Senin, 30 Juli 2012

Alot, pembentukan Badan Perfilman Indonesia

BADAN Perfilman Nasional (BPI)  telah diwacanakan oleh pemerintah berdasarkan amanat UU Perfilman no 33 Tahun 2009 -- yang hingga kini belum ada petunjuk pelaksananya. Sebagai lembaga pengganti Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang paripurna tahun 2009 itu, BPI diharap mampu menjadi payung kreatif bagi insan perfilman nasional. Namun, sejauh ini belum terdengar progres wacana tersebut, baik dari pemerintah maupun kalangan perfilman sendiri. 
  "Sebelum BPI dibentuk, sebaiknya semua orang film duduk bersama. Ngobrol deh, apa penting BPI itu? Kalau tidak penting kenapa, kalau penting bagaimana kelanjutannya?" kata H Djonny Syafruddin SH, mantan Ketua BP2N yang kini Kepala Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI).
 BPI seperti dikatakan Direktur Pengembangan Industri Perfilman Drs Syamsul Lussa MA, akan menjadi wadah ide dan kreasi insan film. 
   “Pembentukannya terserah pada orang film, pemerintah hanya bertugas memfasilitasi,” kata Syamsul Lussa ditemui terpisah. 
   Dikatakan Syamsul, pihaknya telah mengundang orang film untuk membahas pembentukan BPI. Namun keterbukaan pihaknya tersebut belum mendapat respons signifikan.
   Ketika rencana BPI ini disampaikan ke beberapa sineas, seperti Jose Poernomo, Lola Amaria, dan Ine Febriyanti mereka menyatakan tidak tahu rencana pembentukan BPI.
   “Kalau itu menyangkut urusan publik sebaiknya gencar disosialisasikan. Saya pernah mendengar soal BPI tetapi hanya sekilas. Kapan itu dibentuknya?” kata Jose dijumpai di kantor PT Soraya Intercine Films pekan lalu.
   Selain Jose, yang juga asing terhadap BPI adalah Ine Febriyanti. “Apaan tuh BPI, wah gak tau,” kata Ine, yang belakangan aktif dalam produksi film indie seperti KitaVSKorupsi, dan Tuhan Pada Jam 10 Malam.
   Ketidaktahuan tentang rencana pembentukan BPI juga diungkap sutradara Lola Amaria. Maka, ketika dimintai komentarnya Lola terkesan enggan. “Bagaimana saya mau berkomentar, tahu juga tidak apa itu BPI,” kata sutradara Minggu Pagi di Victoria Park dan Sanubari Jakarta.
   Kendati mendengar sedikit soal BPI dari rekannya, Jose Poernomo mengharapkan BPI akan menjadi wadah yang benar-benar bermanfaat untuk kepentingan perfilman. “Saya pernah ngobrol semeja dengan Pak  Jero Wacik waktu dia Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di kantornya. Itu  ketika film saya Jelangkung lagi rame dibicarakan. Seingat saya, ketika itu ada juga Riri Riza. Yah, obrolan ringan,” kata Jose, seraya me-nyebutkan, salah satu yang dibicarakan saat itu tentang bagaimana pajak perfilman  di ‘nol’ persenkan.
  Tidak bersemukanya kalangan perfilman bukan hal baru. Belakangan ini  terdengar di lingkungan oganisasi perfilman adanya gap komunikasi di kalangan para sineas muda dengan para elit perfilman. Jika yang muda hadir, yang tua menyingkir. Begitu sebaliknya. Padahal lewat BPI ini event seperti FFI bisa dilaksanakan. 
   Menurut pengamat Didang Pradjasasmita, ketidakrukunan orang film akan menjadi bumerang bagi perkembangan perfilman nasional. “Setahu saya pembahasan tentang hal-hal terkait perfilman di DPR nyaris tidak pernah dihadiri atau diikuti oleh kalangan perfilman yang notabene akan membutuhkan UU atau regulasi yang dibahas di DPR nantinya,” ujar Didang.
   Didang juga melihat, UU Perfilman yang sudah disahkan tiga tahun silam, sampai hari tidak menunjukkan ada PP-nya lantaran sikap kurang pedulinya orang film sendiri. (kf1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar