Kamis, 12 Januari 2012

Perfilman nasional setara dengan dunia kuliner?


TIDAK banyak perubahan dari kebijakan perfilman nasional selama beberapa tahun ini. Masalah perundang-undangan, yang seharusnya menjadi payung hukum insan perfilman seakan jalan di tempat jika tak ingin disebut mandeg. Upaya pemerintah untuk mengajak insan film lebih mentaati hukum, melalui penetapan UU no 33 tahun 2009 tentang Perfilman Nasional hingga kini masih sebatas wacana. Pasalnya, UU Perfilman yang dalam prosesnya dipenuhi dinamika pro dan kontra di kalangan masyarakat film itu, tak juga dirasakan manfaatnya sejak tahun pertama penetapannya oleh DPR RI.
   Berlarutnya pembentukan PP dari UU Perfilman merupakan kesalahan strategis terhadap upaya perbaikan kinerja dan performa perfilman nasional baik dari sisi industrial maupun gagasan kreatif. Alih-alih ingin memberikan ruang istimewa bagi tetek-bengek perfilman, justru UU Perfilman kehilangan momentum untuk menjawab semua itu. Masyarakat film yang pro dan kontra ketika itu, hari ini mulai gamang lalu diam dan cenderung apatis. Sehingga terdengar samar-samar menyebut, film nasional tidak memerlukan undang-undang.
   Melihat sejenak ke belakang proses kelahiran UU Perfilman yang menggantikan UU Perfilman tahun 1992 yang usang, secara psikologis UU Perfilman yang ditetapkan tahun 2009 itu, sempat menjadi tonggak bersatunya idealisme insan perfilman antargenerasi dalam menolak 'campur tangan' pemerintah. Mereka menyuarakan penolakan dengan alasan UU Perfilman terlampau cepat ditetapkan, karena banyak hal yang harus dibicarakan dalam draft Rancangan UU Perfilman ketika itu. Kelompok yang mendukung penetapan UU Perfilman berkeyakinan penuh, materi dalam UU sudah final dan harus segera dilaksanakan demi perbaikan sektor perfilman nasional.
   Kini pergantian rezim melalui reshuffle kabinet telah berlalu 3 bulan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang dipimpin Menteri Jero Wacik pun berganti baju menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dipimpin Mari Elka Pangestu. Tidak ada tanda-tanda perubahan bagi sektor perfilman nasional. Semua institusi yang berada di bawah payung UU Perfilman dalam posisi menunggu. Selama itu pula perfilman nasional berjalan tanpa aturan hukum.
   Tanpa adanya aturan main dalam industri film ini memang menciptakan  'hukum rimba' di dalam perfilman. Namun, di sisi lain terdapat kesepakatan tak tertulis dari masing-masing stakeholder perfilman. Tak pelak, berbagai kasus usang seperti masalah data penonton, peningkatan SDM, bisnis film impor, tata edar perfilman, bioskop, kontrak kerja artis, pemberdayaan penonton, pengarsipan film, dan lain-lain terus mengemuka.
   Keluhan dari berbagai pihak yang bisa dijawab oleh UU Perfilman sebenarnya tidak pernah berhenti, namun pemerintah sebagai pengambil kebijakan seperti tak lagi mendengar 'keluhan-keluhan' masyarakat film tersebut sebagai teguran untuk mempercepat proses penciptaan PP. Di dalam internal Kementerian Budpar, dimana film berada di bawah pemantauan Ditjen Nilai Seni Budaya dan Film (NBSF) memang tak banyak SDM yang dapat segera memfasilitasi apalagi menguraikan persoalan. Di bawah seorang Dirjen yang mengurusi banyak hal, tentu akan sulit memberi perhatian lebih untuk perfilman.


Setara dengan kuliner
Dalam kegiatan lokakarya mengenai Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama para stakeholder di Balairung Sapta Pesona belum lama ini, dengan tegas dan lugas Menteri Mari E Pangestu menyebutkan, pemerintah akan meningkatkan perhatian pada sektor ekonomi kreatif berbasis budaya, yakni kuliner. Untuk pariwisata ada tiga hal utama yang menjadi perhatian. Destinasi yang sudah ada akan dikembangkan, mengembangkan destinasi baru, dan wisata minat khusus. Untuk wisata minat khusus yang akan dikembangkan adalah MICE (Meeting, Incentives, Convention and Exhibition), wisata bahari dan alam, wisata olahraga, serta wisata belanja dan kuliner.
  Dari sekitar 180-an peserta yang hadir dalam pemaparan Renstra Kemenparekraf itu, tidak terlihat perwakilan dari orang film yang minimal 'menyuarakan' nasib perfilman. Sebagian peserta adalah para pekerja di bidang kreatif jasa boga, wisata, dan komunitas kesenian. Apakah ketidakhadiran orang film di dalam lokakarya ini menjadi indikasi semakin lemahnya perfilman dibanding industri lainnya?
  Tidak berlebihan jika urusan belanja dan kuliner menjadi bagian rencana strategis pemerintah, sebab wisata kuliner sangat menarik dan sedang booming. Lihat saja bagaimana stasiun televisi membombardir program kuliner setiap hari, terutama Sabtu dan Minggu. Urusan film tampaknya tidak mendapatkan porsi sebesar soal wisata belanja dan kuliner. Atau mungkin film akan disejajarkan dengan dunia masak-memasak? Semoga hal itu tidak terjadi. Sebab, film sudah menjadi sebuah kebudayaan sendiri dan dianggap memiliki peran strategis dalam menciptakan masyarakat yang kreatif dan bertanggungjawab. (teguh imam suryadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar