Kamis, 26 Januari 2012

Karut-marut birokrasi perfilman Indonesia


Oleh: Bobby Batara
MEMASUKI tahun 2012 perfilman Indonesia masih saja dilanda karut-marut. Salah satu penyebabnya tak lepas dari persoalan eksebisi. Bayangkan saja, tidak satupun yang bisa memastikan berapa lama satu judul film nasional boleh bertengger di layar bioskop. Film dengan performa buruk, dalam arti jumlah penonton tidak memuaskan secara kuantitas, siap diturunkan kapan saja. Dan kemudian digantikan judul lain yang sudah mengantre di belakangnya. Situasi demikian terus berlangsung dari tahun ke tahun.
   Bagaimana kiat mengatasi masalah ini? Kalau boleh disebutkan sa-lah satunya adalah dengan menambah jaringan bioskop. Ini menjadi solusi lantaran terlalu banyak barang dagangan (film lokal maupun impor), sementara kiosnya dirasa kurang (bioskop). Semakin banyak bioskop maka nafas film nasional di pasar menjadi bertambah panjang. Tawaran tersebut datang dari negeri ginseng Korea pada akhir tahun 2011. Tepatnya dari jaringan Lotte-Mart yang di sini lebih dikenal sebagai pusat perbelanjaan.
   Respon yang datang pun bermacam-macam. Pada jumpa pers ak-hir tahun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (nama baru Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata), bulan Desember silam, tak ada jawaban konkret yang keluar dari pejabat yang mengurusi film. Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Ukus Kuswara misalnya, tidak secara tegas menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan.
   Tetapi, berbeda halnya dengan reaksi wakil rakyat di parlemen. “Saya menolak dengan tegas kehadiran pemodal asing untuk membangun jaringan bioskop di Indonesia,” demikian ucap anggota DPR dari Komisi X, Dedy Suwandi Gumelar kepada tabloid Bintang Film, edisi Januari 2012.
   Dedy yang lebih dikenal dengan nama Miing menyebutkan penyebabnya. “Dari 600 layar yang didominasi satu kelompok perusahaan, yang juga importir film, film Indonesia sungsang sumbel. Itu punya orang Indonesia, bukan asing,” selorohnya. Dia khawatir jika besok Lotte yang dimiliki Korea masuk ke Indonesia, “Enggak tahu bagaimana nasib film Indonesia ke depan-...”
   Penolakan Miing ini memang terasa aneh. Penolakan modal asing yang berlatar belakang ancaman terhadap eksistensi film Indonesia di bioskop tentu saja tidak masuk akal. Seharusnya dia membaca UU Perfilman No 33 tahun 2009 terlebih dahulu sebelum melontarkan pendapatnya. Pada pasal 32 disebutkan “Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana disebut dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjuk-kan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.”
   Pasal yang dimaksud jelas merupakan upaya untuk melindungi film nasional. Angka 60% menjadi sumbangsih besar dari pihak bioskop terhadap film karya anak bangsa. Tak perduli darimana pemodal itu berasal. Penjabarannya tentu saja ada pada bagian penjelasan dari undang-undang tersebut. Salah satunya adalah tidak memperbolehkan pertunjukan film yang tidak bermutu. Sedangkan siasanya, ini menyangkut hitung-hitungan persentasi jumlah jam pertunjukannya.
   Sebenarnya, posisi Miing sendiri tidak sepenuhnya keliru. Bisa jadi, dia sudah mengetahui bahwa masih belum ada petunjuk turunan dari regulasi tersebut, sebut saja Peraturan Menteri sebagai penjabaran kebijakan yang diperlukan. Sejak RUU-nya diketok palu pada bulan September 2009, ternyata petunjuk pelaksanaan alias juklaknya masih belum dibuat pemerintah. Wajar kiranya jika pelawak Bagito Grup ini mengambil sikap yang ultranasionalis.
   Pokok masalahnya, ternyata pernyataan Miing ini bermuara dari hulu yang sama. Selama ini ketiadaan aturan main sebagai payung dari insan film sungguh merepotkan, ibarat rimba tak bertuan. Ini baru perkara menyangkut calon pendatang baru di bidang eksebisi. Besok bagaimana pula yang akan terjadi dengan sektor lainnya, produksi dan distribusi misalnya.
   Bola kini sepenuhnya berada di pihak kementerian terkait. Aturan turunan dari 90 pasal dalam undang-undang perfilman yang baru penting untuk segera dibuat. Ini agenda yang amat mendesak untuk dituntaskan, sehingga para pemangku kepentingan film tak lagi berjalan di dalam gelap seperti sekarang.  Tunggu apa lagi sih?

)* Penulis adalah wartawan Tabloid Kabar Film dan Pengurus Forum Penonton Film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar