Kamis, 01 Desember 2011

Bertamu ke Kampung Sasak di Pulau Lombok

DATANG ke Pulau Lombok rasanya tidak lengkap jika tidak melihat dari dekat kehidupan masyarakat Sasak di Desa Sade. Selain keindahan wisata laut lombok yang eksotis, Lombok juga menawarkan wisata budaya yang unik dan tidak bisa dilewatkan. Salah satunya atraksi kesenian 'Gendang Baleg' yang menghadirkan 'funny dance'.
   Pulau Lombok sering disebut 'Pulau 1000 Masjid', karena terdapat 1632 bangunan masjid di pulau ini. Terletak di kepulauan Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah Barat dan Selat Alas di sebelah Timur dari Sumbawa. Untuk menuju Lombok, pelancong bisa berangkat dari Jakarta, Surabaya, ataupun Bali menggunakan pesawat terbang. Terutama kini ada Bandara Internasional Lombok, yang resmi beroperasi sejak Oktober 2011.
   Nah, pada pertengahan November 2011, penulis mengikuti perjalanan ke Lombok bersama sejumlah wartawan pada acara 'Press Tour' yang diadakan Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif. Sejumlah tempat di Lombok kami kunjungi selama tiga hari yakni Taman Narmada yang terkenal dengan mata air Awet Muda-nya, Pusat Kerajinan mutiara, Pantai Senggigi, Tanjung Aan, serta kampung Suku Sasak yang unik.
   Satu tempat yang sempat penulis catat adalah Desa Sade, salah satu pemukiman warga Suku Sasak, yakni suku asli di Pulau Lombok di Lombok Selatan. Hingga kini masyarakat Sasak di Desa Sade masih mempertahankan budayanya di tengah arus perubahan jaman.
   Memasuki gerbang kawasan yang dihuni sekitar 150 Kepala Keluarga dari 700 jiwa, pengunjung disambut bangunan khas adat Sasak. Bangunan asli ini dipertahankan sejak jaman dahulu, meski sekitar Desa Sade sudah termasuk modern. Atap bangunan menggunakan ilalang yang telah disusun sedemikian rupa. Sehingga meski hujan lebat air tetap tidak bisa masuk ke dalam rumah. Hampir setiap rumah memiliki 'toko souvenir' oleh-oleh; mulai dari kain tenun asli yang dibuat di tempat, dan aneka pernik kerajinan lainnya.
   Rumah tradisional Sasak dibangun dari anyaman bambu dan beberapa pilar bambu sebagai tiang penyangga rumah. Rumah Sasak memiliki atap berbentuk gunungan yang terlihat menukik ke bawah dan terbuat dari susunan alang-alang.
   Untuk lantai rumah, suku Sasak memanfaatkan tanah yang telah dicampur dengan batu bata, getah kayu pohon serta abu jerami. Seringkali masyarakat suku Sasak mengolesi lantai rumah dengan kotoran sapi atau kerbau yang telah dihaluskan dan dibakar. Bagi suku Sasak, campuran kotoran sapi atau kerbau diyakini dapat menjaga lantai agar tidak mudah lembab dan retak.
   Berbeda dengan 'cashing' rumah yang tradisional, pada bagian dalam sebagian rumah adat Sasak sudah menggunakan semen, terutama bagian anak tangga yang menghubungkan ruangan depan dan belakang. Sementara lantainya berupa tanah liat. Yang Unik adalah lantai tanah liat dalam beberapa waktu sekali di pel menggunakan kotoran kerbau.
   Di tangga teratas terdapat pintu masuk rumah dari bambu yang berbentuk pintu geser. Karena tinggi pintu masuk rumah lebih pendek jika dibandingkan ukuran tinggi badan manusia normal, anda disarankan untuk merunduk ketika masuk ke dalam rumah Sasak. Turun temurun, tinggi pintu masuk rumah adat Sasak tidaklah berubah. Tinggi pintu rumah itu-pun memiliki arti. Masyarakat Sasak meyakini, posisi merunduk ketika masuk ke dalam rumah menjadi simbol, rasa hormat tamu kepada sang pemilik rumah.
   Di dalam rumah adat Sasak terdapat beberapa ruangan yakni ruang tamu, bale luar dan bale dalam. Bale luar dimanfaatkan sebagai tempat tidur bagi anggota keluarga. Sementara bale dalam menjadi tempat untuk menyimpan persediaan makanan dan harta benda keluarga.
   Ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, bale dalam dijadikan tempat untuk menyemayamkan jenasah sebelum dimakamkan. Tepat di samping tempat suku Sasak menyimpan persediaan makanan, terdapat dapur. Di dalam dapur inilah, anda dapat menjumpai tungku yang terbuat dari susunan batu bata. Suku Sasak memanfaatkan tungku itu untuk memasak dan ketika musim hujan tiba, tungku itu dijadikan perapian.


Kain tenun, tarian dan agama 
Masyarakat Suku Sasak dikenal sebagai masyarakat yang memiliki seni yang tinggi. Kerajinan Tenun khas Lombok menjadi andalan secara turun temurun. Konon gadis sasak belum bisa menikah jika belum bisa menenun, sehingga tradisi ini tetap terjaga. Selain dari menenun kehidupan Sasak di Desa Sade adalah bertani.
   Meski umumnya menganut agama Islam, namun budaya dan tradisi sebelum Islam masuk ke Sasak masih sangat kental. Sehingga dari kehidupan agama nuansa Islam Sasak cukup kental di sana. Untuk mempertahankan tradisi Desa Adat Sasak, di Sade tidak diperkenankan mendirikan bangunan selain bangunan adat. Namun bagi Suku Sasak yang ingin membangun rumah bukan rumah adat Sade tetap diperkenankan namun harus di luar Desa Sade.
   Selain itu banyak warga Sade yang menikah dengan sesama warga Sade sehingga tradisi sasak tetap terjaga. Masyarakat Sasak merupakan kekayaan budaya bangsa yang mencoba bertahan dan tetap eksis di tengah gerusan jaman. Komitmen dari banyak pihak yang akan menentukan eksistensi mereka.
   Pada kesempatan berkunjung, kami disuguhi atraksi 'Gendang Baleg' sebuah tarian adat dibawakan dua penari pria yang membawa gendang besar. Tarian ini mengisahkan kegigihan dalam peperangan.
   Atraksi ini dibagi dalam empat bagian, yakni Tari Gendag Baleg, Tari Gandrung (dua petarung saling memukul dilengkapi perisai), Tari Petut (menampilkan dua orang anak-anak, sebagai partisipasi menghibur pengunjung), dan yang paling menghibur adalah 'Tarian Lucu' atau 'funny dance' yang dibawakan seniman yang biasa disapa Amak (bapak).
   Penari Amak ini karena lucunya, sempat diundang khusus oleh Presiden SBY di hotel tempatnya mengingap ketika berkunjung ke Lombok Oktober 2011 lalu. Si penari yang lucu ini memoles wajah dan pakaiannya seperti badut. Beberapa diantara pengunjung pun bernafsu untuk 'foto bareng' artis yang satu ini untuk 'oleh-oleh'. (teguh imam suryadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar