Minggu, 22 April 2012

'Sanubari Jakarta' digarap 10 Sutradara muda

Adegan 'Terhubung'
Adegan 'Malam Ini Aku Cantik'
CINTA dalam kemasan berbeda ditawarkan dalam film Sanubari Jakarta. Sepuluh sutradara memotret keteguhan atau persoalan cinta anak manusia di balik dinding rapuh ibukota Jakarta. Semua diperlakukan sama dan mendapat kesempatan bicara cinta..
   Jakarta yang metropolis menawarkan banyak kemungkinan, termasuk soal kekumuhan sosial. Di sana  bermukim komunitas lesbian, gay, bisex, transgender, dan intersex (LGBTI). Mereka hidup diantara jutaan penduduk Jakarta. 
   Sanubari Jakarta produksi Kresna Duta Foundation tidak seperti film drama cinta yang biasa ditawarkan. Sanubari Jakarta menyu-guhkan cerita cinta dari segi berbeda. Dengan kisah yang masih tabu di sebagian kalangan, para sineas muda Indonesia memberanikan diri mengangkat fenomena cinta tak biasa yang terjadi di ibu kota.
   Sanubari, sebuah kata yang mu-ngkin bagi sebagian orang terkesan kurang lazim. Namun dari kata tersebut Lola Amaria dan Fira Sofiana yang bertindak sebagai produser dari sebuah kompilasi sepuluh film pendek mengemasnya dalam suatu kumpulan film yang apik dan berbeda.
   Sanubari Jakarta merupakan proyek omnibus film, yaitu kompilasi cerita 10 film pendek dari sepuluh sutradara muda Indonesia.  Isu LGBTI yang berdurasi masing-masing sepuluh menit. Kisah yang di-ajikan bukanlah semata hasil i-majinasi sang sutradara, namun berdasarkan kehidupan nyata yang ada di Jakarta serta berbagai sisi kemanusiaan di dalamnya.
   Produser sekaligus sutradara salah satu cerita, Lola Amaria, mengatakan pemilihan tema yang tak biasa ini bertujuan memperkenalkan kepada khalayak umum bahwa ada komunitas di masyarakat yang patut dihargai. Lola menyebut pembuatan film yang akan tayang di bioskop mulai Kamis 12 April ini tidak dimak-sudkan untuk mengakimi atau membela komunitas tertentu.
“Kami hanya mau menceritakan, mudah-mudahan masyarakat bisa menerima,” ucapnya, saat ditemui usai pemutaran film di Pusat Per-filman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Senin (9/4).
   Pembuatan film melalui banyak proses dan memakan waktu satu tahun mulai dari pengerjaan naskah sampai dengan pengambilan gambar. Semuanya dikerjakan di Indonesia. Naskah cerita yang dibuat oleh penulis muda 21 tahun, Lele Leila ini juga melelui berbagai tahapan seleksi dan konsultasi kepada para aktivis LGBTI. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman ataupun stigmatisasi yang mung-kin muncul di kalangan masyarakat nantinya.
   “Kami tak mau mengarang karena takut bias, makanya risetnya la-ma,” kata Lola.
Uniknya, para pemain dalam film ini tidak dibayar atas jasa perannya. Karena film indie, dana yang dimiliki Lola dan Fira cukup terbatas. Namun begitu, para pemain, seperti misalnya Reuben Elishama Hadju, Dinda Kanya Dewi, Pevita Pearce, Gia Partawinata dan lainnya, tidak merasa  keberatan. Dengan alasan senada, selain karena mencitai dunia akting, para pemain rela tidak mendapat bayaran hingga mau berpartispasi dalam film yang bercerita tentang cinta dengan cara yang jarang diangkat ini. Meski begitu, hasil dari penjualan tiket film nantinya akan dibagi rata kepada sepuluh sutradara, yang nantinya akan diteruskan pula ke para pemain.
   Meski tema yang diangkat masih terkesan tabu, Lola dan yang lain berharap film yang akan dibawa ke Korea, San Fransisco, Belanda dan negara-negara di Asia Tenggara ini ini bisa membuka simpati publik terhadap komunitas yang selama ini terpinggirkan.
   Satu hal yang sangat berbeda, Sanubari Jakarta digarap serius oleh tim work yang militan namun tetap profesional meskipun siap untuk tidak menerima bayaran. Tayang mulai 12 April 2012. (tis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar