Senin, 07 November 2011

Kearifan lokal film 'Sang Penari'


TAHUN 1983 novel karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk difilmkan lewat judul Darah dan Mahkota Ronggeng oleh sutradara Yazman Yazid. Dari novel yang sama di tahun 2011 ini, Ifa Isfansyah membangun cerita lewat judul Sang Penari. Di film sebelumnya, Enie Beatrice memerankan tokoh utama Srintil sebagai ronggeng (penari), kini artis Prisia Nasution memerankan karakter yang sama. Sang Penari hadir membawa pesan baru bagi perfilman nasional karena padat gizi dengan ramuan drama percintaan haru-biru, sedikit gejolak politik, dan terutama karakter bahasa daerah Banyumas, Jawa Tengah yang 'ngapak-ngapak'..
   Selama hampir empat tahun, film yang menghabiskan biaya Rp 10 Miliar ini 'diruwat' oleh trio penulis Shanty Harmayn, Salman Aristo, dan Ifa Isfansyah.  Namun setelah semuanya beres siap putar, sekitar 100 meter gulungan pita seluloid film harus digunting-sambung oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Konon, di area '100 meter' itu terdapat adegan vulgar.
   Film diawali sekilas suasana ketika kaum perempuan desa yang dikurung di ruang gelap-pengap. Kemudian gambar berganti dengan, hadirnya Rasus seorang berpakaian tentara -- belakangan diketahui Rasus adalah pemuda desa Dukuh Paruk -- ke kampung halamannya. Terlihat jelas bekas tapak sepatu tentara di tanah. Hanya ada satu warga yang  tersisa yang bertutur pada Rasus mengenai peristiwa 'penjemputan paksa'  seluruh warga desa oleh aparat, yang membuat seniman penabuh gendang itu terguncang...
  Peristiwa berlatar konflik politik dengan masuknya sebuah partai terlarang di tahun 1960-an itu mengisahkan hubungan cinta antara penari ronggeng bernama Srintil (Prisia Nasution) dan Rasus (Oka Antara). Keduanya terikat emosional sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. 
   Dinamika cinta Srintil dan Rasus terjadi pada pertengahan 1960-an. Mereka masih anak-anak tinggal di Desa Dukuh Paruk, Banyumas yang tenang meski kesulitan pangan. Makanan utama adalah gaplek dengan lauk tempe bongkrek. Pada masa itu seorang ronggeng senior 'Nyai Manten' diperankan Happy Salma meregang nyawa bersama belasan warga, termasuk ayah Srintil -- pembuat tempe bongkrek.
  Warga Dukuh Paruk sangat memercayai bahwa menjadi penari ronggeng adalah titisan magis. Dia sangat dipuja sekaligus memiliki tugas berat. Menjadi seorang ronggeng tidak hanya menari di pentas-pentas tari, tetapi juga menjadi milik semua warga Dukuh Paruk. Siapa saja boleh minta dilayani, asalkan memberikan imbalan. 
   Hal itu yang tidak disadari oleh Srintil yang diam-diam terpesona oleh kecantikan dan popularitas Nyi Manten sang ronggeng. Srintil sejak kecil, hanya ingin menari di depan banyak orang seperti Nyi Manten. Namun, cita-cita itulah yang memisahkan dirinya dari kenyataan. 
   Rasus, pria yang sangat dicintainya tidak tega menyaksikan kekasihnya itu menjadi alat pelepas syahwat para lelaki sejak ritual 'buka kelambu' yang diprakarsai dukun ronggeng, diperankan sangat baik olek Slamet Rahardjo dan Dewi Irawan. sebagai prosesi seorang yang ingin menjadi ronggeng. Prosesi ini mewajibkan Srintil melepas kegadisannya pada setiap lelaki yang membayarnya mahal. 
  Dalam pelarian menahan sakit hatinya, Rasus tak disengaja bertemu dengan tentara yang sedang berpatroli. Ia kemudian diminta bergabung dengan korps tentara. Ia digembleng dari pemuda desa ndeso yang tak berdaya, menjadi lebih berkarakter tegas. Namun ia masih terus membayangkan Srintil kekasihnya.
  Sebelum kedatangan Bakar -- diperankan Lukman Sardi -- warga Dukuh Paruh sangat bersahaja. Namun Bakar kerap datang menyelesaikan masalah warga desa yang tak tahu akan dimanfaatkan untuk tujuan politiknya. Ketika politik di tahun 1965 bergolak, seluruh warga desa yang telah loyal terhadap Bakar, dianggap menjadi bagian dari anggota 'partai tertentu' yang dianggap membahayakan pemerintah kota. Srintil adalah salah satu yang juga diciduk aparat. Tak urung, Rasus berusaha menemukan kekasihnya itu hingga akhirnya mereka dipertemukan dalam suasana yang kaku; antara aparat dan rakyat.


Partai terlarang abu-abu
Sebagai film berlatar sejarah kelam politik, tampaknya Sang Penari memerlukan ilustrasi yang lebih berbicara. Dalam berbagai scene yang muncul dalam film ini, partai politik yang disebut-sebut 'bermasalah' tak diungkap terbuka. Sutradara bermain-main dengan warna merah untuk mewakili lambang partai yang dalam sejarah selama ini dikenal sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketidak-terbukaan penggarambaran lambang atau penyebutan nama partai ini tidak jelas maksudnya. Mungkin sutradara merasa lebih aman untuk tidak menyebutkannya atau membuatnya abu-abu. Namun, film yang juga mengangkat sejarah ini justru 'menutupi' cerita sesungguhnya. Penonton tidak mendapatkan data akurat tentang kejadian ketika itu.
   Hal yang cukup nyeleneh dalam film ini adalah pada property pakaian tentara, yang terlihat masih hijau pekat alias baru. Belum lagi kumis tentara yang diperankan Tio Pakusadewo terlihat sangat artifisial seperti ijuk, kurang luwes. 
   Beruntung suasana dapat terbangun oleh ilustrasi musik yang terus 'menempel' dalam scene-scene penting. Musik racikan Aksan Sjuman dan Titi Sjuman terasa mewakili gambar-gambar rekaman Yadi Sugandi selaku kameraman sejak awal hingga akhir.  Salah satu kekuatan lain film berterjemahan bahasa Indonesia ini adalah pada dialog yang hampir 100 persen menggunakan bahasa khas Banyumas yang 'ngapak-ngapak'. Terkesan unik, terkadang lucu namun ironis. Film ini akan sangat membanggakan masyarakat Banyumas. **


Teguh Imam Suryadi, Ketua Forum Penonton FIlm


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar