Kamis, 26 Januari 2012

Wulan Guritno: Film 'passion' saya...

Wulan Guritno (foto: dudut sp)
MENJADI produser film merupakan tantangan dalam bisnis jika melihat merosotnya penonton film nasional setahun terakhir. Dan, Wulan Guritno, artis yang meniti dunia akting sejak usia 13 tahun, berani menempuh krisis penonton, dengan memproduksi film Dilema. Film produksi WGE Pictures miliknya itu, siap tayang 23 Februari 2012.  Wanita kelahiran London, Inggris 14 April 1980 ini optimis  sebagai produser bersama suaminya, Adilla Dimitri. Janji untuk wawancara dengan pemilik nama asli Wulan Lorraine Guritno ini langsung deal di Foodism Kafe, Senayan, Jakarta akhir pekan lalu. Berikut ini petikan wawancara Tabloid Kabar FILM dengan artis yang sebulan lalu melahirkan anak ketiganya:

Film ‘Dilema’ melibatkan banyak aktor, ini proyek ambisius? 
Ya saya melibatkan para aktor muda berbakat sampai para senior seperti Reza Rahadian, Ario Bayu, Wingky Wiryawan, Baim Wong, Pevita Pearce, Tio Pakusadewo, Slamet Rahardjo, Roy Marten dan Jajang C Noor,  Lukman Sardi, Verdi Sulaiman, Kenes Andari, dan Abimana Aryasatya.  Saya memang sangat berambisi untuk memberikan hiburan kepada penonton di tanah air melalui film yang baik
Apa yang ingin disampaikan melalui film ini?
Tidak muluk-muluk, saya hanya ingin membuat film yang baik. Ingin memberi kontribusi karena ini dunia saya.  Kalau nanti punya duit  cukup, saya bisa membuat pilihan  lain lagi. Makanya, genre film Dilema memang baru formatnya. Ini film multi plot tapi nyambung jadi satu kesatuan film. Kalau ditonton tidak terlihat itu disutradarai oleh 4 orang sutradara, tidak terlihat ditulis 4 penulis. Ini film drama ke-luarga berlatar kriminal. Sebenar-nya bisa diterapkan di berbagai kota metropolitan, tapi saya kebetulan saya ambil plot-nya di Jakarta. Biasanya, di kota besar manapun problemanya sama. Dari strata paling bawah sampai mafianya, politik-politiknya, hitam putih dan permasalahan abu-abu yang takut dibicarakan itu biasanya mirip-mirip. Jadi fokusnya di Jakarta.
Apa pertimbangan Anda untuk menekuni bisnis film?
Kita harus puas dengan box offi-ce yang tidak lebih dari 4 juta penonton ke depan, kalau bioskop kita tidak ditambah. Itu akan terus jalan di tempat seperti itu. Jadi, kalau dapat 4 juta penonton, kita sudah waah.. sudah gila banget. Artinya sudah dapat sekitar Rp40-an M (miliar). Jadi, kalau kita bikin Rp8 M atau Rp15 M sudah untung. Tapi, kalau kita bikin Rp8 M – Rp10 M dan jumlah penonton seperti tahun lalu, dimana film tak mencapai satu juta penonton, mau bikin yang Rp2 M pun rugi. Jadi, menurut saya karena kita tidak punya bioskop. Seperti virus yang ada di setiap pelosok Indonesia, ya mau jungkir-balik filmnya sebagus apapun, tetap mentok di angka 6 Juta penonton.
Investasi bioskop impor menurut Anda?
Kalau saya lebih memilih kenapa tidak orang lokal aja? Saya yakin banyak orang kita yang mau investasi. Pasti ada deh, kalau kita mau menjelaskan dan meyakinkan de-ngan baik dan benar. Bikin bioskop khusus film Indonesia saja, gak usah film luar, ini khusus untuk yang di pedalaman-pedalaman sana. Yang harga tiketnya Rp5- Rp7 ribu. Yang bioskopnya tidak jelek, tapi tidak bagus-bagus juga. Dengan cara penyebaran bioskop itulah, film akan mencapai ke seluruh masya-rakat. Yang di pedalaman, mungkin tidak suka film Hollywood, malah kan? Yang suka Hollywood ya di 400 bioskop yang sekarang ada. Karena kita kan perlu 10.000 bioskop setidaknya. Nah, sisanya itulah yang dijadikan bioskop yang biasa yang khusus memutar film Indonesia. Kita mungkin membutuhkan investor atau mungkin bekerjasama dengan pihak lain, tidak dikerjakan dengan satu orang. Mengandalkan pemerintah kayaknya sudah tidak mungkin.
Sebagai produser Anda  sekadar transaksional atau ada hal lain?
Setiap orang punya alasan kenapa menjadi produser. Saya ingin buat film berdasarkan selera saya dan selera masyarakat. Karena selera masyarakat kita nggak jelek kok. Kalau ada yang bilang penonton suka film busuk, itu bukan sele-ra tapi dicekokin. Karena dicekokin jadinya biasa. Akhirnya, produser terbiasa dengan biaya murah, syuting cepat, dan menghasilkan. De-ngan biaya dibawah Rp1 M sudah bisa syuting tidak lebih dari se-minggu, laku 700 sampai sejuta penonton. Jadi, akhirnya keenakan. Tapi, Alhamdulillah masih ada orang yang punya passion. Dengan passion-nya itu, bikin film dengan selera berbeda-beda. Misalnya,  saya seperti (film) ini, teh Nia Dinata punya keinginan sendiri, Ari Sihasale pilihan sendiri yang menginspirasi anak-anak, Om Joko Anwar juga begitu, filmnya jenis thriller tapi  baik dan berkualitas. Jadi saya juga sudah punya selera. Untuk itu nonton saja, karena saya su-sah menjelaskan.
Khawatir dengan situasi merosotnya jumlah penonton?
Titik penentuannya ada di tahun 2012.  Hasil saya ngobrol dengan orang film, kalau situasinya tetap seperti tahun lalu ya habis. Tapi mudah-mudahan nggak ya. Karena tahun 2012 banyak film-film bagus, jauh lebih bagus dari tahun 2011 dan tahun sebelumnya. Ada The Raid, Dilema.. ciee.. film gue bagus. Selain itu ada Negeri 5 Menara, banyaklah. Mungkin target film saya festival atau jual di Asia.
Menurut Anda apa persoalan penonton kita?
Bukan salah penonton, tapi semuanya. Mungkin pada saat bioskop memberi kesempatan lebih lama, selera penonton pada film tersebut ada di daerah yang tak terjangkau. Perlu waktulah untuk masyarakat mengerti ada film apa di-putar di bioskop. Minimal dua minggu. Ini kadang seminggu sudah turun. Kadang word of mouth  karena kita tidak produksi dan kita tidak punya uang lebih untuk promosi. Jadi kita bisanya berdoa, ya nggak bisalah berdoa saja. Film saya sebelumnya Masih Bukan Cinta Biasa itu bagus sekali, tau penjualannya berapa? Nggak lebih 100 ribu penonton. Masalahnya, karena semua orang se-Indonesia mau nonton, tak tahu tayangnya kapan, tiba-tiba hahh..? Sudah turun? Salah satu probelamnya itu. Bioskop yang kurang, informasi yang kurang, promosi yang tidak maksimal juga masalah. Jadi, semuanya punya andil atas ke-salahan. Ya produser, bioskop, dan pemerintah punya andil semua.
Saat ini Saya harus kuatkan di promosi. Seperti Dilema, sejak setahun lalu saya mulai dengan ‘Ayo Casting’ dan sedikit-sedikit sudah dimulai seperti itu. Melihat budget juga, bagaimana memaksimalkan. Promosi itu penting. Kita harus punya ke-jasama yang baik juga dengan pi-hak bioskop dan masyarakat penonton. Juga masalah keterbatasan copy film, seperti di Janji Joni itu lho. Terus informasi yang cukup ke masyarakat bahwa tanggal 23 Februari ada film Dilema. Jadi, kita selaku produser jangan ketinggalan moment. Produser jangan menyalahkan orang lain tapi bekerja semaksimal mungkin.
Apakah film menjadi bisnis utama selain salon dan restoran?
Bisnis utama saya salon dan restoran, karena itu bukanl passion saya. Itu hanya Alhamdulillah saya ada rejeki yang bisa diputer. Kalau film bukan bisnis saya, melainkan passion saya. Pada saat nanti saya menghasilkan, misalnya diberi bonus sama Tuhan tiba-tiba saya main film dibayarnya ‘gila-gilaan’ atau saya laku terus, dan Alhamdu-lillah masih laku. Nah itu bonus. Tapi saya tidak me-mind set ini bisnis saya. Dan saya bikin film adalah passion saya, pada saat film saya laku keras ya Alhamdulillahirobbil alamin, gitu loh. Di film ini saya tidak pakai uang sendiri. Ada investor ada sponsor, jadi bagaimanapun saya harus berfikir bisnis. Saya harus berfikir matang untuk ‘menyenangkan’ investor.  Jadi itung-itungannya, melihat situasi kondisi Indonesia pantasnya bikin film baik tapi gak muluk-muluk kisarannya berapa?
Tahun ini targetkan berapa film diproduksi?
Saya masih baru, musti belajar dapat sistemnya. Nanti baru saya bisa setahun tiga produksi atau double produksi. Mungkin saat ini, saya satu tayang dulu.
Siapa konsultan Anda untuk bikin film?
Banyak. Termasuk yang main di Dilema adalah konsultan saya.  Tanpa perlu disebutkan, saya banyak tanya dengan banyak orang  tentang pre production, syuting dan bagaimana sistemnya, agar ‘matematika’nya tidak meleset.  ‘Matematika’ di sini bukan soal uang, tapi bagaimana secara teknis produksi film jadi baik dan benar. Bagaimana urutannya biar nggak kerja dua kali dan sebagainya.
Adakah konsep film yang laku menurut Anda?
Wah, itu nggak bisa diomongin. Tetapi saya optimis. Saya punya proyeksi sendiri, misalnya dengan proyek ini, film seperti ini, dengan biaya sebesar ini, apakah menguntungkan, jika tidak apa yang harus saya lakukan. Sudah ada rencananya. Kalau menguntungkan juga ada rencananya. Tetapi dua rencana itu tidak mematahkan saya untuk tidak berlanjut.  Ya, mungkin ini … amit-amit deh, saya nggak mau ngomongin. Insya Allah jalan.
Anda bekerja sendiri?
Saya dibantu Dilla (suami-red) untuk produksi, bersama tim yang ada kita mulai dari samperin satu-satu investor dan sponsor. Yang kita samperin orang-orang hebat, dan kita bukan siapa-siapa diantara film maker. Kita masuk studio-studio nggak pakai co-production runner karena baru pertama kali. Jadi biar kami tahu lebih detil.
Bagaimana rasanya jadi produser?
Capek, puyeng dan nggak kelar-kelar rasanya. Setiap urusan studionya berbeda. Selesai syuting, masuk editing di studionya Mas Sastha Sunu, lalu ke Eltran untuk post pro, lalu ke studionya Mas Toriq untuk efek.  Terus ke Mbak Tya untuk scoring. Lalu sound mixing di studionya Kiki. Poster ngerjain sendiri 100 persen, nggak pakai supervisi. Kalau skenario kita dapat masukan dari Om Slamet Rahardjo dan juga Tio Pakusadewo. (imam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar