Minggu, 22 April 2012

Buku 'Puisi Film' tandai 25 tahun Forum Film Bandung

MEMPERINGATI perjalanan usia 25 tahun Festival Film Bandung (FFB), sebanyak 25 puisi dikumpulkan dari 25 penyair tanah air dan disatukan dalam sebuah buku. Hal ini seolah-olah, penyair menghadirkan film dalam sebuah puisi.
   Bertajuk Puisi Film, ini merupakan buku pertama mengenai penjelmaan sebuah film menjadi sebuah karya puisi. Rupanya bukan hanya penyair, sejumlah orang film juga ikut ambil bagian menulis puisi. Mereka diberi bagian un-tuk menuangkan gambaran dalam sebuah film menjadi sebuah karya berbeda.
   Dalam hari jadinya ke-25 yang digelar di gedung Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, beberapa penyair terlibat dalam buku. Acara yang juga menjadi ajang peluncuran buku Puisi Film, diramaikan dengan pembacaan puisi dari beberapa penyair ternama. Seperti, Slamet Rahardjo, Putu Wijaya, dan Eka Gandara.
   “Sebenarnya buku ini menjadi luapan perasaan dari sineas film untuk mengungkapkan seluruhnya da-lam sebuah puisi. Karena belum pernah ada yang namanya orang film membuat puisi. Kali ini kita mengajak mereka untuk berbagi kesedihan, kesenangan dan seluruh perasaan dalam sebuah maha karya buku Puisi    Film,” ungkap Ketua Umum Forum Film Bandung Eddy D Iskandar saat menyampaikan sambutannya, Minggu (1/4/2012).
   Beberapa penyair yang terlibat dalam buku Puisi Film tersebut adalah aktor kawakan Slamet Rahardjo dengan puisinya bertajuk Dendang Perawan, Putu Wijaya dengan Kebangkitan, Citra oleh Usmar Ismail, Wajah-wajah Dilayar Putih oleh Eddy D Iskandar, dan Rosyid E Abby yang menulis Nyanyian Angsa Bagi Sang Aktor.
   Menurut Eddy, “Selama ini pe-nilaian film Indonesia hanya berkutat pada persoalan teknis. Jarang menyentuh aspek rasa dan konteks sosial dari konten,” katanya.
   Seniman lebih bisa meresapi kandungan dari suatu film. “Seniman itu pastinya akan lebih bisa meresapi pemaknaan dan tarikan sosial dari konten cerita yang diangkat dalam film. Makanya saya ajak seniman menyampaikan pan-dangan, tak hanya kritik, melalui puisi,” ujarnya.
   Menurut dia, perfilman Indonesia masih dihiasi film yang tak karuan, perlu diingatkan dengan cara yang berbeda. (kf1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar