Rabu, 19 Oktober 2011

REZIM BARU PENGUASA FESTIVAL FILM INDONESIA

OLEH HERMAN WIJAYA, Pemerhati Film 
SETELAH hampir satu tahun tidak menginjakan kaki di  Gedung Film, akhirnya saya sampai juga ke bangunan di Jl. Haryono MT Kav.47 itu. Tidak banyak  yang berubah. Yang agak mencolok barangkali standing banner Festival Film Indonesia 2011 berwarna putih – kuning di depan lift. Standing banner itu mungkin satu-satunya pertanda bahwa FFI 2011 akan berlangsung, meski sekretariat FFI yang terletak di bagian terde-pan Gedung Film, nampak sunyi sepi. Pintunya rapat terkunci.
 Kalau melihat siapa yang menjadi Ketua FFI tahun ini, mestinya Sekretariat FFI tidak boleh sepi. Tahun ini Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) telah melakukan reformasi dalam membentuk struktur kepanitiaan FFI, dengan “meminta” M Abduh Azis sebagai Ketua.
  Abduh adalah tokoh kunci di paguyuban Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang telah lama memboikot FFI. Di permukaan, penunjukkan Abduh menyiratkan telah terjadi rekonsiliasi antara pemerintah (Kemenbudpar) dengan MFI. Jika itu terjadi, dipastikan FFI akan berjalan lancar, ramai, dan lebih ber-kualitas. Bagaimana pun mereka yang bernaung di MFI adalah insan film yang telah menorehkan catatan penting dalam dunia perfilman Indonesia, di tahun 2000an.
  Merekalah yang membuat film Indonesia bangkit dari kehancuran –  bukan Kemenbudpar! MFI bekerja – Kemenbudpar mengklaim keberhasilan.
  Ramadhan lalu saya bertemu Abduh di kafe yang dikelola isterinya di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Sambil menyantap kolak saya mendengar cerita Abduh, tentang per-jalanannya menuju kursi Ketua FFI. Dia mengaku diminta oleh Menbudpar, dan dia bertekad membawa gagasan baru dalam penyelenggaraan FFI, walau banyak pula rekannya di MFI yang tidak setuju. Ia juga diminta petinggi Kemenbudpar untuk sowan ke seseorang yang disebutnya oyabun; seseorang yang sangat berpengalaman dalam kepanitiaan FFI.
  “Pesan yang mencuat setelah terjadi kisruh FFI 2010 sudah sangat jelas, yaitu penyelenggaraan FFI harus diperbaiki, dan perbaikan itu butuh proses dan kerendahhatian berbagai pihak untuk ikut berkontribusi di dalam proses tersebut,” kata Abduh usai ditunjuk sebagai Ketua.
 Sejak bertemu di kafe Cikini, saya tidak pernah lagi berkomunika-si dengan Abduh. Maka ketika datang ke Gedung Film belum lama ini, yang saya tanyakan kepada orang-orang di sana adalah bagai-mana kabarnya Abduh – sebagai Ketua FFI tentunya.
  Informasi yang saya terima mengejutkan, ada rumor Abduh tidak sanggup melanjutkan tugasnya sebagai Ketua FFI, jika tidak mendapat dukungan memadai, terutama dalam penyediaan dana untuk menggerakan kepanitiaan FFI. Selama ini, kabarnya kucuran dana agak seret, sehingga panitia tidak bisa leluasa bergerak.
  Masalah dana merupakan persoalan klasik dalam penyelenggaraan FFI. Sesuai ketentuan, penyeleng-garaan FFI ditangani oleh swasta melalui lelang proyek. Tetapi pemenang proyek hanya eksis di atas kertas, teknis penyelenggaraan ditangani oleh panitia yang dikontrol oleh Kemenbudpar (dulu Badan Pertimbangan Perfilman Nasional – BP2N juga pernah menjadi tuan besar Panitia FFI).
  Celakanya, pemenang proyek – yang kadang identitasnya sulit di-ketahui — bukan hanya tidak paham teknis penyelenggaraan, tetapi juga kadang hanya modal dengkul. Begitu ada persoalan keuangan, pemena-ng proyek tidak berani tampil ke depan. Panitia FFI dibiarkan berikhtiar sendiri. Nah kalau panitianya ha-nya modal idealisme, tidak punya koneksi dengan pengu-saha, tentu bakal blingsatan. Inilah, konon, yang tengah dialami oleh rezim Abduh Azis.
  Dalam penyelenggaraan FFI se-belumnya peran pengusaha dalam kepanitiaan sangat membantu. Perwakilan dari Grup 21 misalnya pernah duduk sebagai bendahara. Maka ketika ada persoalan keua-ngan, de-ngan merogoh kocek kirinya saja persoalan selesai. Tapi hubungan Grup 21 dengan Direktorat Film be-lakangan kabarnya membu-ruk, sehingga tidak lagi terlibat dalam kepanitiaan. Bisa jadi kocek-koceknya sudah digembok.
  Untuk menjadi nakhoda FFI memang tidak bisa hanya bermodalkan semangat dan idealisme. Kemampuan untuk melobi sangat dibutuhkan, terutama terhadap pihak-pihak yang bisa membantu kelancaran tugas. Dan lobi itu kadang harus mengorbankan idealisme.
  Kalau datang dengan idealisme, semangat berkobar-kobar untuk melakukan perubahan sambil membu-sungkan dada, bisa frustrasi. Nanti buntutnya mengundurkan diri. Bagaimana pun – sejak dulu – pengendali FFI adalah pemerintah, bukan orang film. Lha wong yang punya duit pemerintah. Kalau tidak bisa mengikuti maunya yang punya duit, bisa ribet!
  Ibaratnya, FFI adalah sebuah pemerintahan dibawah Perdana Menteri dalam sebuah negara monarki. PM boleh berganti, raja tetap berkuasa!**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar