Jumat, 25 November 2011

Menggalang Solidaritas ASEAN via Gambar Hidup

(Catatan Bobby Batara dari Kuta, Bali)
HARI Selasa, 15 November 2011. Penerbangan siang hari dengan maskapai Lion Air membawa rombongan 12 orang jurnalis ke pulau dewata. Di sana konon akan berlangsung perhelatan gambar hidup negara-negara di kawasan Asia Tenggara, ASEAN Film Festival. Sebuah hajat perdana yang akan digelar antara 16-17 November 2011.
   Festival ini sendiri memang nyaris tak terdengar. Info yang saya dapat hanya isyarat bahwa nama saya masuk daftar wartawan yang diundang ke ajang ini sejak bulan Oktober silam. Tahu-tahu, menjelang KTT ASEAN festival ini muncul. Entah ada hubungannya dengan event politik yang dihadiri para kepala negara itu, entahlah. Yang jelas, ajang ini mengusung tema “ASEAN: The Global Film Connection.”
   Kawasan ASEAN memang patut diperhitungkan di peta sinema mancanegara, terutama beberapa tahun belakangan. Sebut saja Apichatpong Weerasethakul. Lewat film Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives dia meraih Palem Emas di ajang kompetisi Festival Film Cannes tahun 2010. Selain Apichatpong, masih banyak nama sineas asal Asia Tenggara yang lumayan bicara di ajang festival bergengsi macam Lav Diaz atau Brillante Mendoza misalnya.

Problem Senada
Gelaran hari pertama ditandai dengan konperensi pers menjelang makan siang. Bertempat di restoran Planet Hollywood, Kuta hanya beberapa blok dari hotel tempat kami menginap. Di sana duduk beberapa narasumber dari negara yang filmnya diputar di ajang ini. Mereka antara lain adalah Anousone Sirisckda ( sutaradara Only Love- Laos), Vongchith Phommachack ( Deputi Departemen Perfilman Laos ), Reath Narith ( sutradara Kiles- Kamboja ), Mee Pwar ( sutradara Zaw-Ka nay Thi- Myanmar ), Chito S. Rono ( sutradara film musikal Emir- Filipina, Jose Miguel De La Rosa ( Direktur Eksekutif Badan Pengembangan Film Filipina), Dang Nhat Minh ( sutradara Don't Burn-Vietnam), serta Vu Thi Hong Nga (konsultan Hubungan Internasional Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata).
   Dimoderatori oleh  Lalu Roisamri, dedengkot JIFFest acara ini mengungkapkan banyak fakta menarik.Di beberapa negara jiran bahkan kondisinya mirip dengan Indonesia, terutama masalah distribusi film. Dominasi film impor membuat film lokal nyaris tak berkutik. Seperti apa sih persisnya?
   Di Vietnam misalnya. Pemerintah setempat, ungkap Dang Nhat Minh mendukung perfilman nasional. "Kita memiliki 600 layar dari sekitar 200 bioskop yang ada di seluruh.  80 % diantaranya didominasi oleh film Hollywood, " tuturnya.
   Fenomena serupa juga menimpa Filipina. “Sekitar 90% film di bioskop-bioskop Filipina dikuasai oleh film-film asing, terutama produksi Hollywood," keluh Miguel De La Rosa. Namun dia masih bisa bernapas lega karena pemerintah memberikan kebebasan penuh kepada sineas untuk berekspresi.
   Sebagai solusinya banyak sineas yang bergerak di bawah tanah dan menjalankan konsep indie dalam berkarya. “Hasilnya, tentu akan lebih memudahkan dalam produksi dan distribusi,” seloroh Chito S Rono.
   Esok harinya, 17 November, digelar serangkaian seminar. Salah satu pembicara utama yang patut disimak adalah Donna Smith, mantan Vice President Universal Studios. Orang di balik munculnya film macam The Matrix, Raging Bull, The Schindler’s List hingga Crouching Tiger Hidden Dragon ini mengungkapkan tips kecil dalam membuat film. “Membuat film adalah  perkara membuat hiburan,” begitu kredonya kepada hadirin yang hadir. Berikutnya, tema-tema yang diusung seputar pembiayaan serta lokasi film di kawasan Asia Tenggara.
   Selain seminar, juga digelar pemutaran film yang berlangsung di bioskop Galeria 21. Film tersebut merupakan pilihan dari negaranya. Masing-masing adalah  Zaw Ka Ka Nay Thi (Myanmar), Only Love (Laos), Di Bawah Lindungan Kabah (Indonesia), Emir (Filipina), Don’t Burn (Vietnam), Memoir Seorang Datuk (Brunei), Kiles (Kamboja), Tatsumi (Singapura), Eternity (Thailand) dan Bunohan (Malaysia).
   Saking padatnya jadwal, para jurnalis hanya sempat nonton satu judul film, yakni Only Love, sebuah kisah khas negara agraris. Ceritanya seorang sarjana pulang kampung mengamalkan ilmunya. Ternyata usahanya tersebut mendapatkan saingan dari usahawan lokal, supplier alat pertanian. Selebihnya tak mungkin disimak. Kami sudah kadung check out dari hotel. Padahal beberapa wartawan sudah kebelet mau nonton film Malaysia yang katanya siap diputar di 50 negara.  
   Bagaimana nasib festival ini di masa mendatang? Saat dicegat usai nonton di bioskop Galeria 21, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu menyebut bahwa ajang ini seharusnya digelar tahunan. “Harusnya sih annually ya…” Selanjutnya dia berharap kelak akan  muncul kerjasama lebih jauh sesama negara anggota ASEAN. “Mungkin nanti akan dipikirkan ide-ide untuk distribusi film bersama…” tambah Mari lagi.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar