Selasa, 13 Maret 2012

Tiga isu menjelang Hari Film Nasional 2012

PERSIAPAN pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) sebagai amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, sudah mencapai 30 persen dan badan ini segera terbentuk pada 2012.
   Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ukus Kuswara, di Jakarta, Selasa (13/3), mengatakan badan perfilman ini akan berfungsi sebagai penyelenggara festival film di dalam maupun di luar negeri, sehingga pengembangan film nasional menjadi lebih terfokus dan berkembang lebih baik.
   "Selama ini, penyelenggaraan festival film Indonesia diselenggarakan oleh panitia yang begitu acara selesai dibubarkan, berikutnya bentuk lagi, lalu dibubarkan lagi. Ke depan badan ini secara sinambung dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan," katanya, setelah rapat persiapan Hari Film Nasional 30 Maret 2012.
   Tugas lainnya adalah "one stop service" untuk mempromosikan Indonesia sebagai tempat syuting film bagi film-film asing dengan perizinan dan lain-lain diurus oleh lembaga ini, seperti film "Eat, Pray, Love" yang dibintangi artis dunia Julia Robert yang syuting di Ubud, Gianyar, Bali.
   "Tugas lainnya adalah meningkatkan mutu film dengan mengawal film-film nasional bermutu maju ke ajang internasional," kata Ukus.
Ia mengharapkan dengan badan ini film Indonesia bisa berkembang pesat seperti halnya film-film Korea Selatan yang bisa sukses mengglobal karena adanya badan sejenis. 
   "BPI merupakan badan yang mandiri dan terdiri dari orang-orang film seperti sutradara dan lain-lain yang memang mengerti benar bagaimana mengembangkan film nasional, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi," katanya.
   Ia berharap badan ini bisa berperan besar mening-katkan perfilman Indonesia, sedangkan badan yang lama yakni Badan Pertimbangan Film Nasional yang kurang berfungsi akan dibubarkan.
   Ia juga mengatakan bahwa Lembaga Sensor Film (LSF) ke depannya akan diganti dengan lembaga lain yang tidak akan melakukan pemotongan gambar film tapi hanya menilai dan mengkualifikasikan apakah suatu film patut dimasukkan kriteria "segala umur" atau "dewasa, 21 tahun ke atas".

   Wartawan adalah stakeholder perfilman  
   Pada kesempatan tersebut, Ukus Kuswara mengatakan dalam rangka Hari Film Nasional, pihaknya juga mengharap seluruh stakeholder perfilman, termasuk wartawan di dalamnya untuk bersama-sama memberikan gagasan dan pemikiran untuk langkah perbaikan perfilman nasional ke depan.
   “Jika tahun-tahun sebelumnya, wartawan tidak kita libatkan dalam urun-rembug, kali ini saya mengajak wartawan memberikan masukan-masukan di bidang perfilman,” kata Ukus, yang didampini sejumlah ketua organisasi perfilman seperti Reza Pahlawan (Sekjen PARFI), Berthy Ibrahim Lindia (Kepala Sinematek dan Ketua KFT), Teguh Imam Suryadi (Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Kebudayaan), Hardo Sukoyo (Ketua Perusa-haan Film Keliling), serta perwakilan dari Asiri, PARSI, dan Dewan Kesenian Jakarta.
   Beberapa masukan dari wartawan, antara lain agar Hari Film Nasional tidak dijadikan sekadar ‘proyek’, tapi dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Salah satu cara, memberi kesempatan penonton untuk ‘bicara’ dan orang film ‘mendengar’ dalam forum diskusi dan sejenisnya. 
   Tentang kemajemukan orang film, dikritisi pula oleh wartawan yang menilai kalangan perfilman sejak beberapa tahun mempunyai tabiat yang sulit menyatu. Sikap itu terlihat, misalnya bagaimana keberpihakan kelompok sineas tertentu terhadap film, dengan menyanjung karya-karya film kelompoknya, dan mengabaikan produk kelompok lainnya yang sebenarnya tidak kalah baiknya.(kf2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar