahun lalu, FFI yang kali ini mengangkat tema “Film Kita Wajah Kita” melombakan empat jenis kompetisi: film bioskop, film pendek, film dokumenter, dan film televisi. Yang terakhir itu hanya untuk film-film dengan durasi tayang minimal 70 menit atau lebih dikenal sebagai FTV.
   Duto menargetkan sekitar 60 judul bioskop dan 50 film televisi akan didaftarkan mengikuti kompetisi. Wakil Ketua Bidang Festival, Aditya Gumay, yang membawahi kompetisi dan penjurian, menjelaskan, pada kompetisi film bioskop awalnya akan digunakan sistem penjurian dengan Komite Nominasi seperti tahun lalu.
   “Saya pribadi menganggap system itu sudah ideal,” katanya. Namun kemudian dengan berbagai pertimbangan panitia memutuskan kembali menggunakan sistem Komite Seleksi. Sebagaimana diketahui, Komite Seleksi mulai diterapkan ketika jumlah film peserta semakin banyak sehingga merepotkan juri. Komite yang sering disebut juri awal tersebut menilai seluruh film peserta dan memilih
film-film yang secara utuh (in toto) dianggap baik untuk dinilai oleh Dewan Juri. Sistem ini beberapa kali menimbulkan kontroversi.
   Penyebabnya, sejumlah film yang memiliki unsur-unsur menonjol tidak dipilih oleh komite yang memang hanya ditugaskan menilai film, bukan unsur-unsurnya. Untuk menghindari tumpang-tindih penilaian itulah pada FFI 2011 diperkenalkan system baru penjurian.
   Komite Seleksi diganti dengan Komite Nominasi yang fokus melakukan penilaian kualitas teknis untuk menetapkan nominasi unsur-unsur terbaik. Komite beranggotakan 21 pekerja film dalam tujuh bidang (pemeranan, penyutradaraan, cerita dan skenario, sinematografi, artistik, penyuntingan, suara dan musik). Dewan Juri, yang terdiri dari tiga anggota komite dan empat juri baru, tinggal memilih pemenang Piala Citra.
   Meskipun kembali menggunakan komite seleksi, tahun ini terdapat perubahan dalam jumlah dan komposisi juri. Komite Seleksi beranggotakan Sembilan juri — terdiri dari lima pekerja film serta empat seniman, budayawan, dan pengamat atau kritikus film — akan memilih 10- 15 film pilihan. Untuk menjaga kesinambungan penjurian, semua anggota komite kemudian menjadi anggota Dewan Juri ditambah enam juri baru. “Jadi total ada 15 juri yang akan menetapkan nominasi dan memilih pemenang,” kata Aditya.
   Unsur-unsur yang akan dinilai menurut Adit sama seperti tahun lalu, dengan tambahan satu kategori baru, yaitu Penata Efek Visual Terbaik.

Tidak berubah
Penjurian film pendek, dokumenter, dan televisi tidak mengalami perubahan. Tujuh juri (film televisi) dan masing-masing lima juri (film pendek dan dokumenter) menilai seluruh film peserta untuk menetapkan nominasi dan pemenang. “Tapi ada sedikit perbedaan dalam persyaratan peserta film pendek, yaitu durasi maksimalnya kini 20 menit. Bukan 30 menit seperti tahun lalu,” jelas Akhlis Suryapati, koordinator penjurian film pendek dan dokumenter.
   Akhlis juga mengatakan anggota juri pada keempat kompetisi sudah tersusun tapi masih akan difinalisasi dalam rapat pleno panitia untuk disahkan. “Jadi sebaiknya jangan diumumkan dulu,” ucapnya. Pendaftaran film peserta FFI 2012 mulai dibuka sejak peluncuran akhir minggu lalu dan ditutup 31 Oktober. Informasi dan pendaftaran bisa dilakukan ke Sekretariat Panitia Pelaksana FFI 2012, Gedung Film Lantai 1, Jalan MT Haryono Kav 47-48 Jakarta 12770, atau melalui email sekretariatffi@gmail.com.
   Aditya mengingatkan, “Film bioskop yang bisa didaftarkan adalah film-film yang belum pernah mengikuti FFI sebelumnya dan/atau lolos sensor antara 1 Oktober 2012 sampai dengan 31 Oktober 2012. (kf1/bob)

Omnibus 'Jakarta Hati' membuka Balinale 2012


FILM omnibus besutan Salman Aristo, Jakarta Hati akan tayang perdana di dunia sekaligus menjadi film pembuka Balinale International Film Festival pada 22 Oktober 2012. Film yang dibintangi sejumlah pemeran seperti Slamet Rahardjo, Didi Petet, Jajang C Noer, Roy Marten, Andhika Pratama, Dwi Sasono, Agni Pratistha, Dion Wiyoko, Shahnaz Haque, Framly Nainggolan, dan Asmirandah akan dirilis 8 November.
   Jakarta Hati menjadi salah satu dari 34 film yang ditayangkan di festival internasional di Indonesia yang tahun ini diselenggarakan di Cinema XXI Beachwalk Kuta, Bali. Pendiri BALINALE, Deborah Gabinetti, memuji kualitas film yang lolos seleksi dari 350 film yang diterima komite seleksi.
   “It is a very good film, the production quality is there, the acting is there, the story is there, I think it would be an interesting film as I said, not only Indonesian but for the foreigners and the expats,” (Itu adalah film yang sangat bagus, produksinya berkualitas, aktingnya bagus, ceritanya bagus. Saya kira itu akan jadi film yang menarik, seperti saya bilang, bukan cuma untuk orang Indonesia tapi juga untuk orang asing dan para ekspaktriat).
   Produser Jakarta Hati, Lavesh M Samtani, pun mengaku bangga filmnya bisa tampil di Balinale. Selama seminggu, puluhan film dari beragam genre akan ditampilkan. Selain Jakarta Hati, film Indonesia yang juga menjadi bagian Balinale adalah Lovely Man karya Teddy Soeriaatmadja. Film yang dipilih menjadi Closing Night Special Screening itu akan ditayangkan pada 26 Oktober.
   Christine Hakim, co-founder Balinale, optimis bahwa festival ini bisa menjadi batu loncatan bagi para sineas lokal untuk berbagi ilmu dengan sineas terkemuka dari mancanegara ataupun memperkenalkan
karyanya ke kancah internasional. Christine mengatakan, Balinale mengundang orang-orang penting di dunia perfilman Hollywood, Asia, dan Eropa.
   Menurut dia, film Indonesia akan jadi prioritas tontonan bagi mereka. “Yang saya tahu mereka nggak akan melihat film asing karena mereka bisa melihat film itu di festival-festival lain. Pasti mereka akan memberikan prioritas untuk film lokal,” katanya di Jakarta, Jumat sore.
   Balinale memberikan hiburan untuk anak-anak dalam Free Children’s Film Programme. Langit Biru yang disutradarai Lasja F Susatyo menjadi salah satu pengisi program yang berlangsung pada 26-27 Oktober. Pada tahun ke-6 penyelenggaraan festival ini, Deborah menyebutkan bahwa jumlah film Indonesia yang ditayangkan memecahkan rekor dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu enam film. (kf1/ant)

Sabtu, 13 Oktober 2012

FLAN 2012 mencari pencipta lagu anak-anak

APA judul lagu anak-anak yang saat ini sedang hits? Jangankan lagunya, penyanyinya pun sulit ditemukan. Tetapi, kalau lagu orang dewasa yang dinyanyikan oleh anak-anak, sangat banyak. Ironisnya sejak era penyanyi anak-anak Sherina Munaf dengan lagu-lagu yang bergizi, hingga saat ini tak ada lagu dan penyanyi anak yang menyeruak di belantara industri musik tanah air. Kepriharinan atas perkembangan lagu anak Indonesia ini, termasuk lagu yang jauh dari nilai-nilai edukasi ditanggapi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan menggelar Festival Lagu Anak Nusantara 2012. 
   Wakil Menteri bidang Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof Ir Wiendu Nuryati MArch PhD mengatakan, setelah sekian lama menimbang bahwa perkembangan lagu anak mengalami kemandekan, akhirnya Kemdikbud menggagas acara itu.
   Wiendu menyadari kualitas vokal dan teknik penyanyi anak-anak sangat banyak dan baik. ”Sayangnya, hal itu tidak diimbangi oleh perkembangan lagu anak-anak yang edukatif dan menghibur dan sesuai dengan usia anak-anak,” kata dia di Jakarta, baru-baru ini.
   Yang ada saat ini, menurutnya, anak-anak menyanyikan lagu orang dewasa. Yang lebih memprihatinkan, lanjutnya, dalam banyak lomba menyanyi di berbagai televisi swasta, anak-anak dipilihkan lagu orang dewasa dengan cara menyanyi seperti orang dewasa, termasuk cara berdandannya.
   Berangkat dari keprihatinan itulah, panitia yang dipimpim Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kemendikbud Drs Sulistyo Tirtokusumo bersama pemerhati musik Bens Leo akhirnya mematangkan Festival Lagu Anak Nusantara 2012.
   Menurut Bens Leo, pengamat musik yang juga Ketua Pelaksana Festival Lagu Anak Nusantara 2012, acara dalam festival ini meliputi lomba penyanyi anak, bazaar seni budaya dan mainan anak, panggung apresiasi seni anak, diskusi musik dan mainan anak, juga klinik pelatihan musik anak.

Belajar Sportivitas
Dalam ajang itu, lagu anak bisa berbahasa Indonesia bisa juga berbahasa daerah. Untuk itu, panitia menyediakan hadiah yang totalnya Rp 225 juta untuk pemenang 10 lagu terbaik. Hadiah tertinggi Rp 25 juta dan terendah Rp 5 juta.
   Trie Utami yang akan menjadi juri dalam grand final lomba cipta lagu anak dan lomba penyanyi anak mengatakan, ajang semacam ini sangat baik untuk membentuk kualitas dan profesionalitas anak dari dini.    
   ”Karena anak-anak bisa belajar arti sportivitas sekaligus memupuk bakat dan bersosialisasi dengan kawan seumuran,” katanya.
   Selain Trie Utami, nama lain yang dilibatkan sebagai juri pada babak penyisihan hingga grand final adalah Erwin Prasetya, Naniel Yaqin, Bens Leo, Gideon Momongan, Dian HP, Elsa Segar, Purwa Caraka, dan Sinta Priwit. Adapun Dwiki Dharmawan, Chica Koeswoyo, Ucie Nurul, Kak Seto, dan Ati Ganda akan bertindak sebagai pemberi materi pada klinik musik.
   Grand final akan digelar Jumat (30/11) di Tennis Indoor Senayan Jakarta dengan melibatkan sejumlah penampil seperti Super 7 dan Perkusi Anak Gilang Ramadhan Music School. Untuk informasi lengkap, peminat bisa mengecek langsung di laman www.festivallaguanaknusantara.com. (kf1)

Jumat, 12 Oktober 2012

Pemerintah sewa hak tayang sejumlah film nasional

Drs Sulistyo Tirtokusumo MM
PEMERINTAH akan menyewa hak tayang  film produksi nasional. Untuk itu, dari 9 Oktober hingga 24 November 2012 dilakukan seleksi terhadap film-film yang sudah diproduksi pada tahun 1980-2011. Sebanyak 20 judul film yang lolos berdasarkan kriteria yang telah ditentukan akan ditayangkan selama satu tahun ke seluruh pelosok tanah air melalui bioskop rakyat, mobil keliling dan sekolah.
   Demikian pernyataan dalam konperensi pers berjudul “Fasilitasi Pembelian Film Right” di ruang Graha 1, Lantai 2, gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Selasa 9 Oktober yang diberikan oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Wiendu Nuryanti dan Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kemendikbud Sulistyo Tirtokusumo.
   Sewa hak tayang film ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi perfilman maupun pengembangan karakter bangsa. Selain itu juga mendorong munculnya bentuk-bentuk baru akses pemutaran film seperti bioskop rakyat dan mobil keliling.
   Sewa hak tayang film ini ini akan memperluas kesempatan masyarakat mengakses pertunjukan film nasional. Bagi para sineas nasional, program ini pun merupakan bentuk apresiasi pemerintah terhadap film karya anak bangsa yang memiliki nilai pembangunan karakter bangsa.
   “Ini bentuk apresiasi dari pemerintah kepada para sineas. Program ini juga akan meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap film yang diproduksi sineas Indonesia” tutur  Wiendu Nuryanti.  “Film sebagai hasil dan cerminan budaya perlu difahami bukan hanya sebagai komoditi ekonomi tetapi harus dipahami pula fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan dan hiburan,” tutur Wiendu lagi.
   Untuk menentukan film-film nasional yang akan ditayangkan ke seluruh pelosok tanah air, pemerintah terlebih dahulu akan melakukan seleksi terhadap film yang telah lulus Lembaga Sensor Film (LSF).  Pemilihan judul film ini dilakukan oleh  tim ahli yang berjumlah 13 orang. Mereka terdiri dari ahli perfilman, ahli kebudayaan, dan ahli pendidikan.
   Film-film tersebut diseleksi berdasarkan kriteria antara lain yang mengandung 18 nilai-nilai pendidikan karakter.  Nilai-nilai tersebut adalah  religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
   “Semua kriteria itu ditentukan dalam rangka mencerdaskan bangsa serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia,” kata Sulistyo Tirtokusumo. Untuk tahun ini sudah ada 60 judul film yang dijaring oleh panitia. Film-film tersebut kemudian diseleksi berdasarkan kriteria dan kelak yang akan lolos hanya 30 judul film. Itu pun masih akan di saring lagi hingga tinggal 20 judul film. “Film yang sudah lolos saringan inilah yang akan disewa hak tayangnya dan akan ditayangkan melalui sinema keliling dan bioskop rakyat,” kata Sulistyo.
   Kegiatan ini merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan perfilman yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara beruntun dalam seminggu terakhir ini beberapa acara lain sedang dan siap dilaksanakan, antara lain: ajang Apresiasi Film Nasional, Jambore Film Pendek, dan lomba penulisan skenario, di samping rencana pembenahan Lembaga Sensor Film yang berupa pengetatan penyensoran dan pengurangan tenaga penyensor.
   Seperti diketahui, kegiatan perfilman sekarang dikelola oleh dua kementerian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengelola sisi pengarsipan dan apresiasi film, sementara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengelola sisi industrinya. (kf1)

Lewat Jambore, Kemendikbud wadahi sineas film indie

Leony dan Deddy Mizwar (foto: sutrisno buyil)
WAKIL Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Wiendu Nuryanti mengatakan pemerintah bersama komunitas film di Tanah Air berkeinginan melawan arus gelombang film-film Asia terutama dari Korea Selatan, dengan mendorong film-film pendek karya sineas Indonesia untuk masuk ke kancah Internasional.
   "Saya sebagai garda depan untuk menggelontorkan gelombang Indonesia ke kancah Internasional, karena potensi film pendek ini luar biasa," kata Wiendu dalam penjelasan Jambore Film Pendek, 21-27 November 2012 di Gedung Kemdikbud Jakarta, Kamis.
   Wamendikbud yang didampingi aktor Deddy Mizwar, panitia jambore film pendek Riza Pahlevi, dan sutradara film pendek Leony Vitria Hartati mengatakan film pendek bisa menjadi alat penetrasi, untuk memasukkan gelombang Indonesia ke dunia Internasional.
   "Dukungan dan fasilitasi produksi film pendek berkarakter kebangsaan oleh pemerintah ini diharapkan mampu merangsang seluruh insan perfilman untuk menghasilkan karya-karya berkualitas. Melalui fasilitasi produksi film pendek ini, Kemdikbud menginginkan film Indonesia lebih berprestasi di tingkat nasional maupun internasional," katanya.
   Wiendu Nuryanti mengatakan film pendek memiliki posisi yang sangat strategis. Pertama, adalah mengekspresikan kreativitas dan mengekspresikan kekuatan seni budaya dari kalangan para sineas muda. Kedua, film pendek mempunyai peran yang sangat efektif untuk bisa menjadi inspirasi di dalam pembangunan karakter. Itulah yang melatarbelakangi mengapa film pendek menjadi program yang diprioritaskan di lingkungan kebudayaan.
   Film pendek tentu strategis mulai dari penguatan dari sektor kreativitas/hulunya, sampai dengan hilir. Banyak cara untuk menghidupkan mata rantai, terutama yang menjadi tanggung jawab langsung dari kebudayaan adalah pada saat memperkuat hulunya.
   "Jadi bagaimana supaya film pendek itu memiliki kualitas yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, kita akan memasuki era baru film pendek yang kreatif dan berkualitas," tutur Wiendu
   Jambore film pendek ini untuk mempertemukan para komunitas film pendek, sehingga bisa berinteraksi, saling berkompetisi secara tidak langsung, dan bisa belajar satu sama lain. Jambore Film Pendek juga akan memfasilitasi produksi film mereka.
   Sementara itu, Leony Vitria Hartati, yang dulu dikenal sebagai penyanyi cilik, kini merambah dunia seni akting dengan tampil di sinetron dan layar lebar mengatakan bahwa membuat film pendek sebenarnya lebih gampang.
   "Kita juga lebih bebas berekspresi dan tidak harus selalu dengan biaya mahal. Selama tahu tekniknya maka peralatan yang sederhana pun bisa digunakan untuk membuat film, termasuk dengan menggunakan ponsel," kata dia.
   Dengan adanya jambore film pendek ini, lanjut Leony, memberi kesempatan masyarakat untuk belajar. Masyarakat pasti bisa dengan mengikuti workshop dulu. Dengan modal kecil, mereka pasti akan tertarik membuat film pendek.
   Sementara itu, Deddy Mizwar mengatakan pembuatan film pendek atau indie saat ini banyak dilakukan kalangan sineas muda. Ada ribuan, bahkan jutaan karya film pendek di Indonesia. Sebagian karya mendapatkan panggung apresiasi dari beberapa penyelenggaraan festival film independen maupun festival film indie.
   Namun, kata dia, tidak semua karya sineas independen bisa manggung di festival dan dinikmati masyarakat luas, karena masalah mutu, kualitas, dan mungkin tema yang tidak sesuai dengan nilai-nilai daerah dan kebangsaan. (kf1)

Rabu, 26 September 2012

Film 'Sang Penari' ke ajang Academy Awards 2012

FILM Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2011 2011 Samg Penari ikut berkompetisi di tingkat internasional. Film garapan sutradara Ifa Isfansyah tersebut dikabarkan terpilih untuk mewakili Indonesia di ajang Academy Awards yang ke-85. Sang Penari berkompetisi dalam kategori Best Foreign Language. Meski belum pernah menembus lima nominator terbaik di ajang internasional tersebut, Indonesia aktif mengirim karya terbaik anak bangsa ke ajang Academy Awards sejak tahun 1987.
   Kendati kurang mendapat apresiasi penonton di bioskop film yang dibintangi oleh Oka Antara dan Prisia Nasution memborong 4 penghargaan bergengsi pada FFI 2011.
   Selain itu seperti dilansir The Vote, Senin (24/09) lima nominasi terbaik dalam kategori Best Foreign Language bakal diumumkan pada tanggal 10 Januari 2013. Pesta akbar Academy Awards sendiri bakal dihelat tanggal 24 Februari tahun depan.
  Film Sang Penari diadaptasi dari novel karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Tahun 1983 difilmkan lewat judul Darah dan Mahkota Ronggeng oleh sutradara Yazman Yazid. Dari novel yang sama di tahun 2011 ini, Ifa Isfansyah membangun cerita lewat judul Sang Penari. Di film sebelumnya, Enie Beatrice memerankan tokoh utama Srintil sebagai ronggeng (penari), kini artis Prisia Nasution memerankan karakter yang sama. Sang Penari hadir membawa pesan baru bagi perfilman nasional karena padat gizi dengan ramuan drama percintaan haru-biru, sedikit gejolak politik, dan terutama karakter bahasa daerah Banyumas, Jawa Tengah yang 'ngapak-ngapak'..
   Selama hampir empat tahun, film yang menghabiskan biaya Rp 10 Miliar ini 'diruwat' oleh trio penulis Shanty Harmayn, Salman Aristo, dan Ifa Isfansyah.  Namun setelah semuanya beres siap putar, sekitar 100 meter gulungan pita seluloid film harus digunting-sambung oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Konon, di area '100 meter' itu terdapat adegan vulgar. (kf1)

Selasa, 25 September 2012

75% Pajak Film Nasional Dikembalikan ke Produser


Arif Susilo SH MSi (foto: dudut suhendra putra)
PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 115 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Sebagian Pajak Hiburan Untuk Produksi Film Nasional. Pergub yang diterbitkan tanggal 12 September 2012 tersebut, dimaksudkan untuk meningkatkan produksi film nasional.
   “Peraturan gubernur ini dikhususkan bagi film nasional,” kata Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Pajak Daerah, Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta,  Arif Susilo SH MSi ditemui  Kabar FILM di ruang kerjanya, Selasa (25/9/2012).
   Menurut Arif, Pergub DKI Jakarta No 115 Tahun 2012 baru diterbitkan pertanggal  12 September 2012, namun efektifitas pelaksanaannya berlaku sejak 17 Agustus 2012. Hal tersebut dimaksudkan sebagai  ‘starting point’ bahwa perfilman nasional sudah layak dicintai masyarakat Indonesia dengan semangat proklamasi.
   Berdasarkan Pergub ini nantinya, kalangan produser akan mendapatkan pengembalian pajak sebesar 75% dari setiap karcis yang dibeli penonton.  “Namun, mekanismenya  diserahkan kepada pengusaha bioskop dan produser film untuk berembug,” ujar Arif menambahkan.
   Alasan Pemda DKI menerbitkan Pergub tersebut, antaranya karena selama ini pajak film nasional sama dengan pajak film impor.
   “Diharapkan, melalui Pergub ini, film nasioal menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena film nasional belum mampu secara maksimal memenuhi standar produksi, yang banyak diisi film-film impor. Sehingga plus-minusnya akan mempengaruhi dalam pola etika budaya, dan sebagainya. Oleh karena itu Pemda DKI   Jakarta memberikan daya dukung (supporting) untuk meningkatkan produksi film nasional melalui pembebasan sebagian pajak tontonan film, khusus produksi film nasional,” jelasnya.  Pergub ini juga dalam rangka mengupayakan film nasional bisa dicintai masyarakat. Karena selain kesulitan biaya produksi, film nasional terkendala pajak yang dikenakan. Selama ini, dari sisi pembiayaan produksi film nasional jauh lebih kecil dari biaya produksi film impor, tapi pajaknya sama. Mungkin film impor menghabiskan ratusan miliar, tapi film nasional berapa ratus juta atau miliar tapi pajaknya sama.
   “Kami memberikan semacam insentif berupa pengurangan atau pengambalian pajak sebesar 75% dari tarif pajak yang berlaku. Sehingga pengenaannya adalah 25%.  Bagaimana dengan yang 75%? Inilah yang akan dikembalikan ke produser,” jelasnya.
   Menurut Arif mekanisme kerjasama pengusaha bioskop dengan produser film selama ini, pemasukan Pemda DKI misalnya 10%. Untuk produser film mendapat 45% sedangkan pengusaha bioskop 55%. Dengan adanya Pergub DKI Jakarta No 115 Tahun 2012, maka kemungkinan minimal 50-50.
   “Tapi hal tersebut tergantung pada mereka bagaimana meramunya. Kami akan membuat atau meminta penjelasan seperti apa, agar betul-betul insentif ini diterima oleh produser film. Jadi insentif ini diberikan pada produser film, bukan kepada pengusaha bioskop,” tegas Arif.
   Tentang pola pembagian dari Pergub ini, Arif mengandaikan persatu HTM (harga tanda masuk). Misalnya per HTM Rp15.000, maka bayar pajak ke Pemda hanya 2,5% dari 15.000. Yang 75% mereka (bioskop dan produser) berbagi.
   “Inilah upaya Pemda DKI agar produser film dikembalikan uangnya sesuai dengan jumlah pertiketnya. Semakin film bagus, semakin banyak penonton, maka akan semakin tercovery modalnya. Dengan insentif tadi diharapkan akan kembali modal. Ini niat pembinaan perfilman kita terhadap perfilman nasional,” ujarnya lagi.
   Dikatakannya, seluruh produser film baik yang tergabung di dalam asosiasi produser, maupun bukan anggota asosiasi mendapatkan hak yang sama.
    Kebijakan pemda DKI tersebut menurut Arif merupakan tembusan surat yang disampaikan kalangan produser film ke Gubernur DKI Jakarta 2-3 tahun terakhir. “Karena kita pertama, disibukkan dengan perda baru berdasarkan UU 28 2009 yang harus berlaku 1 Januari 2012. Lalu kita harus terbitkan Perda no 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan di situ mengatur tentang tarif-tarif pajak, termasuk pajak tontonan bioskop. Selanjutnya, barulah kita menindaklanjuti surat dari kalangan produser dan stakeholder perfilman tadi," katanya.
   Secara hukum Perda ini memang tidak memberi sanksi apapun. “Kalau nanti ada pelanggaran atau tidak berjalan, ya kita akan cabut. Tapi sanksi secara hukum tidak ada. Artinya begini, kalau saya perhatikan soal film nasional ini berbeda penerapannya. Kalau film nasional ada semacam bagi hasil. Nah, kalau nanti insentif pajaknya tidak sampai kepada produser yang menjadi tujuan dari Pergub tadi, ya kita akan evaluasi. Mungkin kita akan perbaiki mekanismenya. Kalau misalnya, setahun kita beri lagi dan tidak berjalan lagi, kan percuma. Ya sudah tidak dijalankan lagi,” lanjut Arif seraya mengatakan Pergub ini mendapat respons positif dari pihak pengelola bioskop.
Apakah akan diterapkan Pemda lain?
Kemungkinan iya, karena Pemda DKI sebagai barometer, dan pengusaha bioskop hanya dua, dan asosiasi produser hanya satu. Mungkin akan sama nantinya. Tapi karena diskresi ini masing-masing gubernur, maka mengikuti atau tidak, tergantung mereka. (tis)

Rabu, 19 September 2012

Maria Calista ke ajang ABU Song Festival di Korea

Dari atas ki-ka: Maria Calista, Melita, Indah,
Angelina, Jeremia, Putri saat pergelaran malam final
ABU Song Festival 2012 di TVRI, 6 September 2012.
SEBANYAK enam peserta finalis Asia Pacific Broadcasting Union (ABU) Song Festival 2012 dari Indonesia, pada 6 September 2012 menampilkan kemampuannya di hadapan 50 orang juri di Studio Auditorium Stasiun TVRI Pusat, Jakarta.  Ke-6 Finalis tersebut adalah  Angeline Marcelina,  Indah Permatasari Siregar, Jeremia Lumban Tobing,  Maria Calista,  Melita Meliala, dan  Putri Siagian.
Benny Simanjuntak
   Acara yang diselenggarakan bersama antara ABU Song Festival dan Korea Broadcasting System (KBS) tersebut, menunjuk TVRI dan Contoh Management sebagai pelaksana untuk mengirimkan penyanyi dari Indonesia di ajang tersebut.
   “Para finalis adalah mereka yang terpilih dari kegiatan yang kami laksanakan di sejumlah daerah. Artinya, mereka ini adalah perwakilan dari berbagai daerah,” kata    
   Direktur Contoh Management, Benny Simanjuntak SH, sebelum acara pemilihan juara dimulai.
Setelah melalui proses penjurian langsung (vote) yang dilakukan sebanyak 50 orang juri dari berbagai profesi (pengacara, artis, produser, pengusaha dan wartawan) maka terpilih Maria Calista sebagai Juara Pertama dengan mendapatkan lebih dari 30 suara pemilih.
   Atas kemenangannnya tersebut, Maria Calista – pernah mengikuti berbagai ajang sejenis di televisi swasta – berhak melaju ke tingkat Internasional, yang diselenggarakan di Seoul – Korea Selatan pada tanggal 14 Oktober 2012.
   “Saya sangat terharu dan bangga, tidak mengira bisa menang, karena finalis yang lainnya juga bagus-bagus penampilan mereka,” kata Calista, usai acara yang disiarkan langsung TVRI pada pukul 22.00-23.30 WIB tersebut. (kf1)

Rayya, kisah perjalanan cinta sang diva

Titi Sjuman sebagai Rayya 

FILM Rayya digarap bersama antara PT Menara Alisya Multimedia (MAM Productions) dengan PT Lantip Binathoro Panuluh (Pic[k]Lock Films) dirilis 20 September 2012. Film dengan bintang utama Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo ini disutradarai oleh Viva Westi, dengan penulis skenario Emha Ainun Nadjib.
   Bagi MAM Productions yang dimiliki oleh Bayu P Djokosoetono, film ini merupakan project film pertama MAM Productions. Sementara Pic[k]Lock Films adalah sebuah rumah produksi yang digawangi oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh dan Dewi Umaya Rachman dimana karya sebelumnya adalah Minggu Pagi di Victoria Park.
   Bayu P Djokosoetono selaku produser eksekutif yang mendanai produksi film ini menjelaskan bahwa MAM Productions pada dasarnya ingin menampilkan kreasi-kreasi seni yang kaya dan berkualitas untuk publik Indonesia.
Para pemeran pendukung film RAYYA
   “Sinergi dengan Pic[k]Lock Films dalam penggarapan film Rayya ini saya lakukan karena ketika ide tentang film ini ditawarkan pada saya, saya melihat bahwa project film ini bertumpu pada kualitas, baik dari segi produksi, para aktor dan aktrisnya, maupun cerita yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib. Ketika proses pembuatan film ini dijalankan dimana saya mengikuti prosesnya termasuk ketika syuting di Yogya dan Bali, saya melihat langsung dedikasi maupun kualitas para kru dan pemain. Selain segi cerita yang berhasil bertutur dengan ringan namun menyampaikan nilai-nilai yang penting, film ini juga berhasil memperlihatkan keindahan dan kekayaan Indonesia yang luar biasa kepada kita sebagai penonton sehingga kita sebagai penonton seperti diingatkan untuk menjaga Indonesia kita,” imbuh Bayu.
   Rayya adalah seorang artis besar. Multitalented, dia seorang aktris, pemusik, penyanyi, juga bahkan seorang model. Dunia glamor yang diimpikan banyak orang sudah dalam genggaman. Keangkuhan2 yang biasa datang dengan kesuksesan pun direngkuhnya. Tapi, keberhasilan melemahkannya. Ketika suatu sore di coffeshop Rayya di'campakkan', momentum itu adalah kulminasi dari akumulasi kegalauan Rayya, dan menjadi pemicu yang merubah galau Rayya menjadi sebuah rencana untuk menghentikan hidupnya sendiri. Rencana itu mendapat kesempatan baik untuk terlaksana ketika Rayya harus mengerjakan sebuah project pembuatan autobiografinya. Dalam project itu Rayya diharuskan melakukan perjalanan panjang dari Jakarta sampai Bali. Perjalanan untuk mencari lokasi2 yang indah untuk photo shoot Rayya. Tanpa ada yang tahu, Rayya punya agendanya sendiri sepanjang jalannya. Rayya membuang airmatanya, membuang harapannya, membuang segalanya tentang dirinya dengan harapan pada akhirnya tak akan ada yang tersisa. Dan kalau bisa melakukannya di depan kamera. Rencana yang culup ekstrim. Datang Arya. Bukan siapa siapa. Seorang fotografer setengah baya yang juga punya masalahnya sendiri. Masalah yang juga sangat bisa juga diselesaikan dengan cara Rayya. Mereka melakukan perjalanan bersama. Perjalanan yang aslinya hanyalah sesi foto menjadi tidak begitu sederhana dengan tambahan permasalahan para pelakunya. 'Jogetan', 'lompatan', 'permainan', mereka berdua menjadikan perjalanan ini sama sekali berbeda dari yang mereka berdua pernah bayangkan.
    Perjalanan ini berkendaraan jasad, tapi yang melakukan hijrah tidak hanya jasadnya. Pemahaman, pengetahuan, hati mereka ikut serta melakukan perjalanan panjang yang penuh pengalaman untuk menemukan sejatinya kematian. Untuk menemukan cahaya di atas cahaya. (tis)

EDISI 37 Tabloid KABAR FILM : September 2012

TABLOID KABAR FILM edisi ke-37
beredar 17 September 2012...
Tersedia di agen-agen koran dan majalah Jaringan Hermes Media, Toko Buku Gunung Agung Se-Jabodetabek, Bandung dan Surabaya.

PADA edisi ini kami turunkan artikel utama tentang dunia akting dan film dokumenter. Fenomena dunia seni peran saat ini, kalangan aktor dan aktris tidak lagi memiliki 'daya tahan' dibandingkan masa-masa tahun 70-an yang melahirkan aktor dan aktris legendaris seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan sejumlah bintang lainnya. Apakah para bintang itu layak disebut aktor, atau aktor itu layak mendapat predikat bintang? Mengapa sejak 2004, kehadiran aktor dan aktris film Indonesia selalu berganti, tidak satupun yang mampu bertahan lama? Ikuti artikel FILM KITA KEHABISAN BINTANG
   Kami juga hadirkan soal dinamika film dokumenter di Indonesia dimana sejumlah narasumber aktivis film dokumenter kami wawancarai dalam artikel FILM DOKUMENTER MAU KEMANA?
   Beberapa kegiatan perfilman nasional kami sajikan seperti film-film terbaru PREVIEW, album gala premiere ON THE SPOT, dan persiapan beberapa rumah produksi menggarap film dan program televisi. Secara khusus kami wawancara Ram Soraya produser PT Soraya Intercine Film dalam rubdik DIA. Nikmati sajian kami lainnya yang selalu berpihak pada perfilman nasional.

EDITORIAL
FFI milik siapa?
DIAM-DIAM Festival Film Indonesia (FFI) akan digelar lagi. Aromanya sudah terendus sejak dua bulan silam. Sebagai agenda rutin pemerintah, ajang pemberian penghargaan kepada insan perfilman ini, sepertinya tidak lebih baik dari sebelumnya.  Indikasinya adalah tidak terlibatnya satupun generasi muda perfilman, yang sempat mengolah FFI sejak 2009-2011. Perang dingin rupanya belum selesai.
   Sudah bukan rahasia, terjadi situasi tidak nyaman dalam manajemen FFI beberapa tahun terakhir.
Patut dicermati, pelaksanaan FFI yang dimulai lagi tahun 2004, setelah vakum sejak 1991, ajang bergengsi ini berubah secara signifikan, seperti yang dijadikan kredo tagline dalam setiap ajang ini digelar.
   Perubahan FFI jelas wujudnya; dulu FFI sangat ditunggu-tunggu kehadirannya, sekarang tidak terlalu dipedulikan. Mau diadakan syukur, tidak ada juga tidak masalah. Toh, selama ini FFI tidak mampu mengubah persepsi  sebagai  event  ‘Yang Terbaik’, jika dibandingkan dengan kegiatan penghargaan sejenis, yang diadakan sebuah stasiun televisi swasta.    
   Kita melihat kecenderungan semangat pelaksanaan FFI mengalami penurunan dan rapuh. Sejatinya, FFI adalah hajat masyarakat film, termasuk di dalamnya adalah para penonton film agar menjadi pembelajaran bersama. Tidak perlulah dijelaskan di forum ini, karena penjabaran tentang manfaat dan tata cara pelaksanaan FFI jelas tertulis di UU Perfilman dan Buku Pedoman FFI.
   “FFI bisa diibaratkan besi panas, siapapun yang memegangnya akan terbakar” begitu amsal Adisoerya Abdi, saat menjadi Ketua Pelaksana FFI 2004. Dan bara panas itu kini beralih ke tangan kelompok yang bukan orang baru, yakni para senior. Sudah pasti mereka jagoan di perfilman yang mampu menahan bara panas tadi.
   Mungkin saja kelompok anak muda mundur, karena mereka khawatir bentrok kepentingan dengan para senior.  Padahal, penyelamatan FFI bisa dilakukan bersama-sama antargenerasi.  Masalah FFI hanyalah sebagian kecil dari gudang masalah perfilman yang kronis seperti penerbitan PP UU Perfilman, termasuk rencana pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang konon bakal diresmikan tahun ini juga.
   Mengingat tidak solidnya para elit perfilman, maka kegiatan FFI yang biayanya diambil dari kas Negara ini menjadi kegiatan ‘asal ada’, sekadar untuk menghabiskan anggaran. FFI yang kelahirannya dilandasi semangat  bersatu masyarakat perfilman termasuk didukung organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Kebudayaan ketika itu, kini menjadi ‘bulan-bulanan’ para pencari proyek. **   

Senin, 17 September 2012

Wisata: Indikator Keberhasilan Pariwisata Perlu Ditambah

Myra P Gunawan 
SEKTOR pariwisata di Indonesia selama ini hanya berkaca dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara serta jumlah perjalanan wisatawan nusantara. Nyatanya, indikatornya bukan hanya itu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh pakar perencanaan pariwisata Myra P Gunawan.
   “Orientasi kita selama ini hanya pertumbuhan ekonomi, padahal ini hanya kendaraan dan bukan tujuan,” jelas Myra saat konperensi pers Konferensi Pembangunan Kepariwisataan Berkelanjutan, di Bali, Kamis (13/9/2012).
   Maka dari itu, lanjutnya, indikator keberhasilan pariwisata ini perlu ditambah. Bukan hanya sekadar jumlah kedatangan wisman dan jumlah perjalanan wisdom. Menurutnya, pariwisata bukanlah tujuan, karena tujuan mengembangkan pariwisata sendiri adalah untuk menyejahterakan masyarakat.
   Pariwisata berkelanjutan, menurutnya bukan sekadar hanya berdimensi ekonomi, melainkan juga sosial budaya. “Mencari keuntungan tentu boleh tetapi ada rambu-rambu yang harus diikuti,” tandasnya.
   Myra memberi contoh ketimpangan pembangunan pariwisata yang terjadi di Bali. Banyak resor mewah namun kondisi masyarakat yang tinggal di sekitarnya masih kurang sejahtera. Sebaiknya, lanjut Myra, pembangunan infrastruktur bukan hanya dinikmati oleh wisatawan, tetapi juga oleh warga setempat.
   Perihal ketimpangan tersebut diaminkan oleh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar. Menurutnya agar pariwisata berkelanjutan bisa berjalan hal yang harus diperhatikan adalah pemerataan sektor pembangunan destinasi pariwisata ke daerah-daerah lainnya.
   “Misalnya, pembangunan industri pariwisata di Bali. Saat ini sarana pendukung pariwisata Bali dan obyek wisatanya bertumpuk di kawasan selatan,” tegas Sapta dalam kesempatan yang sama.
   Dia menyebutkan bahwa Bali selatan sekarang ini sudah terlalu padat. Bahkan, jumah hotel berbintangnya sudah mencapai seratus buah. Akibatnya, kemacetan kerap terjadi di kawasan ini. Di masa mendatang, dia memandang perlu adanya pemerataan. Salah satu solusinya adalah perlu adanya insentif bagi pembangunan di daerah lain, di luar Bali selatan, agar pariwisata lebih menyebar lagi.
   Sebagai manifestasi pariwisata yang berkelanjutan ini, Sapta menyatakan pemerintah sudah menyiapkan cetak biru pariwisata nasional. “Rencana strategisnya sudah ada. Di negara lain seperti Perancis, masing-masing daerah punya ikon pariwisata. Itu berkembang karena ada insentif," ujarnya.
   Konferensi Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dihadiri oleh pemangku kepentingan dari instansi pemerintah pusat dan daerah, asosiasi dan industri pariwisata, pengelola destinasi wisata, akademisi, serta LSM. Hadir pula sejumlah pakar pariwisata yang merupakan perwakilan organisasi internasional World Tourism Organization (UNWTO) dan ILO, praktisi dan LSM pariwisata, hadir sebagai pembicara dalam konferensi yang berlangsung di Bali pada 13-14 September 2012 tersebut. (bob)

Wisata: Desa Pemuteran Bali, Menjual Ketenangan

APA yang ada di benak orang saat ditanya nama tempat wisata pantai di Bali? Lagi-lagi mereka akan selalu menyebut Sanur, Kuta atau Nusa Dua. Padahal tempat wisata di pulau dewata bukan hanya berada di kawasan selatan pulau ini. Salah satu yang bisa menjadi alternatif bagi wisatawan adalah di desa Pemuteran. Dimanakah itu?
Pantai Desa Pemuteran
 Desa Pemuteran tepatnya berada di sebelah barat pulau ini, persisnya ada di kecamatan Gerokgak, kabupaten Buleleng. Lokasinya ada di perlintasan rute antara Gilimanuk-Singaraja. Dari kota Denpasar, tempat ini bisa ditempuh ke arah barat pulau dalam empat jam. Dari pulau Jawa, sudah dekat setelah menyeberang dari Banyuwangi.
 Di sini pantainya indah membiru, dengan ombak yang terbilang jarang, lantaran bukan berada di lingkar Samudera Hindia. Terumbu karangnya yang dangkal terpelihara dan dikonservasi dengan baik. Rupanya masyarakat setempat memiliki kesadaran tinggi akan kekayaan alam desa mereka. Pantainya cocok untuk wisata snorkeling yang tak jauh dari bibir pantai.
 Pantai ini juga jauh dari hiruk-pikuk pedagang asongan. Atmosfernya masih macam di pedesaan yang damai. Tak ada bar, restoran atau diskotek, sungguh cocok bagi mereka yang ingin merasakan suasana spiritual. Mau bermeditasi misalnya, cukup tinggal di dalam cottagenya. Sunyi, namun tetap saja menyenangkan.  
Pemuteran Cottage
 “Dulu tempat ini tidak seperti sekarang,” demikian ungkap I Gusti Agung Prana, Ketua Yayasan Karang Lestari yang sekaligus pemilik resor Taman Sari. Dia mengaku saat tahun 1980-an datang ke desa Pemuteran tempatnya masih tandus. Terumbu karang rusak. Kondisi masyarakatnya pun masih terbilang minus.
 “Padahal saya melihat ada tiga teluk dan sebelas gunung di sekitar kawasan ini,” kenang Prana lagi. Ditambah lagi masyarakatnya dengan budaya yang unik, dia melihat potensi pariwisata desa yang amat menjanjikan di masa mendatang. 
 Pelan-pelan, mulailah Prana memberikan pemahaman yang kini dikenal sebagai pariwisata berkelanjutan kepada penduduk setempat. Dia memberikan motivasi bagaimana membuat lingkungan setempat agar selalu terjaga dengan baik. Prana menanamkan konsep bahwa pariwisata tak melulu sebagai bisnis semata. Menurutnya, lingkungan harus tetap dijaga sebagai modal hidup mereka. 
 Awal 1990-an, ide yang ditawarkan Prana mulai berbuah. Kawasan Pemuteran mulai hijau. Terumbu karang yang tumbuh secara alami, tak pelak menarik perhatian wisatawan untuk datang ke Pemuteran. Mereka datang dengan berbagai minat khusus, umumnya wisata bahari macam diving atau snorkeling. Namun ada juga yang sekadar wisata spiritual.  
 Sejak tahun 2000, Prana juga menggagas proyek rehabilitasi terumbu karang bersama warga setempat. Mereka membentuk Kelompok Karang Lestari. Kelompok ini melakukan rehabilitasi terumbu karang dengan teknik yang terbilang baru. Caranya adalah dengan mengalirkan listrik bertegangan rendah pada kerangka rumpon (bronjong) di bawah dasar laut. Selain itu, yayasan ini juga mengupayakan penangkaran penyu. 
  Demikianlah model Prana berbisnis. Dimulai dengan memberdayakan penduduk setempat, hingga tingkat kesejahteraannya bisa meningkat. Lantas, dia dengan caranya yang unik juga tetap menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya dengan berbagai cara agar pariwisata tetap berkelanjutan.
 Dalam Konferensi Pariwisata Berkelanjutan, di Holiday Inn Hotel, Kuta, Bali medio September lalu, Prana bersama Yayasan Karang Lestarinya menerima penghargaan dari pemerintah atas upaya pelestarian terumbu karang dan penangkaran penyu. (bob)