Selasa, 31 Juli 2012

Syamsul Lussa: Dunia perfilman sedang berubah

Drs Syamsul Lussa MA (foto: dudutsp)
DUNIA perfilman Indonesia mengalami perubahan dengan hadirnya system digital yang menggeser seluloid sebagai media penyimpan gambar. Perubahan ini berimbas pada industri yang tidak siap. Salah satu korban, Mitra Lab yang tutup awal Juli 2012. Meski bertahan,  lab film Interstudio milik pengusaha Njo Han Siang tak kurang cemasnya menghadapi perubahan ini.
   Terkait dengan hal itu, tabloid KABAR FILM mewawancarai Drs Syamsul Lussa MA, selaku Direktur Pengembangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.  Berikut petikan wawancara di Gedung Film, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, akhir pekan silam:
   Bagaimana Anda melihat perfilman Indonesia saat ini, terutama di sektor produksi?    
   Perubahan dramatis sedang melanda dunia perfilman saat ini, mulai dari system produksi, pasca produksi, pemasaran, hingga distribusi dan eksibisi. Implikasinya jelas, secara sistemik semua komponen yang tidak sekadar membuat biaya lebih murah, tapi juga lebih mudah bahkan lebih ramah lingkungan. Peluang peningkatan jumlah produksi film terbuka, tetapi tidak sedikit permasalahan yang muncul, antara lain usaha jasa teknik, distribusi, bioskop, sensorship, hingga tenaga kerja. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia tapi di semua Negara.
   Indonesia seperti terkejut-kejut dengan peralihan sistem seluloid ke digital. Mengapa bisa begitu?
  Sebenarnya peralihan dari seluloid ke digital tidak terjadi secara revolusioner, karena sudah dimulai sekitar 14 tahun yang lalu. Pada tahun 1998, Sony mulai memperkenalkan HDCAM recorders dan kamera video digital 1920 x 1080 pixel dengan teknologi sensor CCD.
   Kemudian tahun 2001 Pasadena Fox Pilot, untuk pertamakali menayangkan serial film televisi yang diproduksi secara digital. Pada tahun yang sama, garapan film cerita Once Upon A Time in Mexico – pertamakali diproduksi dengan 24 fps high-definition digital video. Tahun-tahun berikutnya, beberapa usaha produksi film Blockbuster mengikuti jejak ini. Red Digital Cinema Camera Company didirikan sehhingga ARRI, Panavision dan Aaton tutup pada 2005. Jadi, teknologi berkembang setiap hari.
    Bagaimana pemerintah menyikapi badai pada industri laboratorium film?   Yang pasti kami tidak dapat berbuat lebih jauh, kecuali  tetap melihat keberadaan lab yang ada saat ini maupun yang sudah tutup sebagai bagian dari proses sejarah perfilman di Indonesia.
    Jadi bukan hanya Indonesia yang punya masalah peralihan teknologi?
   Pada tahun lalu, Technicolor menutup laboratoriumnya di Utara Hollywood dan Montreal, Canada dan mengalihkan bisnis pasca-produksinya menggunakan 65mm/70mm (untuk imax) dan Delux mengakhiri bisnis pasca-produksinya (35nn/ 16mm) di Inggris. Jejak ini juga diikuti oleh satu usaha jasa tehnik di Indonesia awal bulan ini.
   Teknologi yang bersahabat dengan lingkungan ini mulai memasuki era kematangan pada tahun ini. Kini hampir sulit memisahkan antara gambar hidup nyata dan animasi. Telah terjadi konvergensi layar hijau – gambar nyata. Film tiga dimensi muncul.
    Langkah apa yang harus dilakukan perusahaan film jasa produksi dan post-pro?   Perusahaan perfilman yang bergerak di pasca-produksi hingga ke eksibisi terpaksa harus menyesuaikan perubahan yang tengah melanda bisnis perfilman. Sama halnya di beberapa Negara, operator bioskop-bioskop utama di Indonesia tengah menjalani peralihan pengoperasian proyektor seluloid ke digital dan dijadwalkan rampung pada akhir tahun ini.
   Pada tahun ini, mayoritas bisnis perfilman di dunia beralih dari seluloid ke digital. Diperkirakan pada tahun 2015, hampir semua usaha perfilman dunia akan digitalisasi. Dengan demikian, periode 2012 hingga 2015 dapat dikatakan sebagai era ‘revolusi’ digitalisasi dunia perfilman.
    Untung-ruginya beralih dari seluloid ke digital seperti apa?  
   Pada satu sisi, kondisi ini menjadi malapetaka bagi sebagian industri jasa yang bergerak di bidang perfilman, tetapi pada sisi lain, menjadi peluang bagi tumbuh dan berkembangnya industri perfilman karena selain bisa menekan biaya produksi dan pasca-produksi juga masalah peredaran film menjadi lebih mudah. Peredaran film akan semakin mudah karena film dapat didistribusikan melalui hard drives, optical disks, atau satelit ke bioskop-bioskop yang menggunakan proyektor digital.
   Efek lainnya apa saja?
  Tentu berimbas pada rumah produksi yang semakin bergairah. Kegairahan produksi dipicu oleh peningkatan kecenderungan atau trend kerjasama produksi antar perusahaan bahkan lintas Negara yang belakangan semakin meningkat. Terlebih lagi, saat ini lebih dari 300 komisi film di 40 negara yang bersaing menarik produser untuk syuting di negaranya. Berbagai paket kemudahan hingga pemberian insentif ditawarkan. Tawaran keringanan pajak rabat, diskon hingga bantuan pendanaan  produksi, pemasaran, dan distribusi mewarnai bursa-bursa film internasional.
   Ke depan fungsi film apakah akan tereduksi atau jauh lebih besar?
   Kalau kita lihat ada beragam motivasi yang melatari persaingan bisnis atau kegiatan perfilman. Dulu film digunakan sebagai alat propaganda ideologi dan politik. Sekarang, masih relevan bahkan meluas sebagai alat promosi sosial-budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan bangsa. Tidak sedikit Negara yang menggunakan film sebagai alat pencitraan sebuah destinasi wisata.
   Apa yang harus diantisipasi kalangan perfilman Indonesia?
   Beberapa negara tahu betul kekuatan film sebagai alat promosi pariwisata dan tidak segan untuk membiayai produksi film yang dianggap sejalan dengan program promosinya. Semua ini disadari dan mewarnai arah peningkatan produksi. Tidak hanya sampai di situ. Konvergensi telekom, komunikasi yang melanda dunia saat ini juga dimanfaatkan oleh sebagian produser film indie di dunia yang kini tengah menggeluti kerjasama produksi film melalui cloud atau dunia maya. Mereka berbagi cerita, scenario dan sebagainya melalui dunia maya tanpa harus merogoh saku dalam-dalam untuk kemudian setelah matang siap produksi, mereka segera memulainya. Intinya kuantitas produksi film dunia bakal meningkat pesat. Implikasinya sangat jauh. Ini perlu diantisiapasi kalangan perfilman kita dengan ‘berubah’. (teguh imam s)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar